Kamis, 27 Agustus 2015

ELROY (14)


Bab XIV
Sebelumnya Disini


Dari sekian banyak tempat yang bisa dia kunjungi, entah mengapa Elroy mengarahkan motornya ke rumah berpagar putih yang kokoh berdiri di hadapannya. Elroy menghela nafas berat lalu menggeleng sembari mendengus gusar.

Ngapain gue kemari?

Ck, decaknya dalam hati. Otak gue konslet!

Ia tersenyum kecut. Tak lama kembali meraih helm lalu mengenakan di kepalanya, namun belum sempat ia melakukannya pintu depan rumah tersebut terbuka. Sosok wanita muda dalam piyama tidur bergaris muncul. Sesaat gadis itu tertegun saat menyadari keberadaan Elroy di balik pintu pagar rumahnya, lalu sedetik kemudian ia segera membuka pagarnya.

“EL!” Katanya bingung. Kerutan di dahinya terlihat. “Ngapain di luar?”

Elroy meringis. Ketahuan sudah!

Belum sempat ia menjawab, gadis itu sudah bergerak menyentuh tangannya. “Masuk dulu yuk!”

“Eh? Gu.. gue..!” Elroy gelagapan. Ia masih bingung dengan keadaan dirinya sendiri. Setelah mendapati fakta keluarga yang makin hancur, ia memang bergegas pergi dari rumah tersebut. Beruntungnya dia melihat motor kesayangannya tengah terparkir di depan rumah. Seperti yang Anya bilang. Dan tanpa menunggu lama ia melesatkan kendaraan tersebut menjauhi rumah yang sudah seperti neraka baginya.

Dan entah apa yang membawanya kemari.

Dia masih benar- benar bingung.

“Masuk, El!” El tersentak. Tak lama ia memasukkan kendaraannya ke dalam teras rumah lalu bergegas turun mengikuti Gendis yang sudah berada di pintu depan rumah.


Gendis.


Elroy hanya bisa menggelengkan kepla berulang kali. Ia benar- benar tak sadar jika kini berada di rumah gadis yang menyebalkan baginya. Entah pemikiran apa yang membawanya hingga berada di sini. Benar- benar aneh!


“Duduk, El!”


El mengangguk lalu menghempaskan tubuhnya di sofa cokelat yang berada di ruang tamu. Sesaat matanya menyelusuri sekeliling ruangan dan terhenti saat melihat pigura besar yang berada di dinding sebelah kiri. Tampak seorang laki- laki baya dikelilingi empat orang gadis muda yang berbeda usia. Diantara keempatnya, Elroy bisa mengenali Gendis salah satunya meski gadis itu terlihat masih sangat belia.


Keluarga, huh!


“Ibu gue udah lama meninggal.” Elroy menoleh. Gendis muncul kembali. Tadi memang setelah Elroy masuk dan mempersilahkannya duduk, Gendis menghilang di balik pintu. Entah apa yang dilakukannya, karena tak lama gadis itu kembali lalu mendudukkan dirinya di sofa yang berada di seberang Elroy.


“Udah cukup lama sih. Sekitar lima tahunan.”


Sorry,” Gendis tersenyum. Elroy manggut- manggut. Ia baru mengetahui fakta jika ternyata Gendis sudah kehilangan salah satu orang tuanya. Kembali matanya diarahkan ke foto. Menelusuri satu persatu wajah yang menghias di sana.


Hanya seorang tetapi mampu membesarkan keempatnya dengan baik.


“Yang dua dari kanan itu kakak gue, kalo sebelah kiri gue itu adik gue!”


“Lo nomor tiga?”


“ Nyaris jadi bungsu tapi gagal,” Gendis terkekeh. Namun hanya sebentar karena selanjutnya Gendis menatap Elroy intens. Kebingungan jelas melingkupi dirinya. Siapa yang tidak bingung ketika mendapati orang yang selama ini membencinya justru berada di depan pintu rumahnya sendiri. Dengan keadaan yang terlihat berantakan. Cukup aneh? Apalagi mengingat tampang Elroy tadi siang. Pemuda itu benar- benar terlihat tak suka.


Dan sekarang?


Gendis menghela nafas, keinginan untuk bertanya jelas memenuhi pikiranya. Tapi sepertinya tak semudah itu, apalagi mengingat karakter Elroy yang datar dan dingin. Jadi biarkan dulu…


Gendis menoleh saat merasakan pergerakan dari balik pintu. Rima, perempuan muda yang selama ini bekerja di rumahnya muncul dengan nampan di tangannya. Secangkir teh dan setoples nastar bikinan Mbak Gania, kakak sulungnya.


“Silahkan diminum, Mas!” Kata Rima dengan senyuman dibuat semanis mungkin. Gendis mendelik. Masih sempat- sempatnya anak ini menggoda, gerutunya dalam hati.


Elroy hanya mengangguk mendengar kalimat Rima. “Saya permisi dulu, Mas…”


“Elroy.” Ujar Elroy mengetahui kebingungan gadis itu.


“Oh iya Mas Elroy saya permisi dulu. Silahkan diminum loh!”ujarnya Rima lagi dengan senyum yang menggoda.


Elroy acuh, “Terima kasih.” Jawabnya dingin.


Di ujung sofa, Gendis nyaris terbahak. That’s Elroy. Cowok datar bin dingin yang dikenal. Nggak peduli ada cewek secantik apa yang flirting dengannya, semuanya akan berakhir sia- sia. Entah criteria apa yang dimaunya.


Ck, cowok aneh!


“Pembantu lo?” Kening Gendis mengerut,“Centil, huh!”


“Emang! Baru sadar lo?” Cibir Gendis kemudian.


“Nggak sih! Udah sadar dari dia masuk.” Sahut Elroy enteng.


Gendis hanya mengangkat bahunya acuh. Lalu kembali diam, menatap Elroy. Elroy sendiri merasa jengah karena tatapan itu.


“Sorry,”


“Untuk?”


“Malam- malam kemari.”


“Nggak papa.” Kepala Gendis menggeleng, “Gue bingung sih ya sebenarnya. Tapi its’ok lah. Mungkin lo lagi kangen gue!”


Hah!


Elroy melotot. Apa tadi dia bilang? Kangen? Astaga.


“Ck, bisa nggak sih lo nggak kelewat GR!”


Tawa Gendis menggema. Seketika Elroy merasa jantungnya berdegup cepat karenanya. Hatinya terasa hangat. “Lo itu serius banget sih, El orangnya!” Ucap Gendis disela tawanya, “Suka kan gue jadi ngegodanya!”


Elroy berdecak gusar . Ia menarik nafas, menormalkan kembali detak jantungnya. “Ck, lo tuh sama aja ya sama tuh pembantu lo. Centil!”


Alih- alih tersinggung, Gendis justru semakin tertawa lepas. “Centil? Gue? Ehm, lo merhatiin gue jadi selama ini?”


What?


Sedetik kemudian Elroy merutuki langkah yang membawanya kemari. Apa sih yang terjadi dengan kerja otaknya. Oh tidak hanya otak tetapi juga jantung. Bagaimana bisa semua terjadi di dirinya.


Ck, ini beneran ada yang salah.


“El!” Elroy mendongak. Tawa Gendis sudah berhenti. “Hidup cuma sekali kenapa sih lo nggak menikmatinya?”


Elroy terdiam. Sebelah alisnya terangkat menatap Gendis. “Semua orang itu hidup punya masalah masing- masing, El! Jadi jangan pasang tampang ngenes gitu lah! Berasa lo paling sengsara hidup.”


“Nggak! Gue nggak gitu.”


“Nggak gitu gimana?”


“Nggak seperti yang lo bilang.”


Gendis hanya memutar bola matanya jengah. Kepalanya menggeleng. Datar, dingin, keras kepala. Komplit dah!


“Terserah lo deh!” ujar Gendis akhirnya. Kemudian gadis itu memilih diam.


Hening.


Keduanya sibuk di pikiran masing- masing. Namun tak lama terdengar hembusan nafa berat, Elroy mendesah.


“Nggak, lo nggak tahu yang gue rasain. Lo nggak tahu yang gue alamin selama ini. Lo hidup baik- baik. Meski ibu lo udah nggak ada tapi lo punya ayah, kakak dan adik yang saling menyayangi. Kita beda.”


Gendis terhenyak. Nada putus asa, kecewa bercampur sedih terasa sekali di kata- kata Elroy. Sesaat ia mengernyit, sebegitu sulitkah masalah di hidupnya. Walaupun sedikit ragu, Gendis mencoba mendekati Elroy lalu meraih tangan pemuda itu.


“Kalau gitu lo cerita sama gue. Lo bilang apa yang lo rasain. Bagi masalah lo. Jangan menyimpannya sendiri.”


Elroy tertegun. Ia sedikit terkejut dengan sikap Gendis. Ditatapnya wajah ayu milik gadis itu, lalu dihelanya nafas panjang.


Kali ini, bisakah gue percaya?


-tbc-

Lampung, Agustus 2015






















0 komentar:

Posting Komentar