Jumat, 22 April 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (13)





Tiga belas

Sebelumnya di sini

Ah, siapa wanita itu?

Ceweknya cantik banget, Mir. Kayak model. Tinggi, putih. Mereka selalu mampir buat makan siang bersama…,”


Kalimat yang diucapkan Liana terngiang selalu di telinga Mirah. Bayangan beberapa sosok artis yang sering wara-wiri di televisi, berkelebat di benaknya. Dulu dia juga pernah melihat peragaan busana di sebuah mall di Jakarta. Model- model dengan tinggi menjulang membuatnya takjub dan ternganga. Sungguh mereka cantik- cantik.

Mungkinkah wanita yang bersama Dae Ho Oppa seperti itu? “Hei,”

Mirah terhenyak. Dae Ho berdiri di depan pintu apartemen. Dahinya berkerut saat memandang Mirah.

“Kamu baru pulang?”

“Eh, i—iya,” Mirah gelagapan. Dia tidak sadar kalau langkah sudah membawanya kemari.

“Dari mana?” tanya Dae Ho lagi.

“Ja- jalan- jalan. Tam- taman,” terang Mirah dengan terbata. Dia masih belum bisa menguasai keadaannya sendiri.

“Taman di depan?”

Mirah mengangguk. Dae Ho manggut- manggut lalu kembali membuka pintu apartemen.

“Ayo masuk!” ajak Dae Ho yang dituruti Mirah. Ia mengekor di belakang Dae Ho.

“Kamu sering melakukannya?”

“Eh?”

Dae Ho berbalik dan tersenyum. “Kamu itu, sering ke taman?”

Mirah mengangguk kembali. “Setiap hari?” Dae Ho kembali bertanya.

“Hanya senin sore,”

Dae Ho manggut- manggut. Ia berjalan menuju sofa dan menghempaskannya tubuhnya. Mirah hanya memperhatikan sekilas, ia menuju pantry untuk menyiapkan makanan untuk Dae Ho.

Tapi ngomong- ngomong kenapa lelaki ini pulang cepat?

“Oppa pulang cepat?”

“Iya. Besok pagi aku harus ke Bali. Ada pekerjaan di sana.”

“Oh.”

Ada sebersit gundah menyelimuti Mirah. Ia benar- benar tak suka mendengar Dae Ho akan pergi.

“Seminggu atau dua minggu aku pergi.”

Mungkin kalau dirinya seorang istri yang sesungguhnya, Mirah tentu akan protes. Seminggu, dua minggu bukan waktu yang sebentar. Tapi mengingat statusnya yang hanya istri kontrak, Mirah harus menerima.

“Mira, tolong siapkan semua pakaianku.”

Mirah hanya mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya. Sungguh, rasanya ia ingin menangis. Sedih. Entah apa yang membuatnya begini. Tak lama ia pun menghirup napas dalam- dalam, logika memperingatkan tak seharusnya dia seperti ini. Dia harus kuat.

Toh, kamu cuma istri kontrak, Mir.

Selesai kontrak, kamu akan mudah dilupakan.
Mirah kembali menghela napas panjang. Ah, kenapa dada ini terasa menyesakkan?

***

Mirah uring- uringan. Empat hari dia tak melakukan apapun. Pekerjaannya cuma tidur atau nonton. Makan pun hanya di saat dia benar- benar kelaparan. Keluar rumah pun tak pernah. Hanya sekali saat persediaan makanannya habis. Selanjutnya dia mengurung diri di rumah.

Mirah seakan kehilangan gairah hidup.

Dan semua karena kepergiaan Dae Ho. Lelaki itu teramat sibuk, hingga sangat jarang menghubungi Mirah. Hanya sekali saat dia memberitahu telah tiba di Bali. Selanjutnya tak pernah ada kabar dari laki- laki itu, membuat Mirah gusar tak terkira.

Ah, kenapa dia ini?

Dering ponsel menyadarkan Mirah dari tidur siangnya. Dengan enggan diraihnya ponsel yang tergeletak di atas nakas.

“Ya, hallo….,”

“Mira!”

Mirah terkejut. Matanya terbuka seketika. Dae Ho meneleponnya?

Cepat- cepat Mirah menegakkan tubuhnya. “Oppa!” serunya tanpa sadar.

“Kamu baik?”

Mirah mengangguk cepat. Namun detik selanjutnya ia refleks memukul kepalanya. Bodoh, tentu saja Dae Ho tak melihatnya.

“Iya. Aku baik. Oppa gimana kabarnya?”

“Aku baik- baik saja, Mira.”

Senyum Mirah melebar. Hatinya terasa hangat. Ia juga merasa jantungnya berdetak makin kencang karena suara Dae Ho di seberang. Dia benar- benar merindukan ‘suaminya’.

“Kamu siap- siap, Mira!”

“Siap- siap?” kening Mirah berlipat.

“Nanti malam akan ada yang menjemput dan mengantarmu ke bandara.”

“Ba—andara?”

“Iya, Mira. Aku membutuhkanmu di sini. Kamu harus ke Bali malam ini.”

“APA? Bali?” Mirah tak dapat menutupi keterkejutannya. Dia benar- benar kaget. Dae Ho menyuruhnya menyusul ke Bali?

Astaga…

Mirah bingung sekaligus bahagia. Itu berarti dia akan bertemu suami yang dirindukannya.

“Ta—tapi…”

“Bersiaplah, Mira.”

Dan Mirah tak bisa membantah. Segera setelah Dae Ho menutup sambungan, Mirah bergegas menyiapkan pakaiannya.

Ngomong- ngomong dia di sana untuk berapa hari?

***

Manusia memang tidak pernah tahu rencana yang Tuhan siapkan. Selalu ada kejutan- kejutan yang tak diduga terjadi. Seperti Mirah. Saat tayangan televisi banyak menampilkan keindahan pulau Dewata, Mirah hanya bisa menggeleng sedih. Ongkos yang tak murah tentu menjadi halangannya. Lebih baik menggunakan uang untuk kebutuhan hidup daripada mewujudkan mimpinya.

Tetapi sekarang?

Tuhan memang selalu punya kejutan.

“Miss Mirah?”

Seorang lelaki paruh baya menghampiri Mirah saat keluar dari bandara Ngurah Rai. Mirah tak pernah tahu pekerjaan Dae Ho. Teh Nena mengatakan Dae Ho bekerja di sebuah perusahaan asing yang cukup ternama. Apapun itu, yang pasti Dae Ho orang kaya. Buktinya sejak keberangkatan di Jakarta, ada orang- orang yang dipercayakan Dae Ho untuk mengurus dirinya.

“Pak Made?” tanya Mirah ragu. Dae Ho memang memberitahunya akan ada seorang menjemputnya setiba di Bali.

Lelaki itu mengangguk. Ia tersenyum tipis. “Iya. Saya diminta Mr. Dae Ho membawa anda ke tempatnya.”

Mirah mengangguk. “Terima kasih.” Tak lama dia pun mengikuti langkah Pak Made keluar pintu bandara. Sejenak ia menghela napas.

Akhirnya Bali bukan hanya mimpi baginya.

Setengah jam kemudian, Mirah pun tiba di tempat tujuan. Sebuah bangunan mewah yang ditata sangat apik dengan nuansa kultur budaya Bali yang cukup kental. Material kayu mendominasi keseluruhan ruangan. Tradisional sekaligus eksotis.Meskipun waktu mulai berganti malam, tak mengurangi keindahan bangunan.

“Mari Miss,”

Pak Made bermaksud membukakan pintu utama, namun tertahan karena pintu terbuka dari dalam. Dan Mirah tak dapat menahan gejolak bahagia memenuhi rongga dadanya.

Dae Ho Oppa berdiri tegak di depan pintu dengan senyum tersungging di bibirnya.

“Oppa,” pekiknya tanpa sadar.

Senyum Dae Ho makin melebar. Ia menganggukkan kepalanya lalu menghampiri Mirah.

Welcome to Bali, Mira.” ucapnya. Sejenak ia menoleh pada Pak Made. “Thank you, Bli.” Pak Made tersenyum dan mengangguk sekilas. Tak lama dia berpamitan pulang. Tugasnya usai sudah.

“Ayo masuk!” ajak Dae Ho menyadarkan Mirah dari pandangannya mengamati Pak Made pergi.

Mirah tersenyum lebar. Ia mengangguk lalu mengikuti Dae Ho yang lebih dahulu masuk ke dalam bangunan yang Mirah belum ketahui namanya.

“Ini milik Oppa?” tanya Mirah penasaran.

Dahi Dae Ho berkerut. “Maksudmu resort ini?”

Oh namanya resort…

Bukan. Ini milik teman.”

Mirah manggut- manggut. Dae Ho cukup kaya, dalam pandangannya. Maka tak salah jika tadi ia mengira bahwa bangunan mewah ini milik suaminya.

Memasuki bagian dalam resort, Mirah dibuat takjub dengan kemewahan yang ditawarkan. Di sisi kanan terlihat kolam renang dengan cahaya yang cukup temaram. Mirah tergoda melihatnya, namun DaeHo membawanya masuk ke dalam kamar.

Mungkin besok ia bisa berenang.

“Mandilah. Setelah ini kita akan makan malam.” ujar Dae Ho tegas. Mirah hanya menganggukkan kepalanya lalu melangkah semakin ke dalam ruangan. Tetapi tiba- tiba langkahnya terhenti, Dae Ho menahan tangannya. Ia menoleh dan menatap Dae Ho. Lelaki itu pun tengah memandangnya lekat- lekat. Tatapan yang sulit diartikan Mirah.

“I miss u.”

Mirah merasakan bibir Dae Ho mendarat tepat di bibirnya. Lelaki itu menciumnya dengan lembut, membuat Mirah terhanyut ke dalamnya.

Sungguh, dia sangat merindukan lelaki ini.

Mereka berhenti tak lama kemudian. Dae Ho tersenyum kecil. “Kita lanjutkan nanti, Mira. Sekarang kamu butuh makan.”

Mirah tersipu. Ia mengangguk malu. Tepat setelah Dae Ho keluar kamar dan menutupnya dari luar, tubuhnya luruh ke lantai. Dia pernah merasakan perasaan seperti ini. Gelisah karena rindu, bahagia sat bertemu serta gairah yang meledak- ledak. Semua pernah dirasakannya untuk seseorang. Seseorang yang sudah lama menghilang dalam hidupnya.

Faisal.

Mantan suaminya.

Dulu memang masa lalu. Tapi sekarang? Perasaan ini kembali hadir. Bolehkah jika dia berharap lelaki ini takkan meninggalkannya seperti Faisal.

Ah, mustahil itu Mir. ***

Mirah tak dapat menyembunyikan senyumnya selama makan malam berlangsung. Perlakuan Dae Ho membuatnya merasa sangat istimewa. Dae Ho mengajaknya makan malam di sebuah restoran di pinggir pantai. Pemandangan alam pantai yang indah berpadu dengan cerahnya langit malam serta semilir angin yang menerpa membuat suasana malam terasa romantis.

Semua bukan lagi hanya sebuah tayangan di televisi.

“Kamu suka?”

Mirah mengangguk- angguk. Tentu saja! hanya wanita bodoh yang tidak menyukai semua perlakuan yang ditawarkan Dae Ho.

“Pekerjaan saya selesai. Tapi kita masih di sini untuk dua hari ke depan. Liburan.”

Mirah diam mencerna kalimat yang diucapkan Dae Ho. Setelah memahaminya, ia pun kembali mengangguk.

Liburan yang menyenangkan, bisik Mirah dalam hati.

“Kamu pernah ke sini?” tanya Dae Ho.

“Belum.” geleng Mirah.

“Benarkah? Bukankah ini ada di negaramu?”

Mirah membuang napas pendek. Bali memang ada di negaranya, tapi kehidupan cukup sulit membuatnya untuk mengunjungi pulau ini. Ah, tak hanya Bali, berbagai tempat lain pun ia tak pernah datangi. Dia hanya tahu sebatas Pulau Panggung, tanah kelahirannya juga Jakarta, tempatnya mengadu nasib.

“Aku tak punya cukup uang, Oppa untuk ke sini. Mahal.”

Dae Ho menghentikan suapannya. Ia mendesah menatap Mirah. “Maaf.”

Mirah kembali menggeleng. “Apa yang harus dimaafkan, Oppa? Memang seperti itu hidupku.” katanya sembari tersenyum getir.

Ya hidup yang memprihatinkan.

Sesaat keheningan merayapi keduanya. Mirah kembali meneruskan makan, mengabaikan tatapan intens Dae Ho ke arahnya.

“Aku berjanji untukmu,”

Mirah mendongak. Sedikit bingung dengan maksud ucapan Dae Ho. Keningnya mengerut.

“Besok kamu akan bersenang- senang di sini. Aku akan mengajakmu mengelilingi banyak tempat menarik di sini.” lanjut Dae Ho yang membuat Mirah berbinar.

“Benarkah?” Mirah bertanya ragu.

“Tentu saja! aku sudah berjanji.”

Mirah pun tak sabar menanti hari esok.

selanjutnya di sini

***
Lampung, April 2016













0 komentar:

Posting Komentar