Rabu, 27 Mei 2015

Romansa Puber Kedua (4)

Romansa Puber Kedua (4)
Sebelumnya Disini
“Kamu mau menikah denganku?”
“Mas, ka…mu ser..serius?”
“Tentu saja. Kapan aku main- main denganmu?”
“A…Aku…,”
“Ya atau tidak?”
“…,”
“Oke. Diammu kuanggap ya.”
“Mmmaasss,”
“Aku tahu pasti kamu takkan menolakku.”

ELROY (2)

Bab II

Sebelumnya Disini
Arena balapan liar. Jalanan lengang di pinggiran kota. Namun tidak malam ini, anak- anak muda dalam keriuhan suasana. Beberapa gadis muda terlihat berlenggak- lenggok depan laki- laki yang sibuk menyiapkan motor mereka dengan pakaian super mini dan ketat membungkus tubuh.
Bastian tersenyum lebar. Malam ini jika kemenangan di pihaknya, salah seorang gadis pasti dengan antusias menawarkan dirinya. Dan ia berani bertaruh kalau pihaknya, dalam hal ini Elroy akan memenangkan pertandingan.

Senin, 25 Mei 2015

Romansa Puber Kedua (3)


Sebelumnya Disini

Tantri terkejut saat menyadari sosok laki- laki yang dikenalnya berdiri di pintu kamar inap anaknya. “Ma…mas Ha…ris?”
Haris mengangguk sejenak. Senyum terkembang di bibirnya. “Aku dapat kabar dari Pak Ardi tadi soal anakmu.”
“Masuk, Mas.” Tantri menyadari dirinya belum mempersilahkan Haris masuk. “Maaf, Mas. Tadi aku tak bisa di sekolah.”

Aku, Febby, Assalamua'laikum Beijing



"Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya" (QS.  Al- Baqarah:286)
Asmara, gadis muda nan enerjik ini didiagnosa menderita APS (Antiphospholipid Syndrome). Sebuah syndrome dimana darah dalam tubuh terlalu cepat mengental. Akibatnya tentu fatal. Darah yang mengental menjadi menggumpal akan memnyebabkan masalah pada organ tubuh. Seorang Asmara muda sudah mengalami stroke, tuli, buta, pingsan berkali- kali bahkan koma karena syndrome tersebut. Serius! Sejujurnya saya baru tahu ada lagi macam syndrome/ sakit yang begini. Ya Allah, nggak kebayang kesakitan mereka para penderita APS. (Doain yuk, semoga mereka diberi kesembuhan dan kesehatan selalu).


Sabtu, 23 Mei 2015

ELROY (1)

Bab I

Gelap. Hitam. Pekat.
Elroy histeris. Matanya sama sekali tak menangkap seberkas cahaya dari manapun. Ia berteriak sekencang yang bisa, berharap ada yang menolongnya. Siapapun itu. Namun sayang nihil. Sia- sia. Suaranya bahkan tak dapat terdengar sama sekali. Tertahan kelu di tenggorokannya.

Mami.

Papi.

Anya.

Help me!!!

Tolong gue!!!

Di tengah keputusasaannya, mendadak tubuh Elroy membeku. Sebuah alunan nada terdengar familiar di telinganya. Elroy tersentak.
Ini kan suara….


Romansa Puber Kedua (2)


Sebelumnya Disini 

Haris tersenyum lebar saat menginjakkan kakinya di halaman sebuah sekolah yang tampak rindang dan asri. Khas seorang Tantri, gumamnya dalam hati. Ia tersenyum tipis. Dirinya masih ingat betul hobi berkebun seorang Tantri. Dimanapun dan apapun jika Tantri yang menanam pasti akan tumbuh subur.
“Tanaman itu makhluk hidup, Mas. Ia pasti bisa merasakan kita menyayanginya atau tidak.”
Saat itu Haris hanya dapat memutar bola matanya jengah. Kesekian kalinya ia menemukan sang kekasih asyik berkutat dengan tanaman,  bukannya bersiap untuk pergi bersamanya untuk menonton pagelaran wayang di alun- alun. Terang ia mengeluhkan perilaku Tantri.
“Ojo manyun to, Mas. “ Sebuah senyuman tersungging di bibir Tantri. Senyuman yang seketika menghangatkan hatinya. Melumerkan amarahnya. “Aku siap- siap dulu. Nggak papakan nunggu?”

Kamis, 21 Mei 2015

Romansa Puber Kedua (1)

ROMANSA PUBER KEDUA


“Tantri?”
“Loh Mas Haris?”
Senyum terkembang dari bibir Haris. Wanita dihadapannya masih mengenalinya ternyata. Padahal sejak awal melihat wanita tersebut saat masuk kantornya ia gamang. Mencoba menerka- nerka bahwa sosok itu adalah sosok yang dikenalnya dulu. Di masa lalu.
“Kok disini, Mas?”
“Aku kan kerja di sini sekarang.”
Mata Tantri melebar.  Kekagetan tak dapat tertutupi di raut wajahnya. “Jadi Kadis yang baru itu Mas Haris.”
Haris mengangguk. “Iya. Ngomong- ngomong kamu kesini ada apa?”
Tantri mengangkat berkas yang ada di tangannya. Menggerakknya berkali- kali dengan senyum tersungging. “Tanda tangan, Pak.” Selorohnya kemudian.
Haris mengernyit sejenak. Kemudian tersenyum lebar, “Jadi kamu tugas dimana?”
“Di SD 4, Mas!”

Cinta Skuter (10) -end-


sebelumnya Cinta Skuter 9
Cinta Skuter (10)

Dia cantik. Sangat cantik. Kebaya putih berpadu kain batik terlihat anggun membalut tubuhnya. Penampilannya makin mempesona karena polesan make-up di wajahnya. Padahal tanpa make- up pun dirinya sudah cantik. Apalagi sekarang?
Dan lihatnya senyumnya?
Senyum yang merekah sempurna, menyiratkan kebahagiaan yang luar biasa.
Sesaat Bimo menekuk wajahnya saat wajah cantik yang dipandanginya tengah menatap mesra pada laki- laki berkacamata di sebelahnya. Dari jarak sejauh ini pun ia bisa melihat tatapan penuh cinta antara keduanya.
Gue kalah.
Gue menyerah.
Dia sudah bahagia.

Cinta Skuter (9)

sebelumnya Cinta Skuter 8


Cinta Skuter (9)

“Gue butuh bantuan lo,”
“Ok!”
Bimo mengernyit. Ekspresi wanita di depannya sangat datar dan dengan mudah mengiyakan kata- kata Bimo padahal dia belum mengatakan bantuan apa yang dibutuhkannya.
“Gue rasa gue belum bilang bantuannya,”
“Gue rasa gue tahu bantuannya,”
Bimo berdecih. Wanita ini masih dengan sikap angkuhnya. Tapi sudahlah, hanya dia satu- satunya wanita yang bisa membantunya.  Wanita yang bisa dipercayainya.
“Thanks.”
Wanita itu berdiri. “Anggap saja gue balas budi.” Katanya seraya meninggalkan Bimo. Sesaat sebelum pergi ia tersenyum tipis, “Kita impas.”
Bimo hanya mengangguk. Ia menghembuskan nafas gusar kemudian memijit pelipisnya berulang kali. Entah benar tidak caranya, baginya yang penting Reina baik- baik saja. Tak terluka sedikitpun.

Cinta Skuter (8)

sebelumnya Cinta Skuter 7

Cinta Skuter (8)

“LAKI APA BA*CI LO?”
Bimo menghela nafas berat. Ini konsekuensinya kalau membiarkan Aldi masuk apartemennya. Sinis dan sadis. Tapi mau bagaimana lagi, Aldi sahabatnya yang sudah sangat dihafal para security dan ia tak mungkin membiarkan Aldi merusak bel apartemennya karena menekan tanpa henti bila dirinya tak membuka pintu.
“Telepon gue kenapa ditutup? Gue hubungin lagi nggak aktif. Ck, lo mau menghindar. Nggak tanggung jawab!”
Bimo memilih membungkam mulutnya dan melangkah menuju kamarnya. Ia tak berminat meladeni ucapan Aldi. Ia butuh istirahat sekarang meskipun hanya beberapa menit.
“Reina hubungin gue,” Kalimat singkat Aldi menghentikan langkahnya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan gadis itu berhasil membuat dunia Bimo terbalik. Ia kini harus menarik pemikirannya yang tak berminat mendengar ocehan Aldi. Nyatanya ia telah menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Aldi.
“Reina nangis ke gue.” Suara Aldi lirih, “Pernikahannya terancam batal.”
APA!!!

Selasa, 19 Mei 2015

Cinta Skuter (7)



sebelumnya Cinta Skuter 6


“Skandal ini bisa membuat kamu lebih terkenal, Bim!”
Bimo membelalakan matanya. Apa kata produsernya tadi? Lebih terkenal?
“Dan juga membantu promo film perdana kamu.”
Whatttttt!
Produser sint*ng! Duit aja duit!
 “Jadi bukan masalah berarti kan?” Kata laki- laki baya tersebut seraya beranjak dari kursinya, “Saya ada meeting sama TV. Saya tinggal dulu ya.”
Bimo mendengus. Tadi ia mengira produser menyuruhnya datang ke kantor karena gossip yang ramai diperbincangkan. Bimo berkeyakinan sang produser akan membantunya menyelesaikan masalahnya, namun apa hasilnya. NIHIL.

Cinta Skuter (6)


sebelumnya Cinta Skuter 5


“APA- APAAN INI!” Bimo membanting tabloid yang berada di tangannya. Tabloid malang. Hanya berisi lembaran kertas, tetapi kali ini menjadi korban kemarahan Bimo.
Wajah Bimo mengeras menahan emosi yang menggelegak. Tangannya mengepal keras. Matanya nyalang siap menerkam siapapun yang lewat dihadapannya.
“SH*T!” Selanjutnya umpatan dan isi kebun binatang tak henti mengalir dari bibir Bimo. Ia lupa ajaran orang tuanya. Tetapi begitulah  manusia. Kemarahan membuatnya melupakan etika berbahasa yang baik.
Geri, asistennya berdiri dengan lutut gemetar di sudut ruangan. Hampir dua tahun ia bekerja dengan Bimo, namun baru sekarang ia melihat Bimo marah. Marah dalam artian sesungguhnya. Selama ini jika ia melakukan kesalahan, Bimo hanya mengomel. Itupun sesaat selanjutnya semua akan kembali normal. Tetapi hari ini ia menyadari bosnya memiliki sisi lain yang membuatnya gemetaran sejak tadi. Tak sekalipun ia berani bersuara. Bahkan bergerak. Ia benar- benar takut.
Sejenak ia berpikir apa gerangan yang membuat bosnya marah tak keruan? Memang kalau diperhatikan beberapa minggu ini mood Bimo sedang buruk tetapi tak pernah marah hingga mengeluarkan sumpah serapah yang memanaskan telinganya.

Cinta Skuter (5)



Sebelumnya Cinta Skuter 4


Cinta skuter (5)
Bimo menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mulutnya tak henti merapal doa sejak tadi. Pandangannya lurus, menatap rumah yang tegak menjulang di depannya. Kali ini ia sudah memantapkan diri untuk melakukan yang harus dilakukan.
Perlahan dilangkahkan kaki menuju rumah tersebut. Rumah dengan halaman luas yang ditumbuhi beberapa tanaman buah. Bimo meringis, rumah yang sebenarnya sudah sering ia kunjungi. Tapi untuk kali ini perasaannya yang dirasakan berbeda. Lebih takut dan deg- degan.
Sembari mengucap salam, tangannya terulur mengetuk pintu bercat putih. Semoga yang keluar bukan Reina, gumamnya dalam hati. Kalau Reina, bubar sudah rencananya.
Manusia berencana, Tuhan yang menentukan.
Mata Bimo terbelalak lebar saat mendapati sosok gadis yang dicintainya yang membuka pintu. Sh*t! Double sial!

Cinta Skuter (4)


Sebelumya Cinta Skuter 3

Cinta tak harus memiliki. Cinta sejati justru ingin membahagiakan orang yang dicintainya meski harus merelakan kebahagiaan tersebut dengan orang lain.
Ah, kalimat- kalimat bullsh*t. Kata- kata yang menyesakkan saja. Siapa yang ikhlas seikhlas- ikhlasnya jika orang yang dicintai berbahagia bersama orang lain. Tidak, kurasa tak ada. Siapa pun orang akan frustasi jika tak memiliki orang yang dicintai, bukan?
Jadi tariklah kalimat- kalimat diatas! Hanya makin menambah keterpurukan saja.
“Lo malu- maluin aja Bray jadi cowok!”
“Patah hati sih patah hati. Tapi nggak gitu sampai segitunya lah.”
Aku mendengus gusar. Lagi- lagi Aldi dengan mulut pedasnya. Dia aja belum pernah seperti yang kurasakan, lihat saja kalau dia merasakannya. Aku pasti menjadi orang pertama yang mengejeknya.
“Ya elah Bray, cewek masih banyak tuh. Lo tahu kan perbandingan cowok sama cewek? 1:4. Jadi lo santai aja!”
Dasar sint*ing!

Cinta Skuter (3)


Sebelumnya Cinta Skuter 2

Benakku melayang pada reuni yang mempertemukan aku dan Reina. Pertemuan pertama sejak kami lulus SMA. Aku tersenyum tipis mengingat kata- kata skuternya.
Tersinggung? Tidak juga. Hanya ya sedikit membingungkan. Selama 24 jam dalam satu hari tidakkah ia melihatku di layar kaca. Fyi sinetron yang kubintangi saat itu sedang digandrungi masyarakat. Hmm, sesibuk apa dirinya sampai tak pernah melihat diriku sama sekali.
Pada akhirnya satu kali tak cukup. Tentunya ada pertemuan berikut dan berikutnya kembali. Reina, gadis yang menarik perhatianku saat sekolah dan tak ada salahnya jika kami mulai berteman. Seiring berjalannya waktu, aku tak dapat menampik ada perasaan yang diam- diam menyelusup di hatiku. Reina, gadis yang cerdas, cantik dan mandiri. Dia jelas berbeda dengan gadis- gadis lain yang  selama ini berada di sekitarku. Kebanyakan matre dan plastik. Reina jelas berbeda.
Tidak, aku tak pernah menginginkan gadis lain selain Reina dalam hidupku. Aku menginginkan ia menjadi bagian penting dalam hidupku. Hanya ia satu- satunya. Istri yang hebat dan ibu yang sempurna bagi anak- anakku kelak. Maka aku tak perlu berpikir ulang ketika memutuskan untuk melamarnya.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Siapa sangka lamaranku berakhir sia- sia. Reina sudah dilamar orang lain.
Garis bawahi dilamar orang lain. Bagaimana bisa aku kecolongan?
Oke, selama ini aku yakin betul tak ada laki- laki yang dekat dengannya. Ia tak sedang menjalin hubungan dengan siapapun. Kurasa hanya aku.
Kurasa? Yah hanya perasaanku, karena kenyataannya ada orang yang terlebih dahulu melamarnya.
“Si… siapa?” 
“Seseorang dari masa lalu,”
“Bagaimana bisa?” Reina diam. Kepalanya tertunduk. Ia sendiri bingung harus berkata apa.
“Kamu bahagia?” Cecar Bimo kembali.
Reina bungkam.  Sesaat ia membuang muka. Mengalihkan tatapan ke jalanan di balik jendela cafĂ©. Kalau saja waktu bisa diputar ulang.
“Rei,”
Reina mendengus lalu menatap Bimo tajam. “Semua gara- gara kamu,” Katanya ketus.
“Hah? Aku?” Bimo melongo kaget.
“Iya. Coba aja kamu ngomong dari dulu. Nggak telat seperti sekarang.”
“Maksudmu?”
“Pikir sendiri!”
Kening Bimo mengernyit. Otaknya berfikir mencerna kalimat Reina. Ngomong dari dulu? Nggak telat seperti sekarang? Itu maksudnya…
“Rei,” Ucap Bimo kemudian, “Jangan bilang kalau kamu suka aku juga,”
Reina menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Mulutnya membuka untuk beberapa saat seperti ingin mengatakan sesuatu, namun urung. Ia kembali menutup mulutnya.
“Reina!”
Reina tak bergeming. Ia justru kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tetapi hanya sesaat karena selanjutnya ia terkesiap saat jemarinya diraih Bimo.
“Jelasin, Rei!”
“Iya. Iya. Aku memang suka sama kamu. Bahkan dari dulu!” sahut Reina tajam. “Tapi sekarang buat apa karena semua sudah terlambat!” Lanjutnya kembali semakin sinis.
Mata Bimo melebar mendengar kata- kata Reina. Tiga kata yang menari dipikirannya. Suka, dulu dan terlambat. 
Ya Tuhan! Mengapa tak kauberikanku kemampuan membaca isi hati orang. Kalau saja aku tahu perasaan Reina, mungkin tak ada kata terlambat diantara kami.
-tbc-

selanjutnya Cinta Skuter42

Cinta Skuter (2)


sebelumnya Cinta Skuter 1

Flashback
“Bim, Bim!”
Bimo menoleh, “Apaan sih?” Tanyanya galak pada Aldi, sahabatnya yang berada di sebelahnya. “Ganggu aja!” Lanjutnya sembari mengalihkan pandangan kembali ke smartphonenya. Mengecek email dari managementnya terkait jadwal pekerjaannya untuk sebulan kedepan.
“Halah, sok sibuk lo!” Cibir Aldi.
“Emang gue sibuk.” Sahut Bimo enteng. Ia menarik nafas panjang lalu menatap sahabatnya, “Bete gue, Al. Acaranya nya monoton gini.” Keluhnya kemudian.
Aldi manggut- manggut. Hatinya membenarkan ucapan Bimo. Acara reuni sekolah yang dihadiri mereka, sangat membosankan. Terlalu monoton dan formal.
“Cabut aja, yuk!” Ajak Bimo, “Cari suasana lain.”
“Eh sabar, Bro!” Tahan Aldi, “Gue rasa lo harus lihat seseorang dulu.”
Kening Bimo mengernyit, “Seseorang?”
Aldi mengangguk cepat dan dagunya sedikit terangkat mengarah ke pintu masuk aula. Sebuah seringaian tercetak di wajahnya yang membuat Bimo penasaran. Maka diarahkannya matanya kea rah yang ditunjuk Aldi.

Senin, 18 Mei 2015

Cinta Skuter (1)


Cinta Skuter (1)

“Will you marry me?”
Bimo merasakan kelegaan saat mengatakan hal tersebut. Seperti ada beban berat yang terangkat di pundaknya. Meskipun sekarang berganti dengan kecemasan menanti jawaban Reina, tetapi setidaknya kegamangannya berakhir sudah.
“Reina?” Panggilnya kemudian. Hampir lima menit dari pernyataannya, Reina hanya mematung diam seketika. Bimo meringis. Bukan ini ekspresi yang diinginkannya.
“Eh, iya…aku…,” Reina gelagapan. Ia menatap Bimo lekat- lekat. “Ka…kamu serius?”
Bimo mengangguk mengiyakan. “Untuk hal seperti ini nggak mungkin bercanda kan?”
“Bukan akting?”
Bimo mendengus gusar. Bagaimana bisa kalimat seserius ini dianggap akting Profesinya memang artis, berakting di layar kaca tetapi pernikahan adalah hal serius. Bukan permainan peran belaka.
“Kamu ngeraguin aku?”

Minggu, 03 Mei 2015

[Cerpen] Gagal Bersembunyi


“Bang Elang!”
“Hmm,”
“Boleh nanya?”
“Hmm,”
“Ini siapa?”
“Siapa?”
“Cantik.”
Aku mendongak seketika saat kata cantik terucap dari bibir Diandra, adik bungsuku. Keningku mengerut saat melihatnya tenga menatap selembar kertas yang kuyakini sebuah foto.
“Apa itu, Di?” Tanyaku penasaran.
“Pacar abang ya?” alih- alih menjawab pertanyaanku, Abg labil itu justru menanyakan hal yang membuatku bingung. Pacar? Siapa?
“Cantik tau, Bang.” Ujarnya lagi. “Kok nggak pernah dibawa kerumah?”
Kerutan di dahiku makin bertambah. Rasa penasaranku pun menjadi. Jadi sebenarnya foto siapa di tangannya.
“Coba lihat! Siapa sih?”
“Ish, punya cewek cantik diumpetin aja abang mah!”
Aku mencibir. Ini anak bukannya ngasih malah ngomong aja. Dengan cepat aku berdiri dan menarik foto tersebut.
“Ih, abang mah!” Protesnya namun tak kupedulikan. Aku penasaran sosok dibalik foto yang dipuji Diandra.
Seketika hening.
Detak jantungku tiba- tiba tak berirama beraturan. Mendadak ada sesak yang terasa di dada. Dia?
“Wuih, kayaknya abang terpana!”
Suara cempreng Diandra menyentakkan kesadaranku. Aku menatapnya tajam, “Dari…mana i..ni?”
Diandra mengangkat buku yang ia baca tinggi- tinggi. Ia tersenyum lebar. Seketika aku menyadari buku karangan Billi P.S Lim itu terlalu lama tak kusentuh. Kurasa nyaris berlumut di salah satu lemari bukuku.
“Kamu ambil buku abang?”
“Pinjam, Bang!” Diandra meralat kata- kataku sebelumnya, “Kan Dian udah bilang mau pinjam buku abang.”
“Tapi kenapa ini?”
“Judulnya menarik,” Sahut Diandra acuh. Aku menggeleng sesaat. Diandra tidak salah. Hanya saja buku yang ia pinjam membuka fakta lama tentang seseorang.
Tentang dia yang seharusnya terlupakan.
***
“Lang! Elang! Sini!” Aku tersenyum saat menemukan sosoknya ada diantara sekian banyak mahasiswa yang sedang menikmati makan siang di kantin kampus. Tangannya melambai- lambai ke arahku, membuatku setengah berlari menghampirinya.
“Siang amat?” Celotehnya saat aku tiba di hadapannya.
“Biasa. Bu Tantri nggak akan keluar kalau tugas belum rampung.” Terangku menjelaskan alasan keterlambatanku. Bu Tantri, dosen yang terkenal perfeksionis dan galak. Ia takkan membiarkan seorang mahasiswa pun keluar dari kelasnya, jika tugas belum selesai. Dan tadi karena salah seorang teman sekelasku masih belum menyelesaikan tugasnya meski jam kuliah telag usai, mau tak mau kami sekelas pun tak bisa keluar kelas tepat waktu. Nasib.
“Oh,” Ia mengangguk mahfum.
“Udah pesan?” Aku meliriknya ke meja dihadapannya. Hanya ada segelas es jeruk. Itupun tinggal setengah.
“Gue pesenin deh,” Kataku kembali. “Kayaknya lo belum makan?”
“Eh nggak usah, nggak usah!” Aku mengernyit. Tumben. Tak biasanya ia menolak makan siang.
“Gue mau pergi,”
“Kemana?” Mataku menyipit curiga.
“Mau tahu aja sih lo,”
Keningku makin berkerut. Aku menangkap sesuatu yang tak biasa disini. Kupandangi dirinya yang justru mengalihkan tatapannya ke segala penjuru. Bola matanya yang sesekali mengarah kepadaku pun tak luput dari perhatianku.
“Fine! Fine! Gue mau pergi sama Aldo.”
Akhirnya ia menyerah juga. Tunggu? Aldo?
“Aldo?”
Ia mengangguk. “Anak TI,”
Hah. Anak TI? Itukan berarti…
“Angkatan berapa? Kok gue nggak pernah dengar?”
“Senior lo kayaknya.”
“Senior?” Ucapku ragu. Aku terdiam sejenak untuk berfikir. “Astaga, jangan bilang Aldo yang lo maksud Rivaldo Salim,”
“Iya. Cakepkan? Orangnya itu baik, Lang. Duh, gue beruntung bisa kenalan sama dia. Eh, dia ngajakin gue makan siang bareng lagi,”
Kepalaku pusing seketika. Tak kupedulikan kata- katanya. Bagiku cukup. Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawahku getir. Aku kalah. Lagi- lagi ia akan bersama orang lain. Aku hanya bisa memandang. Aku hanya bisa jadi pemuja rahasia.
***
Sekelebat ingatan tentangnya kembali memenuhi benakku. Ah, gara- gara Diandra ini. Kalau saja ia tak menemukan foto itu. Kalau saja ia tak mengambil buku itu, bisa kan buku lain, omelku dalam hati. Tapi ini tentu tak adil. Bukan Diandra yang salah, tapi aku. Aku meringis. Foto itu?
Ah, Foto itu mengapa masih kusimpan atau tepatnya tersimpan di salah satu lembaran buku bacaanku. Bukankah semua tentangnya sudah aku buang dan bakar hingga tak bersisa. Mengapa satu foto itu tertinggal. Padahal aku ingat betul, aku sudah menyortir semua kenangan bersamanya. Tak ada satupun yang kubawa saat kembali ke rumah.
Sashi. Kirana Sashika. Aku mengenalnya saat kami sama- sama menjadi mahasiswa baru. Saat itu kami sama- sama terlambat di acara penerimaan mahasiswa baru tingkat universitas. Ia yang tengah berlari- lari menuju gedung tempat acara, menabrak diriku yang juga menuju gedung yang sama. Benar- benar ceroboh, omelku saat itu. Aku yang sudah siap dengan amarah mendadak terpaku oleh wajah menggemaskannya. Dia terlihat manis dan cute secara bersamaan. Sejak saat itu kami bersama. Menjalin sebuah persahabatan.
Persahabatan?
Cih, aku meragukannya. Justru aku sendiri yang mengkhianatinya. Entah sejak kapan aku menyukai seorang Sashi. Wajah imut serta tingkahnya yang ceria dan menyenangkan mendapat tempat tersendiri di sudut hatiku. Sayangnya aku tak pernah berani mengungkapkan isi hatiku. Aku takut perasaanku tak berbalas hingga merusak persahabatan kami.
***
“Ini?” Mendadak kurasakan tubuhku melemas. Lunglai tak bertenaga. Kenyataan yang ada dihadapanku sekarang benar- benar tak dapat kuterima.
Aku menatap Sashi yang hanya terdiam dengan kepala tertunduk. “Sas?” Aku menyebut namanya dengan lirih. Sashi membuang muka. Sepertinya ia tak berani menatapku langsung.
“Sashi!” Aku sudah tak sabar.
“Undangan itu menjelaskan semuanya, Lang.”
Aku mendesah kecewa. Ternyata benar gossip yang beredar seminggu belakangan ini. Sashi dan  Aldo akan menikah. Awalnya aku tak percaya, tapi undangan di meja yang berada tepat di depanku menjelaskan semuanya.
“Benar- benar tak ada tempat untukku?” Detik kemudian saat melihat keterkejutan di wajah Sashi, aku menyadari mulutku yang telah lancang menyuarakan isi hati.
“Lang, el-lo…?”
Aku mengangguk perlahan. Kepalang basah. “Sejak dulu, Sas. Gue suka sama lo. sejak awal kita ketemu,”
Setitik air mata lolos dari mata Sashi membuatku makin nelangsa, “Ll-lang, mm-mmaaf!”
“Gue tahu,” Kataku kecewa, “Sudahlah. Yang penting lo bahagia. Gue minta maaf kalau selama ini ada salah,”
“Lang,”
“Setelah menikah, kita nggak akan sama lagi, Sas. Gue harus hormati Aldo sebagai suami lo,”
Bohong? Lebih tepatnya aku takkan siap bertemu denganmu, Sas.
“Gg-gue minta maaf, Lang.”
“It’s Ok, Sas. Cuma satu aku tanyakan terakhir kalinya.” Sashi menatapku bingung, “Benar kata orang- orang tentang kalian?”
Anggukan kepala Sashi yang pelan seketika membuat bahuku merosot pasrah. Dadaku terasa sesak. Aku merutuk dalam hati, bagaimana aku bisa kecolongan?
***
Aku tersenyum tipis saat memandangi layar di hadapanku. Dia masih sama. Meskipun kini telah berstatus sebagai ibu,  tapi secara keseluruhan ia masih terlihat sama seperti dulu. Tak berubah.
Ingatan tentang Sashi membawaku menjelajah dunia buatan Mark Zuckenberg. Lingkungan pertemanan kami yang sama, membuatku tak sulit untuk mencarinya. Hanya saja aku tak pernah berniat menambahkan dia ke dalam list pertemananku. Masih menyesakkan!
Aku meringis. Ah, ternyata ia masih tersimpan di salah satu sudut hatiku. Belum benar- benar terlupakan. Hari ini ketika Diandra menemukan fotonya, ingatan tentangnya seketika memenuhi otakku.
Rindu? Mungkin?
Senyumnya yang hangat masih kuingat jelas. Gayanya yang ceria serta mulutnya yang tak henti berceloteh jika kami sedang bersama.
Argh, aku merindukanmu, Sas. Sangat rindu.
Kali ini saja biarkan aku mengingatmu. Mengingat sekelumit tentang cerita kita yang dahulu. Yah, kali ini saja!

-end-

Terinspirasi GAGAL BERSEMBUNYInya THE RAIN