sebelumnya di sini
Pagi ini dua wajah yang berbeda. Jika
Askar memasang wajah riang karena tahu Agni kembali yang itu berarti dirinya
bisa bertemu atau mengajak makan siang bersama, lain hal dengan Tantra, sang
asisten. Moodnya memburuk saat mengetahui Salsa akan mengikuti acara yang
digagasnya. Bukankah ada kemungkinan Salsa akan bertemu dengan Askar? Dan siapa
tahu justru Salsa lah pemenangnya.
Bagaimana ini?
Mencegah Salsa mengikuti acara
tersebut? Impossibble! Siapa dia? Tantra tahu diri jika hubungannya dengan
Salsa belum ada kemajuan yang signifikan.
Masih teman. Tetangga. Tak lebih!
“TANTRA! TANTRA!”
Eh?
Tantra terhenyak. Askar menggeram.
“Lo kenapa sih? Bengong mulu!”
“Eh, ngg—nggak! Nggak, Mas.”
“Nggak-nggak! Daritadi gue ngomong
nggak lo dengerin?”
Tantra meringis tak enak hati. Ia pun
bergumam pelan, “Ma—af, Mas.”
Askar menggeleng. Tangannya terkibas.
“It’s Ok!”
Tantra sedikit bengong mendengar
ucapan Askar. Nggak salah nih Mas Askar, biasanya juga ngamuk-ngamuk, ujarnya
dalam hati.
“Jadi padat nggak urusan gue hari
ini? Bisa nggak lo atur di jam makan siang sampai seterusnya gue free. Gue ada urusan penting.”
Rasa penasaran melingkupi Tantra.
Namun, meski begitu dengan cepat ia membuka agenda sang bos. “Penting banget
nggak, Mas urusannya?”
“Penting! Penting banget,” Askar
tersenyum lebar. Tantra menggeleng, sepertinya dia tahu apa yang akan dilakukan
bosnya.
Wanita, huh!
“Sebenarnya nanti jam 2 ada meeting
dengan perwakilan perusahaan Eiden, Mas. Ini terkait kelanjutan kerjasama…,”
“Lo bisa ngewakilin kan?”Askar
tiba-tiba memotong omongan Tantra.
“Hah?”
“Udahlah.” Sahut Askar santai. “Lo
pasti bisa wakilin gue. Ajak siapa sana, terserah. Yang penting urusan meeting
selesai. Ok!”
Tantra mendengus. Selalu begini, jika
urusan “penting” itu demikian penting, dirinya lagi yang menjadi korban. Ah,
sudahlah! Memang nasib menjadi bawahan.
Tapi ngomong-ngomong, siapa wanita yang kini menjadi urusan penting Mas
Askar?
***
“Eciye yang sibuk,”
Lintang terkejut. Langkahnya terhenti
seketika. Ia menoleh dan menemukan sosok Agni tengah tersenyum lebar seraya
mengacungkan sebuah paper bag.
“AGNI! Ngagetin aja sih lo!” serunya.
“Udah balik lo? Eh, ini oleh-oleh buat gue ya?” katanya lagi seraya meraih paper bag tersebut.
Bibir Agni mencebik. “Giliran
oleh-oleh aja cepat tangan lo, Mbak.”
Lintang tergelak. “Iya, dong. Yang
namanya gratis itu harus kilat!”
Agni menggeleng geli. Tak lama
keduanya mulai melanjutkan langkah. “Udah siaran lo?” tanya Lintang kemudian.
“Udah.” Angguk Agni. “Lo sendiri
gimana, Mbak?”
“Ribet nih gue! Beneran pegang itu
sayembara nggak jelas,”
Agni tertawa kecil. Ia paham maksud
ucapan Lintang. “Nggak jelas gimana, Mbak? Jelas lah! Pangerannya ada, nah
sponsor utama juga ada jadi semua aman,”
“Iya sih. Tapi banyak mau itu putera
mahkota. Lo sadar nggak sih, konsepnya sayembara cari jodoh eh jadinya ajang
kecantikan kayak gini. Pusing tahu.”
“Emangnya itu konsep dari siapa?”
“Si Tantra bilang itu mau bosnya. Putera
mahkota. Doi setuju ada sayembara-sayembara cari jodoh, tapi pakai syarat. Nah
Pak Bram oke dengan tawaran anaknya. Lah terus kita bisa apa? Ya cuma bisa
ngikut kan,”
Tawa Agni meledak seketika. Sudah
diduga, Askar pasti akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan harga
dirinya.
“Kok lo ketawa sih?” protes Lintang.
“Nggak baik ketawa diatas penderitaan orang lain,”
Agni terkekeh geli. Kepalanya
menggeleng. “Gue bukan ngetawain lo, Mbak. Tapi ngetawain ide konyol Askar.
Benar-benar jaim dia,”
“Ya iyalah, namanya cowok keren, Ni!
Mana mau harga dirinya jatuh.”
Sebelah alis Agni terangkat. “Keren?”
Lintang nyengir seketika. “Ternyata
kalau dalam jarak dekat itu, dia beneran keren!” kekeh Lintang. “Adalah dia
sempat ngobrol sama gue,”
“Ya elah, Mbak sampai segitunya.” Agni
menepuk jidatnya pelan. Pesona Askar, huh!
“AGNI!”
Mendengar namanya dipanggil, spontan
Agni membalikkan tubuh. Sedetik kemudian, matanya melebar.
Panjang umur dia!
“Loh itu kan…,”
“Hai, Agni!”
***
Askar gusar. Agni menolak ajakan
makan siangnya. Gadis itu dengan santai melengang meninggalkannya bersama
wanita yang sedari tadi berbincang dengannya. Hanya berbasa basi sebentar, lalu
pergi.
Sial! Ia merasa tidak terima.
Padahal selama ini tak pernah ada
wanita menolak ajakan darinya. Bahkan Agni di masa lalu juga selalu senang jika
diajak makan siang bersama.
Sekarang?
Ck, ada apa dengannya…
“Askar!”
Askar menoleh. Azka berjalan
menghampirinya. Seketika ia mengumpat. Apalagi matanya menemukan bibir Azka
yang mencebik mengejeknya.
“Ditolak hum?”
“Lo ngintip, Mas?”
“Nggak perlu ngintip gue. Lah emang
gue tadi lihat Agni ninggalin lo kan?”
“Sh*t!” Askar kembali mengumpat. Azka
tergelak seraya menepuk-nepuk bahu sepupunya.
“Hidup itu butuh perjuangan, man!”
Askar mendelik. Ia baru saja hendak
membalas ucapan Azka ketika mendengar ponselnya berdering. Wajah yang
sebelumnya tampak begitu kesal pun berubah sesaat setelah melirik nama yang
tertera di layar ponsel. Azka mendengus, tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya.
“Tak ada rotan, akar pun jadi.”
Seringainya kepada Azka sebelum kemudian berbalik seraya menempelkan ponselnya
di dekat telinga.
“Halo, sayang! Dimana sekarang? Mau lunch bareng?”
***
“Lo pesan aja, Tik! Gue mau ke
toilet. Kebelet.” Ujar Agni sesaat setelah dirinya dan Tika, sahabatnya masuk ke
sebuah café. Malam ini, Tika mengajaknya makan di luar. Karena kesibukan, Agni
sadar sudah terlalu jarang menghabiskan waktu bersama sahabatnya. Jadi ketika
Tika mengajaknya, Agni pun tak menunggu lama untuk mengiyakan.
“Aw!”
Agni yang baru beberapa langkah
keluar toilet merasa bahunya berbenturan dengan tubuh orang di depannya. “Aduh,
maaf—maaf, Mbak. Saya ngga…,”
Agni mendongak. Ia baru saja hendak
memaki si penabrak sebelum kemudian menyadari siapa sosok tersebut.
“Lo lagi!”
“Agni!” Tantra tak kalah terkejut. Ia
sedang buru-buru untuk ke toilet. Siapa sangka jika kemudian tanpa sengaja
tubuhnya menubruk tubuh Agni. Lagi!
Astaga, hal ini pernah terjadi kan?
“Maaf—maaf, Ni! Aku buru-buru. Aku
nggak sengaja!”
Agni mendesah. Ia tak bisa sepenuhnya
menyalahkan Tantra. Toh dirinya juga yang sedari keluar toilet berjalan sedikit
menunduk.
“Yaudahlah! Nggak usah dibahas.”
“Sorry
ya!” ucap Tantra lirih.
Agni mengangguk. “Ya udah sana!
Katanya buru-buru,” ujarnya sambil memiringkan tubuhnya untuk memberi jalan
pada Tantra.
“Eh, iya—iya! Makasih ya!”
Sesaat setelah kepergian Tantra, Agni
pun menghela napas panjang. Nggak bos,
nggak asisten sama-sama nyebelin, huh!
“Ngapa lo manyun?” tanya Tika saat
menemukan Agni kembali dari toilet dengan muka bertekuk.
“Nggak papa! Bete aja ada yang nabrak
gue di depan toilet,” jawab Agni yang membuat mulut Tika membulat.
“Oh, kirain ada apa,”
Agni mendengus. “Eh, Diana kok nggak
lo ajak sih?”
“Udah gue ajak,” sahut Tika. “Cuma
dia nggak bisa. Biasa calon penganten. Sibuk!”
Agni terkekeh. “Iya juga sih. Ah,
padahal lama loh gue nggak telponan sama dia.”
“Ya udahlah! Maklumin aja.”
“Iya sih ya!”
Tiba-tiba terdengar bunyi dering
ponsel. Kepala Agni terangkat. Tika sudah berdiri untuk mengangkat panggilan
yang masuk ke ponselnya. Hanya selang beberapa menit kemudian, sahabatnya pun
kembali.
“Ni, sorry nih…,”
Perasaan tak nyaman tiba-tiba
mengelayuti Agni. “Kenapa?”
“Gue harus ke rumah Oma.” Agni
mengernyitkan dahi bingung.
“Ada masalah penting kayaknya.
Semuanya disuruh ke sana,” jelas Tika.
“Oma lo sakit?”
Tika menggeleng. “Nggak. Tapi gue
rasa ada masalah penting.”
Kepala Agni manggut-manggut. Meski
kecewa, ia tak bisa menahan Tika. Urusan keluarga memang sudah sewajarnya menjadi
prioritas.
“Ya udah kalau gitu pulang,” Ucap Agni
kemudian.
“Maaf ya, Ni! Gue yang ngajak gue
juga yang batalin.”
Agni tersenyum. “Next time bisa kali. Ya udah kalau gitu lo duluan. Gue bisa naik
taksi.”
“Kok taksi? Kan tadi gue yang jemput
lo, Non.”
Agni ingat arah rumah Oma Tika
berseberangan dengan rumahnya. Egois rasanya jika Tika harus mengantarnya lebih
dulu.
“Lo lupa arah rumah Oma lo beda sama
rumah gue,” ujar Agni. “Udah tenang aja! Gue bisa balik sendiri kok,”
“Beneran?”
“Iya. Udah sana duluan! Gue minta
pesanan dibungkus dulu aja,”
Tika manggut-manggut. “Oh ya udah
kalau gitu. Gue duluan ya. Sorry banget!”
Sepeninggal Tika, Agni yang berniat
mengubah pesanan pun urung. Pandangannya terpaku di salah satu sudut café.
Tampak sosok laki-laki duduk sendirian dengan laptop di depannya. Seketika Agni
berdecak.
Ck, begitu banyakkah pekerjaannya?
Gemas, Agni pun segera menghampiri
laki-laki itu.
“Bos lo kejam ya,”
Tantra –laki-laki itu- mendongak. Ia sedikit terkejut namun dengan
cepat dapat menguasai keadaan. “Eh, A—agni!”
katanya sambil celingukan.
Sekembalinya dari toilet, Tantra
mendapati Agni tengah berbincang dengan seorang wanita seusianya. Dia sebenarnya
berniat menyapa kembali, namun rencana tersebut dibatalkan mengingat sifat
Agni. Salah-salah ia dianggap pengganggu.
Jadi siapa kira, jika kemudian Agni
sendiri yang mendatangi dirinya.
“Teman gue udah pulang.”
“Oh,” Mulut Tantra membulat. “Jadi lo
sendirian?”
Agni mengangguk. “Iya, tapi gue mau
pulang kok.”
“Kok pulang?”
“Ya masak gue mau makan sendiri di
sini,”
“Gabung sama aku aja,”
Hah?
Agni melongo. Tantra mengumpat dalam
hati. Bagaimana bisa mulutnya begitu lancar menawari Agni. Ah, dia kan cewek jutek!
“Serius?”
“Eh, i—iya ya!” Tantra gelagapan
sendiri. Tak mungkin kan menarik ucapan?
“Baiklah kalau begitu,” ujar Agni
seraya memanggil pelayan dan mengatakan dirinya pindah meja.
Sembari mengamati interaksi Agni,
Tantra menarik napas panjang. Satu meja
dengan cewek jutek ini?
Ck, Tantra! cari masalah kamu…
***
Lampung, November 2016
selanjutnya di sini
keren keren... bagus sturuktur penulisanya..
BalasHapuscontoh iklan baris