Minggu, 27 Maret 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (9)


Sembilan

Sebelumnya di sini

“Sudah selesai?”

Mirah berjengit kaget. Ia nyaris terjungkang di depan pintu kamar mandi saat mendapati sosok Dae Ho berada di dalam kamar. Seingat dirinya ketika akan mandi, kamar masih kosong. Dae Ho terlihat sibuk menerima telepon. Entah siapa? Karena bahasanya tak dimengerti Mirah.

Selasa, 22 Maret 2016

[Cerpen] Putus?



“Kita putus.”

Aku ternganga. Mataku melebar tak percaya, “Apa? Pu—tus?”

Bimo mengangguk. “Iya. Kita nggak cocok, Ras. Jadi untuk apa hubungan ini diteruskan.”
Argh, aku mengerang frustasi. Kejadian seminggu lalu masih kuingat jelas.

Bimo sialan!
Seenaknya dia memutuskan hubungan kami. Padahal aku sudah memimpikan menjadi pengantinnya. Alih- alih dilamar, yang ada hubungan kami berakhir.

“Ya udah sih, Ras. Nggak usah lo pikirin tuh cecunguk satu.” Aku menoleh. Nada tersenyum menatapku.

“Iya, Ras. Seharusnya lo bersyukur, berarti Tuhan sudah mempersiapkan jodoh yang lebih baik dari Bimo.” timpal Yohana yang duduk di sebelahnya.

“Lagian cowok playboy macam dia apa yang lo harapin sih, Ras.” Kini giliran Nancy yang berkomentar. “Untung belum married. Gimana kalau udah? Makan hati hidup lo.”

Aku terdiam berpikir. Ketiga sahabatku benar, mengapa aku masih sibuk memikirkan Bimo. Dengan beralasan terlalu banyak perbedaan diantara kami, dia memutuskanku. Padahal kenyataannya tiga hari lalu aku menemukannya berjalan dengan gadis lain.

Ck, playboy tengik!
“C’mon Ras. Lupakan bajingan itu!” Nada menarikku mengikutinya. “Kita kesini mau shopping. Senang- senang,”

“Sekalian tebar pesona. Tuh banyak cowok cakep berkeliaran.” Aku tergelak dengan seloroh Nancy.

“Tenang saja dear. Rugi banyak dia ninggalin lo. Tunjukin kalau dunia lo baik- baik saja tanpanya.”

Kuanggukkan kepala mengiyakan kata- kata Yohana. Yaps! Bimo yang bodoh! Dia akan rugi karena meninggalkanku.

Lihat saja nanti!
***

“Ras,”

Aku mendongak. Nada tersenyum. Seorang lelaki yang sudah amat kukenal ada di sebelahnya. “Hai, Ras!” sapanya.

“Hai, Lang.” Aku mencium pipi kanan dan kiri Nada terlebih dahulu baru menyalami Gilang, kekasih Nada.

“Udah lama?” tanya Nada saat menarik kursi di seberangku. “Sorry ya. Tadi Gilang telepon ada di Kuningan, jadi gue jemput dia dulu.”

Kugelengkan kepala sesaat, “Nggak sih. Gue baru nyampe. Lo darimana, Lang emangnya?”

“Ketemu klien. Gue tadi bareng teman. Eh dia balik dulu, gue ditinggal.” Jelas Gilang, “Eh udah pesen makan?”

Aku mengangguk. “Gue sih udah. Kalian pesan aja dulu.”

Gilang mengangguk kemudian ia memanggil pelayan. Sebenarnya siang ini Nada mengajakku makan siang bersama. Diantara ketiga sahabatku, memang Nada bisa dibilang paling dekat denganku. Kantor kami yang dekat memungkinkan kami untuk makan siang bersama sesering mungkin. Biasanya berdua, tapi kali ini ada Gilang. Aku tak pernah masalah, karena memang Gilang juga sudah sangat akrab denganku.

“Woy, Lang!” Aku yang tengah bercakap- cakap dengan Nada mendongak. Mataku melebar saat mendapati sosok yang tengah menyapa Gilang. Meski puluhan belasan tahun berlalu, aku masih mengenali sosoknya. Sosok yang dulu pernah mengisi hatiku.

“Oh ni kenalin Nada, cewek gue dan Raras, sahabat…,”

“Raras!” serunya saat pandangannya teralih padaku.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk pelan. “Da--mar!”

***

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali melangkah untuk memasuki café yang tegak menjulang di depanku. Kepalaku menoleh ke kanan dan kiri sebelum akhirnya mataku menemukan sosok yang tengah melambaikan tangannya.

“Sorry, Bim. Macet.”

Bimo mengangguk dan tersenyum. “It’s Ok, Ras. Kamu di sini aja gue udah cukup senang. Eh kamu mau pesan apa?”

Aku tersenyum samar. Bertemu kembali dengan Bimo setelah lima bulan kami putus jelas bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi setelah aku mengetahui alasan ia memutuskanku. Ck, cewek lain, huh!

“Thanks, Bim. Gue udah makan tadi. By the way kenapa lo pengen ketemu gue?” tanyaku tanpa basa- basi.

Bimo manggut- manggut. “A- aku mau minta maaf, Ras sama kamu.”

Keningku mengerut, “Maaf?”

Bimo mengangguk. “Aku sadar ninggalin kamu nggak bikin aku bahagia, Ras. Aku tersiksa, Ras. Ternyata cuma kamu yang bisa sepenuhnya ngerti aku.”

“Aku sayang sama kamu, Ras. Aku cinta. Aku pengen kita balik kayak dulu lagi,” sambung Bimo sembari memegang tanganku dan hendak menciumnya

Aku menepisnya dengan cepat. “Bukan muhrim.” delikku gusar.

Bimo ternganga. Aku bergerak cepat mengambil selembar undangan yang telah kusiapkan dalam tas lalu menyodorkannya ke hadapan Bimo.

“Gue datang karena gue mau ngasih ini. Lo datang syukur, nggak datang ya nggak ada pengaruh juga.”

Dapat kulihat keterkejutan di wajah Bimo. Ia makin terbelalak saat membuka undangan tersebut.

“Ras, i—ini…,” katanya seraya menunjuk nama yang tertera di undangan. Raras dan Damar.

“Yaps. Itu nama gue sama nama calon suami gue.” Aku tersenyum penuh kemenangan. “Dan dia lelaki paling gentle yang gue kenal.”

“Well,” aku beranjak dari kursi, “Lo mutusin gue karena cewek lain kan? C’mon Bim! Jangan kira gue nggak tahu.”

“Nggak ada lagi Raras dan Bimo. Yang ada Raras dan Damar.” lanjutku kemudian berbalik dan meninggalkan Bimo. Aku tersenyum puas. Akhirnya bisa membalas dendam pada playboy tengik itu. Sebenarnya aku tidak berniat melakukan hal ini, tetapi telepon Bimo yang tiba- tiba membuatku sedikit terkejut. Dan tepat sesuai dugaan teman- temannku kalau kemungkinan besar Bimo hendak mengajakku merajut hubungan kembali.

Ck, dasar playboy!

***

Lampung, Maret 2016

Rabu, 16 Maret 2016

[Cermin] Mayra


diambil dari www.riaupos.co


Tubuh Hanif menegang. Kaku. Matanya mengerjap- ngerjap beberapa kali. Memastikan pandangannya tak salah. Tetapi tetap saja pemandangan yang ada di hadapannya tak berubah. Masih menampilkan dua orang berjenis kelamin berbeda tengah berbincang mesra. Terlihat sekali bagaimana gestur sang wanita yang tersipu karena sikap mesra yang ditunjukan sang lelaki.

Mayra…
“Gue bilang apa, dia cewek nggak benar!” Suara Kemal, sahabatnya. Hanif memilih diam dengan pandangan tetap ke depan. “Tebar pesona kemana- mana,”

“Belum aja kena karma dia,” kata Kemal lagi. Hanif bergeming. Hatinya terasa sakit. Perih seperti tersayat. Sungguh dia sangat mencintai Mayra. Gadis itulah yang diinginkan untuk menjadi kekasihnya. Kedekatan mereka selama ini, sudah membuat Hanif yakin Mayra pun mencintainya. Bahkan ia berencana menyatakan perasaan malam ini, saat pesta ulang tahun salah seorang sahabatnya. Tapi siapa sangka, ia justru menemukan Mayra bersama lelaki lain.

“Apa lo mau ngelabrak mereka?”

“Ish,” Hanif mendesis lalu menoleh cepat. “Cewek di dunia banyak. Bukan cuma dia. Yang lebih baik dari dia juga pasti banyak. Jadi ngapain buang waktu. Yuk ah, cabut kita!”

“Nah gitu dong! Ini baru sobat gue.” Ujar Kemal bangga. Hanif tersenyum, kakinya pun melangkah mengikuti Kemal. Sejenak ia menyempatkan melirik kedua orang yang sepertinya tengah dimabuk asmara. Ia menggeleng sedih,

Sial!



Sumber Ada Band Pura- pura Cinta

Jumat, 04 Maret 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (8)

Delapan

Sebelumnya Di sini

“Kamu yakin, Mir?”

Mirah mengangguk cepat. “Saya yakin, Teh.”

“Ta-tapi, Mir ini…,”

Dengan cepat Mirah meraih tangan Nena yang duduk di hadapannya lalu menumpukan dengan kedua tangannya. “Teteh nggak usah khawatir. Saya akan baik- baik saja. Lagian ini nggak lama kan? Toh selama ini teteh baik- baik saja melakukannya kan?”

“Iya. Tapi kamu kan beda, Mir. Kalau teteh…,”

“Percaya sama Mirah, Teh! Mirah akan baik- baik saja.” Potong Mirah cepat membuat Nena menggelengkan kepalanya berulang kali. Tak lama wanita itu menghela nafas berat.

“Ya sudah kalau itu keputusan kamu. Teteh teh nggak bisa bilang apa- apa lagi.”

Mirah tersenyum tipis. “Makasih, Teh!”

Nena mengangguk lemah. “Kalau begitu besok kita langsung menemui Pak Bandi. Dia yang akan mengurus semuanya. Yang penting kamu siapin semua berkasnya.”

Mirah pun manggut- manggut. “Tapi ingat satu hal, Mir?” Lanjut Nena yang seketika membuat Mirah mengernyit heran.

“Sekalipun jangan pernah gunakan hatimu!”

Mirah mengangguk paham. Tekadnya sudah bulat ketika mengatakan keinginannya pada Nena. Mengingat keluhan Kumala setiap kali meneleponnya, ia sudah diambang keputusasaan. Adiknya mengatakan keuangan mereka sudah menipis. Keadaan emak belum kunjung membaik yang ada semakin memburuk tetapi kebutuhan hidup semakin meningkat. Alih- alih utang berkurang, yang ada utang makin bertambah karena sistem riba yang masih kental di daerah. Sekali tak membayar tepat waktu, maka selanjutnya pembayaran akan terhitung berlipat ganda.

Kumala frustasi.

Wajarlah, dia masih remaja. Menghadapi bertubi- tubi masalah sungguh tak mudah. Mirah bahkan bisa menduga kehadiran Alvina dan kedua anaknya pun membuat kepala Kumala makin pusing. Dan semua permasalahan yang dihadapi berpangkal dari uang.

Jika saja uang mereka banyak… Hingga akhirnya kemaren ia tanpa sengaja mendengar percakapan Nena dengan orang yang disebut Pak Bandi. Sepertinya Pak Bandi menanyakan Nena akan wanita yang siap dinikahi. Mirah menebak Pak Bandi seorang calo. Dan setelah berpikir semalaman, akhirnya Mirah pun memutuskan untuk mengikuti jejak Nena. Istri kontrak.

Kehidupan Nena yang mewah dan nyaman menjadi salah satu pertimbangannya. Ketika menikah, dia akan mendapatkan jumlah uang dalam nominal yang tentu saja bisa digunakan untuk kehidupan keluarganya selain masih banyak lagi keuntungan yang Nena dapatkan. Mirah iri!

Yang penting tetap ada pernikahan, bisiknya dalam hati. Meski siri! Bukan sekedar wanita panggilan atau simpanan.

***

Pernikahan berlangsung tiga hari kemudian. Mirah diajak Nena ke sebuah desa yang berada cukup jauh dari pusat kota. Nena tak paham nama tempatnya, namun yang pasti tempat tersebut dilalui dalam waktu lebih dari satu jam. Sesampai di sana, mobil yang Nena kendarai masuk di dalam rumah berlantai dua yang terlihat cukup megah untuk ukuran orang desa.

“Kamu emang cantik, Mir.” Puji Nena sesaat setelah Mirah didandani. Riasannya sederhana namun semakin memperlihatkan kecantikan alami. Apalagi dipadu kebaya putih bermotif simple serta kain jarik yang digunakan sebagai bawahan. Takkan ada yang menyangka jika ia seorang ibu beranak satu.

“Ingat ya Mir, kata- kata Teteh!”

Mirah mengangguk. Semalam Nena banyak memberi wejangan padanya sekaligus bercerita banyak pengalamannya yang sudah dialami. Mirah paham, Nena masih berkeberatan dengan keputusannya.

“Yuk keluar!” Nena menuntunnya. Di ruang tengah sudah tampak beberapa orang. Mirah tak sempat menghitung, yang dia tahu jantungnya tiba- tiba berdegup tak beraturan. Tangannya terasa dingin padahal hujan belum juga turun.

Aroma aftershave seketika menggelitik indera penciumannya. Sesaat setelah ia didudukkan Nena tepat di tengah ruangan yang sudah diset untuk tempat pembacaan ijab kabul. Mirah menunduk, ia tak berani menatap lelaki di sebelahnya.

Benar-benar takut.

Proses pun berjalan lancar. Tak butuh lama karena memang semua sudah dipersiapkan. Sudah diatur. Termasuk aturan- aturan yang memang telah biasa terjadi dalam perjanjian termasuk soal kurun waktu pernikahan, tempat tinggal serta larangan memiliki anak.

Tiba- tiba Mirah terhenyak. Sebuah tangan terulur padanya. Proses telah usai dan saatnya melakukan kewajiban. Yang pertama menyalami suami. Bersikap hormat.

“Kamu cantik. Jadi jangan sembunyikan kecantikanmu, Sayang!”

Deg!

Degup jantung Mirah makin tak keruan. Tunggu sepertinya ia familiar dengan suara ini. Perlahan dia mengangkat kepalanya dan sontak ia terbelalak.

Kebetulan yang mustahil! ***

“Saya pilih apartemen supaya tak ada yang mengganggu kita punya privacy.”

Aksennya aneh tapi Mirah masih harus bersyukur. Lelaki di hadapannya yang telah menjadi suaminya masih bisa berbahasa Indonesia. Kalau dia menggunakan bahasa ibunya atau bahasa inggris bisa dipastikan hanya akan ada gelengan yang ditunjukkan dirinya.

“Malam ini kita pesan makanan saja. Kamu lapar kan?” Mirah hanya menganggukkan kepalanya.

“Kamu bisa berbicara kan? Dari tadi kamu diam saja.”

Bingung. Takut. Kombinasi yang pas yang dirasakan Mirah. Selepas pernikahan yang hanya menghabiskan waktu tak sampai dua jam, lelaki di hadapannya ini membawanya kembali ke kota. Kali ini hanya berdua, karena Nena pun pulang sendiri. Dan sekarang di sini dia, di sebuah apartemen milik lelaki yang belum lama ini menikahinya.

“Sa—saya bingung, Mister.”

Mister?” Lelaki itu mengernyitkan dahi. “No, no, no! Kamu panggil saya Oppa. “

O—Oppa?” Mirah dengan mengulang kata itu.

Lelaki tubuh jangkung itu mengangguk. “Ya. Saya Kim Dae Ho. Dae Ho Oppa.”

selanjutnya di sini

=tbc=








Selasa, 01 Maret 2016

HPku Harus Baru, Pak



“Bapak punya uang kan?”

Darno mengernyit lalu menoleh. Tampak Nuri, anak sulungnya tengah menatapnya takut- takut. Kelihatan gadis remaja itu memaksakan diri untuk bertanya.

“Kenapa? Kamu butuh uang buat beli buku?”