Jumat, 13 Mei 2016

[Cerpen] Dilema

gambar diambil dari pixabay.com

DILEMA


“Pikirkan lagi ucapan Ibu baik- baik, Nin!”

Aku mengangguk lemah. “Iya, Bu!”

“Ibu bilang gini juga untuk kebaikan kamu. Anak kamu akan semakin besar. Biaya jelas akan semakin mahal. Kalian juga harus mulai memikirkan membangun rumah.”

Aku memilih diam. “Lagipula sayang juga gelar sarjana kamu. Sudah mahal- mahal kuliah tapi tidak digunakan, buat apa?” sambung ibu lagi.

“Untuk urusan anak kamu nggak usah dipikirin. Bawa aja ke kampung. Nanti ibu yang urus. Kamu sama Hanif fokus cari duit.”

Kepalaku menunduk. Selalu seperti ini. Setiap Ibu datang berkunjung, akan ada kata- kata sesak dan menyakitkan yang harus kudengar. Ibu selalu berulang menyuruhku bekerja. Padahal sejak memiliki Randi, anakku yang sekarang berusia dua tahun, kuputuskan menjalani profesi ibu rumah tangga. Aku ingin mengabdikan diri sebagai istri dan ibu yang baik. Rasanya sayang melewatkan setiap pertumbuhan dan perkembangan buah hatiku. Toh, suamiku pun tak keberatan. Yang penting aku bisa mengatur keuangan kami dengan baik, mengingat Mas Hanif hanya pekerja kantoran biasa.

Sebenarnya gaji Mas Hanif memang tidak bisa dikatakan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Apalagi sekarang aku merasa kehidupan semakin sulit. Harga bahan pokok yang kian mahal serta kebutuhan Randi yag juga mulai bertambah. Sebisa mungkin, setiap bulan aku harus cermat dalam mengelola gaji Mas Hanif. Dan kupikir selama semua baik- baik saja dan aku masih bisa mengatur semuanya, tak ada masalah kan?

Tapi itu menurutku. Bukan menurut ibuku.

***

“Ibu tadi bilang lagi ya?”

Aku mengangguk. Mas Hanif menghempaskan diri di ranjang sebelahku. Ini sudah malam dan Ibu sudah sampai dengan selamat kembali ke kampung lima jam yang lalu. Setiap dua atau tiga bulan sekali, beliau memang menyempatkan mengunjungiku. Nengok cucu, katanya. Tapi tetap saja bukan hanya perkara soal menengok Randi, tapi juga tentang kehidupan keluargaku.

Aku menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. Pusing sekali rasanya jika mengingat ucapan Ibu. Aku tahu niat beliau baik. Ingin agar nasib anak dan cucunya tidak terlantar. Tetapi entah mengapa terkadang aku merasa Ibu terlalu sibuk mengurusi kehidupanku. Aku memang anak Ibu, tetapi kini aku juga seorang istri dan seorang Ibu. Aku punya keluarga sendiri.

“Ibu itu kenapa sih rusuh banget?”gerutuku kemudian.

“Huss, nggak boleh bilang gitu, Dik! Ibu itu kan orangtua kita,” tegur Mas Hanif yang membuat wajahku bertekuk.

“Ya Ibu. Tapi harusnya nggak kayak gini juga. Aku beneran pusing tahu, Mas. Bilangnya sih pikirin lagi ucapan Ibu, tapi ngomongnya maksa. Seakan- akan aku durhaka kalau nggak nurutin kata- katanya.”

Nafasku tercekat. Sesak rasanya. Aku sering mendengar, Ibu juga membicarakan kehidupanku pada saudara yang lain. Ibu mengeluhkan sikap keras kepalaku yang masih saja bertahan untuk tidak bekerja. Padahal aku lulus dengan prestasi yang memuaskan. Sayang katanya jika tidak dipakai.

Ah, Ibu membuatku benar- benar seperti anak durhaka yang membantah ucapan orang tuanya.

Malu rasanya…

“Apa aku kerja aja ya, Mas?” celetukku tiba- tiba.

“Yakin?” Mas Hanif menatapku dengan dahi berkerut.

Bahuku mengendik. “Ya biar Ibu puas.”

Mas Hanif menggeleng. “Itu nggak baik. Niat kamu udah nggak bener,”

“Ya abisnya aku kesel tahu, Mas. Bosan juga! Lagian cuma itu aja yang bisa bikin Ibu nggak berisik,”

“Kata- katamu, Dik! Nggak bagus.”

Bibirku melengkung ke bawah karena teguran Mas Hanif. Memangnya ada solusi lain?

“Kalau kamu kerja tapi niatnya seperti itu, mending nggak usah.” Ujar suamiku. “Tapi kalau kamu memang kerja maunya kamu ya Mas nggak masalah.”

Aku berdecak sebal. Tapi kan sama saja ujungnya. Kerja!

“Sudahlah sudah larut malam. Kita tidur. Aku besok juga harus bekerja.”

Aku mengangguk lalu merebahkan diri di atas kasur. Namun beberapa menit terlewati tanpa sekalipun mataku terpejam, berbeda dengan Mas Hanif. Dia mudah sekali terlelap. Kumiringkan tubuhku untuk menatap Randi yang berada diantara aku dan Mas Hanif. Buah hatiku ini tampak tenang dan damai. Aku tersenyum lalu perlahan mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

Ah, sanggupkah aku jika harus berpisah dengannya?

***

Seminggu sudah berlalu. Aku memutuskan untuk kembali menjalani hidup seperti biasa. Kupikir selama aku masih bisa mengelola keuangan dengan baik, aku tak harus memikirkan kata- kata Ibu. Dan seperti biasa, mungkin Ibu takkan jera untuk mengatakan hal yang sama jika berkunjung dua bulan lagi. Tapi sudahlah, itu bisa dipikirkan nanti. Sekarang lebih baik aku memasak dan membuat kue untuk ulang tahun Randi yang kedua. Tak ada perayaan meriah, tapi aku dan Mas Hanif sepakat merayakannya dengan mengajak Randi berekreasi ke pantai.

Namun tiba- tiba dering ponsel mengusikku. Bergegas aku meraih benda tersebut yang sebelumnya kuletakkan di atas meja. Kuhembuskan nafas sejenak sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

“Ya, Bu!” ujarku sesaat setelah mengucap salam.

“Hari ini Randi ulang tahun kan?” tanya suara di seberang.

“Iya, Bu hari ini.”

“Wah, Ibu kok bisa lupa ya? Tahu gitu kemaren sekalian Ibu beliin kado. Atau gini aja, nanti Ibu suruh Lira aja beli kado lalu antar ke rumah kamu.”

Aku mendesah. Kecintaan Ibu pada Randi memang luar biasa, bahkan Lira, adikku yang masih kuliah pun ikut direpotkannya.

“Nggak usah repot- repot, Bu. Yang penting doanya. Insyaallah Randi…,”

“Kamu itu gimana sih? Randi itu berhak dapat hadiah ulang tahun. Nggak masalah kok buat Ibu.”

Aku diam. Salah lagi!

“Hari ini kamu rayain dimana ultah Randi?” tanya Ibu tiba- tiba.

“Kita mau jalan- jalan bertiga ke pan…,”

“Ya ampun, Nin! Masa nggak kamu rayain ulang tahun Randi. Kamu undang kek teman- temannya. Kenapa duit kalian nggak ada. Itulah makanya kenapa Ibu bilang kamu harus kerja. Kan semua balik lagi buat kebaikan kamu juga kebaikan anak kamu, Nin. Coba kalau kamu kerja, kamu punya duit kan nggak masalah kalau Randi ulang…,”

Kepalaku pusing seketika. Terlalu banyak yang ibu ucapkan sampai suara terdengar berdengung di telingaku. Entah apa lagi yang ia katakan. Aku tak lagi mampu mendengarnya. Karena yang kutahu kini kepalaku terasa semakin berat. Sangat berat hingga kemudian aku merasa tubuhku terasa melayang ringan. Tak lama aku merasa semuanya berubah menjadi gelap dan sesaat sebelum kesadaranku menghilang aku mendengar jerit tangis Randi dan teriakan panic Mas Hanif.

Ya Tuhan, kenapa ini?

***


Lampung, Mei 2016
(ISL)




Posted Kompasiana

4 komentar: