Kamis, 27 Agustus 2015

ELROY (14)


Bab XIV
Sebelumnya Disini


Dari sekian banyak tempat yang bisa dia kunjungi, entah mengapa Elroy mengarahkan motornya ke rumah berpagar putih yang kokoh berdiri di hadapannya. Elroy menghela nafas berat lalu menggeleng sembari mendengus gusar.

Ngapain gue kemari?

Ck, decaknya dalam hati. Otak gue konslet!

Minggu, 23 Agustus 2015

ELROY (13)


Bab XIII

Sebelumnya Disini


“Ayo cepat masuk, El!” Anya menarik tangan Elroy. Menariknya untuk masuk pintu depan rumah mereka. Keengganan jelas dirasakan Elroy.

PERGI SANA! PERGI YANG JAUH!

Elroy tersenyum kecut mengingatnya. Langkahnya nyaris terhenti kalau saja Anya tak menarik lengannya. Sekilas matanya mengamati sekeliling ruang tamu yang terlewati. Segalanya belum berubah. Masih sama. Seperangkat sofa berwarna kuning emas masih tertata apik di tempatnya, bahkan foto keluarga yang entah diambil tahun berapa masih tergantung di dinding ruang tamu.

Ck, keluarga bahagia. Huh! 

"Welcome home," Bisik Anya sembari mengangkat dagunya dan tersenyum simpul.

Elroy terkejut seketika saat matanya menemukan ayah dan ibunya tengah duduk tenang di meja makan. Keduanya mengangkat wajah mereka saat menyadari kehadirannya dan Anya. Tersenyum sumringah. Terutama ayahnya yang bahkan berdiri dari kursi lalu menghampiri Elroy untuk penyambutan. Dipeluknya Elroy.

Tubuh Elroy pun membeku.

My baby boy pulang juga,” Hector terkekeh. Lalu perlahan menepuk punggung Elroy hangat. Sekilas benak Elroy memutar kenangan tentang sosok hangat ayahnya saat kecil. Ayah kebanggaannya…

“El bukan bayi lagi, Pap!” Sergah Elroy sesaat kemudian.

“Hahaha…,” Laki- laki itu terbahak. Dia menggiring Elroy menuju meja makan. Duduk di kursi tepat di sebelah ibunya. Anya sendiri sudah mengambil tempat di seberang ibunya. Senyum tak lepas dari wajah laki- laki baya itu. Dia terlihat sangat…

Ehm.. bahagia?

Pandangan Elroy beralih ke ibunya. Mami hanya tersenyum tipis lalu mengusap bahu Elroy. Elroy mengernyit, mengapa ia merasa ibunya terlihat memaksakan diri.

“Jadi… bagaimana kuliahmu, El?” Papi membuka percakapan. Elroy menatap lelaki itu, postur dan wajahnya yang sangat mirip membuat Elroy bergidik. Wajah itu kelak wajahnya di masa depan.

Minus perilakunya!

“Baik,” jawab Elroy singkat. Ia tidak ingin membahas tentang kuliahnya. Toh, sejak kapan pula papi peduli dengan dirinya?

“Kudengar kamu sering bolos…,” Ucapan Hector terhenti sejenak, ia tersenyum lebar. “Tapi nilaimu selalu terbaik. Kamu memang nggak pernah ngecewain papi, Nak.”

Sebelah alis Elroy terangkat. Papi mengawasinya?

Dan tunggu apa katanya tadi,

Nggak pernah ngecewain!

Iya. Papi yang ngecewain El!
“Papi ngawasin El?”

Hector tersenyum lebar tetapi Elroy sudah mengetahui faktanya. Jadi meskipun dia tak tinggal di rumah, papi ternyata masih mengawasi dirinya.

Ck, maunya apa sih mereka? 

“Ngomong- ngomong ini dalam rangka apa?” Tanya Elroy penuh selidik.

“Kami hanya ingin makan bersama anak- anak kami.”

“Kami?”

“Ya. Papi dan mami. Ada yang salah?”

Salah! Salah banget!

Elroy memilih menatap ayah dan ibunya bergantian. Laki- laki itu, laki- laki yang dipanggil papi duduk tenang di kursinya dengan sorot lembut dan senyum tak lekang dari wajahnya. Sedangkan mami memilih menutup mulutnya rapat- rapat. Diam dan tak sekalipun berkomentar.

“Kembalikah ke rumah ini, El!” Hector menarik nafas dalam. Ia mendesah pasrah, “Papi cuma mau kamu pulang. Papi nggak mau menelantarkan kamu lagi, Nak. Papi dan mami takkan bertengkar lagi.”

Seketika Elroy berpaling menatap ibunya. Wanita itu hanya mengangguk samar.

Sangsi. 

“Kita bersatu lagi, El!” Kini Anya buka suara. Binar kebahagiaan terlihat jelas di mata Anya membuat Elroy dilanda keheranan. Ia pun melepaskan pandangan ke seluruh orang di meja makan secara bergantian. Ketiganya memang tengah memfokuskan perhatian ke dirinya, hanya dia karena memang sepertinya tinggal menunggu keputusan dirinya. Sulit, sangat sulit dipercaya. Pikirannya melalang ke masa beberapa tahun terakhir, dimana setiap hari rumah dilanda perang dunia ketiga. Benar- benar neraka!

Dan sekarang.

“Sebenarnya ada apa ini?” Tanya Elroy lirih. Kepalanya pusing. Ini keinginannya selama ini. Mimpi- mimpinya. Semuanya kembali normal. Kehidupan keluarga yang bahagia.

“Nggak ada apa- apa, El. Tapi inilah keluarga sebenarnya,”

Degupan jantung Elroy terengah. Matanya memicing menatap Anya yang kini menganggukkan kepalanya seakan berkata semuanya kembali, El!

“Kita kembali seperti dulu, Nak.” Hector kembali bersuara, ia menatap anaknya lembut. “Kamu kembali ke rumah. Apapun yang kamu minta akan papi kabulkan,”

Benarkah? Batinnya Elroy berperang. Entah mengapa sisi hatinya yang lain masih meragukan kenyataannya di depannya. Benar- benar ironis.

“Mam,” Elroy kembali menoleh. Matanya menemukan bulir air mata jatuh membasahi pipi ibunya. “Ini benar? Mami beneran mau El pulang?”

Astrid diam. Matanya menerawang ke depan. Ia mengabaikan pandangan anaknya hingga tiba- tiba ia merasakan sentuhan di lengan kanannya.

Elroy bingung. "Mami,"

"Astrid...." 

“LEPASIN AKU, BAJIN*AN!”

Elroy tersentak. Ia nyaris terlonjak saking kagetnya. Mami menepis usapan tangan papi, tak sampai disitu mami pun mengucapkan kata- kata sarkas. Angan keluarga bahagia seketika buyar dari pikirannya. Sekilas ia melihat Anya yang juga terbelalak tak percaya.

“Astrid…,”

“APA?” Astri menatap Hector nyalang. Amarah berkobar di matanya. “NGGAK! KAMU NGGAK BENAR- BENAR MENGINGINKAN KELUARGA INI KAN? CIH! KAMU PIKIR AKU NGGAK TAHU RENCANAMU!”

“SAHAM PERUSAHAAN TURUN KAN GARA- GARA BERITA ITU! DAN KAMU INGIN MENGEMBALIKAN KEPERCAYAAN INVESTOR DENGAN POTRET KELUARGA BAHAGIA. CK, BUL*SHIT!”

Elroy masih ternganga mendengar makian ibunya. Jantungnya nyaris meloncat keluar karena kenyataan baru yang ditemuinya.

“Hentikan prasangka burukmu itu, Astrid! Aku benar- benar ingin keluarga kita kembali….”

“Ck, akting sempurna!” Potong mami cepat, “Kurasa kamu lebih cocok jadi artis daripada aku.” Astrid tersenyum meremehkan.

“Sejujurnya aku ragu dengan kata- katamu yang ingin bersatu lagi. Maka kusuruh orang mengawasimu. Cih! Nyatanya kamu masih menemui dia kan? Bahkan aku baru tahu bahwa kalian punya seorang anak. Anak perempuan manis berusia 2 tahun.”

What the hell? 

Mata Elroy terbelalak. Degup irama jantungnya benar- benar sudah tak terkontrol. Fakta yang baru diucapkan ibunya benar- benar mengagetkannya. Ralat tidak hanya dia tetapi juga Anya. Perempuan itu kini terlihat sangat shock. Matanya berkaca- kaca, Elroy nyaris tak bernafas melihatnya.

Anya sangat terpukul.

"KAMU!!" Telunjuk Astri menunjuk ke suaminya, "SEKALI BAJIN*AN TETAP BAJIN*AN!"

"DAN KAMU JALA*G!"

Elroy melotot mendengar kata- kata kasar ayahnya. Amarah seketika menguasainya. Bersatu? Hidup normal? Cih! cuma mimpi! Selamanya keluarganya takkan bisa bersatu. Dua orang itu, dua orang yang berstatus sebagai orang tuanya adalah dua orang paling brengsek yang pernah ada di hidupnya. Dengan cepat tangan Elroy meraih gelas yang ada di meja, lalu membantingnya tanpa ampun. Bunyi pecahan gelas cukup keras menghentikan pertengkaran Hector dan Astrid.

“LEPAS! LEPASIN TOPENG KALIAN SEMUA!” teriaknya kencang. “ MUNAFIK! MUNAFIK KALIAN BERDUA. GUE BENCI PUNYA ORANG TUA SEPERTI KALIAN!”Lanjutnya lagi seraya berdiri dari kursi dan berlari meninggalkan ruangan.Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras menahan emosi, air matanya nyaris tumpah.

Tidak! Anak lakai- laki nggak boleh cengeng. Harus kuat!

Arggh!Kenapa rasanya sesakit ini! 

***
Selanjutnya Disini




Lampung, Agustus 2015


Kamis, 20 Agustus 2015

ELROY (12)


Bab XII

Sebelumnya Disini


Pemuda itu berjalan cepat memasuki sebuah gedung apartemen. Pikirannya sedikit kalut, memikirkan nasib ibunya yang sudah tiga hari tak pulang ke rumah. Apalagi malam sebelumnya ia sempat bertengkar, tetapi keesokan hari ibunya sudah tak ada di rumah. Sempat pula ia menghubungi asisten sang ibu menanyakan kemungkinan ibunya berada di luar kota tetapi tidak, justru si asisten mengatakan ibunya kini jarang menerima tawaran pekerjaan.

“Mam!” Ucap pemuda itu saat membuka pintu. Beruntungnya kode password apartemen tak berubah, jadi dengan mudah ia masuk.

“Mami,” Panggilnya lagi. Matanya menelusuri seluruh ruangan tetapi tak ditemukan tanda- tanda keberadaan orang.

Mami kemana sih!


ELROY (11)


Bab XII

Sebelumnya Disini


Mata Anya melebar tak percaya mendapati sosok pria baya didepannya. Sejenak ia mengerjap- ngerjapkan berulang kali. Menyakinkan diri pandangannya tak salah. Ini benar- benar nyata.

Papi, gumamnya pelan. Nyaris berbisik.

Kok disini?

Laki- laki itu terkekeh sembari menggeleng kepala. Dia tahu kalau kedatangannya akan mengejutkan putrinya. Tetapi mau bagaimana lagi.

Do you miss me, Dear!”


Senin, 17 Agustus 2015

Hati Seorang Ibu




Ibu, maafkan aku
Seketika aku tersentak. Terbangun dari tidur. Mimpi itu datang lagi. Mimpi tentangnya.

Ya Allah, lindungi ia. Kembalikan ia ke sampingku.
Kulirik jam di dinding. Pukul 03.00. Aku memutuskan untuk bangkit dari kasur. Tidur lagi pun takkan mungkin. Mata ini sudah sulit terpejam kembali.

Ku ambil air wudhu lalu memasrahkan diri pada sang pencipta. Bukankah ia tempat sebaik- baiknya untuk berkeluh kesah?

"Ini sudah tidak bisa dibiarkan,"


Kamis, 13 Agustus 2015

ELROY (10)


Bab X

Sebelumnya Disini

Elroy mendengus saat matanya menemukan sosok Gendis yang tengah tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya. Terlihat jelas gadis itu sedang berjalan menuju kearahnya.

Ck, decaknya dalam hati.

“Hai El! Hai Guys!” Sapa Gendis itu sesaat setelah dirinya berada di lingkaran Elroy dan teman- temannya. Elroy memang tak sendirian, ia bersama keempat rekannya sedang berada di kantin kampus.

“Hai, Ndis!”

“Eh ada Gendis,”

“Gabung Ndis!”

Tanpa harus ditawarkan Tama pun, sebenarnya Gendis memang berniat menggabungkan diri bersama mereka. Tujuannya apalagi kalau bukan karena Elroy. Gendis hanya tersenyum tipis saat mendengar hembusan nafas kasar Elroy ketika dirinya mengambil tempat di sebelah laki- laki itu. Dari ekor matanya ia melihat Elroy membuang muka. Acuh. Tak peduli.

Dasar manusia es!
“Mau makan apa, Ndis?” Pertanyaan Adit membuyarkan lamunan Gendis. “Tenang aja gue traktir deh!”

Senyum Gendis terulas karena tawaran Adit. “Ck, giliran cewek aja lo traktir! Gue nggak pernah.” Protes Kenzi di sudut kanan.

“Duit lo banyak, buat apa gue susah- susah traktir lo!”

“Nah kalo gue nggak punya duit banyak nih bisa ditraktir dong?” Tama menimpali.

“Lo laki, masa nggak malu minta bayarin!”

“Cih! Emang dasar pelit!”

Elroy tak menggubris ucapan di sekitarnya. Ia memilih mengambil buku yang berada di atas meja. Membuka lalu membacanya. Bastian mengamatinya sesaat. Keningnya mengerut saat mendapati buku milik Tama yang sejak tadi dibiarkan pemiliknya di atas meja justru dibaca oleh Elroy.

Dia benar- benar menghindar!
Pandangan mata Bastian beralih ke Gendis. Gadis yang baru saja bergabung dengan mereka. Benaknya terus berpikir ada apa sebenarnya antara gadis itu dan Elroy. Hubungan seperti apa? Apa benar Gendis menyukai Elroy? Elroy terlihat tak nyaman dengan kehadiran Gendis tetapi beberapa kali ia juga melihat mereka bersama. Bahkan pagi itu, ia melihat Gendis ada di kosan Elroy. Hal yang membuatnya urung masuk.

“Gue ada perlu nih sama El,” Bastian tersentak dengan kalimat Gendis. “Bisa pinjam kan?”

“Eh…,”

“Oh,”

“Bisa- bisa! Ambil aja.”

Bastian melirik Elroy yang justru tak bergeming, padahal ketiga temannya yang lain sudah cukup berisik. Elroy baru menoleh setelah Tama menyikutnya. Itupun hanya sebentar lalu kembali mengarahkan pandangan kembali ke buku.

“Seingat gue kita nggak ada urusan apa- apa.” Ucap Elroy kemudian. Ketus dan terkesan dingin. “Jadi mending lo pergi!”

Keempat pasang mata terbelalak dengan kata- kata Elroy. Laki- laki itu terang- terangan mengusir Gendis. Wanita cantik yang bahkan masih bisa tersenyum mendengar kalimat Elroy.

“Gue nggak akan pergi kalau lo nggak pergi sama gue!”

Bastian mendelik, Kenzi ternganga, Adit melotot dan Tama menggeleng- geleng. Mereka serasa sedang menonton pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Satu merajuk dan yang lain keras kepala.

“GUE. NGGAK. AKAN. PERGI!”

Gendis menyeringai, “Dan gue juga nggak akan pergi!”

“Ck! Mau lo itu apa sih?” Elroy menatap sinis Gendis. Sesaat ia lupa kalau Gendis bukan seperti gadis lainnya yang entah takut atau segan dengannya. Bila menantang Gendis, gadis itu siap menantang balik.

“Lo pergi sama gue. Udah itu doang? Simpel kan.” Sahut Gendis enteng. Dia sama sekali tak merasa terintimidasi dengan kesewotan Elroy.

“Buat apa gue pergi sama lo? Kita kan nggak ada urusan!”

Gendis tersenyum miring. Ia tak menjawab pertanyaan Elroy namun matanya tak lepas menatap laki- laki itu. Sedetik kemudian Elroy mendesah.

“Ok Fine! Gue ikut lo.” Kata Elroy seraya bangkit dari kursi. “PUAS LO?”

Gendis tergelak. Kepalanya menggeleng berulang kali. Ia berdiri lalu menoleh sejenak, “Guys, galak amat sih teman kalian itu!”

Dan keempatnya hanya bisa mengangguk- anggukkan kepala. Menatap kepergian Gendis dan Elroy.

Ada apa sebenarnya?***

Dia bukan lagi seorang anak- anak. Ia cukup dewasa untuk tahu apa yang telah diperbuat ibunya selama ini. Pulang larut malam terkadang dini hari dalam keadaan berantakan, kacau tak keruan.

“Mau sampai kapan, Mam?” Suaranya parau. Menahan sesak yang menghantam dadanya melihat kondisi wanita yang sangat dicintainya. “Mau sampai kapan mami seperti ini?”

Wanita yang tengah berjalan gontai itu menghentikan langkahnya. Ia berbalik lalu tertawa kecil saat melihat sosok laki- laki muda duduk di sofa ruang tengah.

“Hei sayang, hik… kamu ngagetin mami aja!” Katanya sambil cekikikan. “Ngapain kamu duduk disitu!”

Pemuda itu menggeleng. Tiga tahun lalu setelah kelulusan sekolah menengah pertama, ia memilih pindah ke Surabaya. Tinggal bersama kakeknya. Ia sudah cukup jenuh dengan keributan dan pertengkaran kedua orang tuanya. Saat itu ia tak mengerti mengapa mami masih bersikeras mempertahankan pernikahan. Dia yakin, teramat yakin kalau maminya mengetahui skandal itu. Tetapi entah apa yang membuat mami bertahan. Bahkan kemudian wanita itu pun mengirimnya pindah ke kota lain. Menjauhkan dia dan kakaknya dari segala keributan dan pertengkaran yang nyaris terjadi setiap hari.

Kini ia kembali. Namun kenyataan yang diterimanya tidak jua berubah. Kehidupan rumah tangga kedua orang tuanya masih sama. Walaupun tak lagi terdengar teriakan dan pertengkaran tetapi keduanya nyaris tak pernah menganggap keberadaan lainnya. Bahkan dirinya mendapati keadaan ibunya yang lebih mengenaskan. Mami selalu pulang larut malam dalam keadaan mabuk.

“Kenapa mami nggak bercerai saja?” Tanyanya kemudian. “Mami bisa hidup lebih bahagia.”

“Baha..…gia?” Wanita itu kembali tertawa kecil, “Tau apa hik…kamu bahagia?”

“Daripada seperti ini!” Ujarnya tak mau kalah.

Wanita itu terdiam sejenak. Matanya menatap lekat- lekat pemuda itu lalu menggeleng perlahan. “Sudahlah!” Katanya dengan mengibaskan tangan kanannya. Ia kembali berbalik lalu melangkahkan kaki yang yang sedikit sempoyongan. “Mami capek!” Ujarnya terus melangkah mengabaikan anaknya yang hanya bisa terpekur ditempatnya.

Ck, mereka sama saja.

-tbc-
Selanjutnya Disini




Lampung, Agustus 2015

PS. Selanjutnya tayang Kamis dan Minggu (Sudah dibuat postingan namun diatur tanggal terbitnya). So, kalau nggak dishare ke fb silahkan cek langsung ke blog ini ya.

Thankssss….. :)))






Selasa, 11 Agustus 2015

Souvenir Unik, Tamu pun Senang



Dewasa ini souvenir merupakan salah satu hal penting pada sebuah acara resepsi pernikahan. Selain dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih dari mempelai untuk kehadiran para tamu, souvenir pernikahan juga sebagai bukti bahwa pernah terselenggaranya acara pernikahan antara dua orang yang kita kenal. Ya sebagai kenang- kenanganlah kalau kita sudah hadir di pernikahan tersebut. Makanya terkadang kita penasaran dengan souvenir pernikahan yang akan diberikan, bahkan tak jarang jika souvenir pernikahan dirasa bagus, menarik dan indah kita meminta lagi kan. Sayang kan kalau cuma punya satu. :)))

Dari pihak penyelenggara sendiri atau dalam hal ini pengantin tentunya memilih barang/benda yang terbaik guna dijadikan souvenir pernikahan. Selain itu juga dengan memikirkan asas manfaat serta fungsi benda tersebut kelak di kemudian hari.

Minggu, 09 Agustus 2015

ELROY (9)

Bab IX

Sebelumnya Disini



“Bagaimana?”


Laki- laki muda yang berdiri di depannya menggeleng perlahan. “Belum ada perubahan.”


Ck, dia berdecak dalam hati, “Argh, apa saja yang kau lakukan?” Geramnya, “Kenapa hal seperti itu tidak dapat kau selesaikan.”

Pemuda itu menunduk, “Ma…maaf, Bos. Media semakin gen..car kare..na nona Anya.”



Senin, 03 Agustus 2015

SWEET REVENGE


“Sayang, Kamu tahukan aku cinta sama kamu.”

Kepalaku mengangguk. Mengiyakan dalam hati.

“Cinta banget malah.”

I know,” Ucapku sembari manggut- manggut.

ELROY (8)


Bab VIII


Sebelumnya Disini


Elroy mengumpat kasar saat matanya menemukan sebuah Audy hitam terparkir di halaman kostnya. Segera dihentikan motornya. Ia mendengus gusar. Tak butuh lama baginya untuk mengetahui siapa pemilik mobil itu. Sekilas melihat plat yang tertera di bagian belakang mobil, dia sudah yakin seratus persen bahwa pemilik mobil itu mencarinya.

Elroy terdiam sejenak. Matanya menyipit. Mencoba melihat ke balik kaca gelap. Jarak dirinya yang masih berada di atas motor dengan jarak mobil memang tidak terlalu jauh. Bahkan Elroy merasa jika orang yang berada di dalam mobil berbalik atau melihat kaca spion, ia pasti sangat terlihat.