Minggu, 20 November 2016

Sayembara Askar (10)



sebelumnya di sini
Pagi ini dua wajah yang berbeda. Jika Askar memasang wajah riang karena tahu Agni kembali yang itu berarti dirinya bisa bertemu atau mengajak makan siang bersama, lain hal dengan Tantra, sang asisten. Moodnya memburuk saat mengetahui Salsa akan mengikuti acara yang digagasnya. Bukankah ada kemungkinan Salsa akan bertemu dengan Askar? Dan siapa tahu justru Salsa lah pemenangnya.
Argh…
Bagaimana ini?
Mencegah Salsa mengikuti acara tersebut? Impossibble! Siapa dia? Tantra tahu diri jika hubungannya dengan Salsa belum ada kemajuan yang signifikan.
Masih teman. Tetangga. Tak lebih!
“TANTRA! TANTRA!”
Eh?
Tantra terhenyak. Askar menggeram. “Lo kenapa sih? Bengong mulu!”
“Eh, ngg—nggak! Nggak, Mas.”
“Nggak-nggak! Daritadi gue ngomong nggak lo dengerin?”
Tantra meringis tak enak hati. Ia pun bergumam pelan, “Ma—af, Mas.”
Askar menggeleng. Tangannya terkibas. “It’s Ok!”
Tantra sedikit bengong mendengar ucapan Askar. Nggak salah nih Mas Askar, biasanya juga ngamuk-ngamuk, ujarnya dalam hati.
“Jadi padat nggak urusan gue hari ini? Bisa nggak lo atur di jam makan siang sampai seterusnya gue free. Gue ada urusan penting.”
Rasa penasaran melingkupi Tantra. Namun, meski begitu dengan cepat ia membuka agenda sang bos. “Penting banget nggak, Mas urusannya?”
“Penting! Penting banget,” Askar tersenyum lebar. Tantra menggeleng, sepertinya dia tahu apa yang akan dilakukan bosnya.
Wanita, huh!
“Sebenarnya nanti jam 2 ada meeting dengan perwakilan perusahaan Eiden, Mas. Ini terkait kelanjutan kerjasama…,”
“Lo bisa ngewakilin kan?”Askar tiba-tiba memotong omongan Tantra.
“Hah?”
“Udahlah.” Sahut Askar santai. “Lo pasti bisa wakilin gue. Ajak siapa sana, terserah. Yang penting urusan meeting selesai. Ok!”
Tantra mendengus. Selalu begini, jika urusan “penting” itu demikian penting, dirinya lagi yang menjadi korban. Ah, sudahlah! Memang nasib menjadi bawahan.
Tapi ngomong-ngomong, siapa wanita yang kini menjadi urusan penting Mas Askar?
***
“Eciye yang sibuk,”
Lintang terkejut. Langkahnya terhenti seketika. Ia menoleh dan menemukan sosok Agni tengah tersenyum lebar seraya mengacungkan sebuah paper bag.
“AGNI! Ngagetin aja sih lo!” serunya. “Udah balik lo? Eh, ini oleh-oleh buat gue ya?” katanya lagi seraya meraih paper bag tersebut.
Bibir Agni mencebik. “Giliran oleh-oleh aja cepat tangan lo, Mbak.”
Lintang tergelak. “Iya, dong. Yang namanya gratis itu harus kilat!”
Agni menggeleng geli. Tak lama keduanya mulai melanjutkan langkah. “Udah siaran lo?” tanya Lintang kemudian.
“Udah.” Angguk Agni. “Lo sendiri gimana, Mbak?”
“Ribet nih gue! Beneran pegang itu sayembara nggak jelas,”
Agni tertawa kecil. Ia paham maksud ucapan Lintang. “Nggak jelas gimana, Mbak? Jelas lah! Pangerannya ada, nah sponsor utama juga ada jadi semua aman,”
“Iya sih. Tapi banyak mau itu putera mahkota. Lo sadar nggak sih, konsepnya sayembara cari jodoh eh jadinya ajang kecantikan kayak gini. Pusing tahu.”
“Emangnya itu konsep dari siapa?”
“Si Tantra bilang itu mau bosnya. Putera mahkota. Doi setuju ada sayembara-sayembara cari jodoh, tapi pakai syarat. Nah Pak Bram oke dengan tawaran anaknya. Lah terus kita bisa apa? Ya cuma bisa ngikut kan,”
Tawa Agni meledak seketika. Sudah diduga, Askar pasti akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan harga dirinya.
“Kok lo ketawa sih?” protes Lintang. “Nggak baik ketawa diatas penderitaan orang lain,”
Agni terkekeh geli. Kepalanya menggeleng. “Gue bukan ngetawain lo, Mbak. Tapi ngetawain ide konyol Askar. Benar-benar jaim dia,”
“Ya iyalah, namanya cowok keren, Ni! Mana mau harga dirinya jatuh.”
Sebelah alis Agni terangkat. “Keren?”
Lintang nyengir seketika. “Ternyata kalau dalam jarak dekat itu, dia beneran keren!” kekeh Lintang. “Adalah dia sempat ngobrol sama gue,”
“Ya elah, Mbak sampai segitunya.” Agni menepuk jidatnya pelan. Pesona Askar, huh!
“AGNI!”
Mendengar namanya dipanggil, spontan Agni membalikkan tubuh. Sedetik kemudian, matanya melebar.
Panjang umur dia!
“Loh itu kan…,”
“Hai, Agni!”
***
Askar gusar. Agni menolak ajakan makan siangnya. Gadis itu dengan santai melengang meninggalkannya bersama wanita yang sedari tadi berbincang dengannya. Hanya berbasa basi sebentar, lalu pergi.
Sial! Ia merasa tidak terima.
Padahal selama ini tak pernah ada wanita menolak ajakan darinya. Bahkan Agni di masa lalu juga selalu senang jika diajak makan siang bersama.
Sekarang?
Ck, ada apa dengannya…
 “Askar!”
Askar menoleh. Azka berjalan menghampirinya. Seketika ia mengumpat. Apalagi matanya menemukan bibir Azka yang mencebik mengejeknya.
“Ditolak hum?”
“Lo ngintip, Mas?”
“Nggak perlu ngintip gue. Lah emang gue tadi lihat Agni ninggalin lo kan?”
“Sh*t!” Askar kembali mengumpat. Azka tergelak seraya menepuk-nepuk bahu sepupunya.
“Hidup itu butuh perjuangan, man!”
Askar mendelik. Ia baru saja hendak membalas ucapan Azka ketika mendengar ponselnya berdering. Wajah yang sebelumnya tampak begitu kesal pun berubah sesaat setelah melirik nama yang tertera di layar ponsel. Azka mendengus, tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Tak ada rotan, akar pun jadi.” Seringainya kepada Azka sebelum kemudian berbalik seraya menempelkan ponselnya di dekat telinga.
“Halo, sayang! Dimana sekarang? Mau lunch bareng?”
***
“Lo pesan aja, Tik! Gue mau ke toilet. Kebelet.” Ujar Agni sesaat setelah dirinya dan Tika, sahabatnya masuk ke sebuah café. Malam ini, Tika mengajaknya makan di luar. Karena kesibukan, Agni sadar sudah terlalu jarang menghabiskan waktu bersama sahabatnya. Jadi ketika Tika mengajaknya, Agni pun tak menunggu lama untuk mengiyakan.
“Aw!”
Agni yang baru beberapa langkah keluar toilet merasa bahunya berbenturan dengan tubuh orang di depannya. “Aduh, maaf—maaf, Mbak. Saya ngga…,”
Agni mendongak. Ia baru saja hendak memaki si penabrak sebelum kemudian menyadari siapa sosok tersebut.
“Lo lagi!”
“Agni!” Tantra tak kalah terkejut. Ia sedang buru-buru untuk ke toilet. Siapa sangka jika kemudian tanpa sengaja tubuhnya menubruk tubuh Agni. Lagi!
Astaga, hal ini pernah terjadi kan?
“Maaf—maaf, Ni! Aku buru-buru. Aku nggak sengaja!”
Agni mendesah. Ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Tantra. Toh dirinya juga yang sedari keluar toilet berjalan sedikit menunduk.
“Yaudahlah! Nggak usah dibahas.”
Sorry ya!” ucap Tantra lirih.
Agni mengangguk. “Ya udah sana! Katanya buru-buru,” ujarnya sambil memiringkan tubuhnya untuk memberi jalan pada Tantra.
“Eh, iya—iya! Makasih ya!”
Sesaat setelah kepergian Tantra, Agni pun menghela napas panjang. Nggak bos, nggak asisten sama-sama nyebelin, huh!
“Ngapa lo manyun?” tanya Tika saat menemukan Agni kembali dari toilet dengan muka bertekuk.
“Nggak papa! Bete aja ada yang nabrak gue di depan toilet,” jawab Agni yang membuat mulut Tika membulat.
“Oh, kirain ada apa,”
Agni mendengus. “Eh, Diana kok nggak lo ajak sih?”
“Udah gue ajak,” sahut Tika. “Cuma dia nggak bisa. Biasa calon penganten. Sibuk!”
Agni terkekeh. “Iya juga sih. Ah, padahal lama loh gue nggak telponan sama dia.”
“Ya udahlah! Maklumin aja.”
“Iya sih ya!”
Tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel. Kepala Agni terangkat. Tika sudah berdiri untuk mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya. Hanya selang beberapa menit kemudian, sahabatnya pun kembali.
“Ni, sorry nih…,”
Perasaan tak nyaman tiba-tiba mengelayuti Agni. “Kenapa?”
“Gue harus ke rumah Oma.” Agni mengernyitkan dahi bingung.
“Ada masalah penting kayaknya. Semuanya disuruh ke sana,” jelas Tika.
“Oma lo sakit?”
Tika menggeleng. “Nggak. Tapi gue rasa ada masalah penting.”
Kepala Agni manggut-manggut. Meski kecewa, ia tak bisa menahan Tika. Urusan keluarga memang sudah sewajarnya menjadi prioritas.
“Ya udah kalau gitu pulang,” Ucap Agni kemudian.
“Maaf ya, Ni! Gue yang ngajak gue juga yang batalin.”
Agni tersenyum. “Next time bisa kali. Ya udah kalau gitu lo duluan. Gue bisa naik taksi.”
“Kok taksi? Kan tadi gue yang jemput lo, Non.”
Agni ingat arah rumah Oma Tika berseberangan dengan rumahnya. Egois rasanya jika Tika harus mengantarnya lebih dulu.
“Lo lupa arah rumah Oma lo beda sama rumah gue,” ujar Agni. “Udah tenang aja! Gue bisa balik sendiri kok,”
“Beneran?”
“Iya. Udah sana duluan! Gue minta pesanan dibungkus dulu aja,”
Tika manggut-manggut. “Oh ya udah kalau gitu. Gue duluan ya. Sorry banget!”
Sepeninggal Tika, Agni yang berniat mengubah pesanan pun urung. Pandangannya terpaku di salah satu sudut café. Tampak sosok laki-laki duduk sendirian dengan laptop di depannya. Seketika Agni berdecak.
Ck, begitu banyakkah pekerjaannya?
Gemas, Agni pun segera menghampiri laki-laki itu.
“Bos lo kejam ya,”
Tantra –laki-laki itu-  mendongak. Ia sedikit terkejut namun dengan cepat dapat menguasai keadaan.  “Eh, A—agni!” katanya sambil celingukan.
Sekembalinya dari toilet, Tantra mendapati Agni tengah berbincang dengan seorang wanita seusianya. Dia sebenarnya berniat menyapa kembali, namun rencana tersebut dibatalkan mengingat sifat Agni. Salah-salah ia dianggap pengganggu.
Jadi siapa kira, jika kemudian Agni sendiri yang mendatangi dirinya.
“Teman gue udah pulang.”
“Oh,” Mulut Tantra membulat. “Jadi lo sendirian?”
Agni mengangguk. “Iya, tapi gue mau pulang kok.”
“Kok pulang?”
“Ya masak gue mau makan sendiri di sini,”
“Gabung sama aku aja,”
Hah?
Agni melongo. Tantra mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa mulutnya begitu lancar menawari Agni. Ah, dia kan cewek jutek!
“Serius?”
“Eh, i—iya ya!” Tantra gelagapan sendiri. Tak mungkin kan menarik ucapan?
“Baiklah kalau begitu,” ujar Agni seraya memanggil pelayan dan mengatakan dirinya pindah meja.  
Sembari mengamati interaksi Agni, Tantra menarik napas panjang. Satu meja dengan cewek jutek ini?
Ck, Tantra! cari masalah kamu…
***
Lampung, November 2016
selanjutnya di sini

1 komentar: