Sabtu, 11 Maret 2017

Sayembara Askar (20)




Sebelumnya di sini
20.
“Lo jadian sama pangeran, Ni?”
Agni menoleh. Pagi-pagi Lintang mendekatinya hanya untuk menanyakan ini. Astaga!
“Apaan sih,Mbak pagi-pagi nanya beginian?” tanya Agni balik.

“Gue mau klarifikasi gosip yang beredar. Katanya saban hari lo diantar jemput pangeran,”
Agni menarik napas. Itu kan maunya Askar.
“Rame, Ni anak-anak bilang lo udah jadian. Pangeran perhatian banget katanya sama lo.” Lagi, Lintang melanjutkan ucapannya.
“Gosip lo percaya, Mbak.” Sahut Agni pendek. Dalam hati ia mengumpat, gara-gara Askar sekarang dirinya jadi korban gosip di kantor, kan?
“Awalnya nggak percaya. Tapi kemarin gue lihat lo pulang bareng pangeran.” Ucap Lintang. “So, ada penjelasan ke gue?”
Agni lagi-lagi menghela napas. Ditatapnya Lintang. Senior yang begitu dekat dengannya selama ini. Tak hanya senior, Lintang juga sahabat baginya. Perempuan ini sudah memahami dirinya dengan baik.
“Lagi free lo, Mbak?”
Lintang mengangguk. “Ya udah, ayo deh ke kantin! Buruan, sebelum si pangeran jemput gue.” Ujar Agni seraya berbalik dengan Lintang mengikuti di belakangnya.
***
“Jadi, hubungan kalian sebenarnya gimana?”
“Tauk, dah!”
“Gaje?”
Agni menggeleng. “Gue kan udah nolak awalnya. Tapi, Askar bilang semua butuh waktu. Dan, waktu yang dimaksud dia adalah yang lo dan banyak orang lihat,”
“Tapi kan lo suka dia?”
Agni mendengus. “Dulu, Mbak. Itu dulu.”
Lintang terkekeh sesaat. “Iya sih, ya. Tapi, kalau kata orang jawa witing tresno jalaran soko kulino loh, Ni. Bisa-bisa lo jatuh cinta beneran sama dia,”
“Nggak,ah!”
“Lah, tiap hari ketemu ini.”
Kali ini Agni diam tak menyahut ucapan Lintang. Pandangannya menerawang sesaat. Sejujurnya ia merasa ada yang aneh dengan hari-hari yang dilaluinya saat ini. Kehadiran Askar, jelas. Tapi lebih dari itu ada sisi hatinya yang merasa kosong.
“Eh, malah bengong nih bocah,”
Agni nyengir. “Sorry, Mbak. Ngomong-ngomong gimana sayembara itu?”
“Udah tahap akhir. Jatahnya pangeran yang nilai.”
“Maksudnya?”
“Secara kompetisi udah tinggal persiapan malam final. Tapi, sebenarnya ada beberapa wanita yang bakal makan malam sama pangeran,”
“Dinner sama Askar?”
Lintang mengangguk. “Jadi, ini syarat dari Askar. Sayembara diganti kontes kecantikan. Tapi, pemenang ditentukan langsung oleh Askar. Wanita-wanita terpilih bakal makan malam langsung dengan Askar. Disinilah, dia menilai pemenang,”
“Yang seharusnya jadi calon istrinya, kan?”
Agni mendesis. “Dasar player!”
Lintang mengerut. “Maksud lo?”
“Percayalah, otak mesumnya pasti nggak hanya berpikir makan malam, Mbak.”
“Ya, tapi kan rencana dibuat sebelum sama lo, Ni.” Ucap Lintang. “Gimana kalau dia bener-bener berubah karena lo?”
Agni menggeleng tak percaya.
“Jangan negatif thinking, Non. Siapa tahu dia beneran insyaf loh. Ah, kalau gitu lo beruntung ya, Ni.”
“Kok, gue nggak yakin dia bisa tobat ya, Mbak.”
“Husst, dibilang jangan negatif thinking.” Senyum Lintang. “Saran gue, lo jalanin aja semuanya. Jodoh itu rahasia Tuhan. Ya kali, lo bakal jadi Nyonya Askar Adinata.”
***
Hari masih sore, ketika Askar tiba di kediaman keluarganya. Papa menelponnya dan memintanya untuk segera datang ke rumah. Dan, tentu saja ia tak bisa tidak datang.
“Sudah datang kamu?”
Suara Bram terdengar sesaat setelah Askar masuk ke dalam rumah. Ia menoleh,dan menemukan lelaki baya yang masih tampak bugar itu duduk santai di sofa ruang tengah.
“Ada apa sih, Pa panggil-panggil Askar ke rumah?” tanya Askar sembari menghampiri Ayahnya.
“Memangnya kamu nggak kangen rumah? Nggak kangen Mama, heh?”
Gayatri muncul dari salah satu pintu. Kepalanya menggeleng sesaat sebelum kemudian bergabung dengan suami dan anaknya.
Askar mencibir. “Nggak usah lebay, deh Ma. Baru juga dua hari lalu ketemu di kantor kita.”
“Itu kantor. Bukan rumah.” Delik Gayatri gusar.
“Sudah-sudah!” Bram menengahi. “Papa panggil kamu kesini, ada yang mau ditanyain.”
“Ya elah, nggak bisa lewat telepon apa? Kerjaanku banyak, Pa.”
“Kerja apa kencan?” Celetuk Gayatri dengan nada menyindir.
Askar mendengus. “Mama apa, sih?”
“Udah, Ma.” Ujar Bram kemudian. Tak lama ia menatap kembali Askar. “Gimana sayembara? Pemenangnya sudah kamu tentukan?”
“Nanti malam aku mulai dinner dengan beberapa wanita yang kita pilih waktu itu.”
Bram manggut-manggut sesaat sebelum kembali berbicara. “Papa kira kamu akan membatalkan semuanya,”
“Maksud Papa?”
“Kamu kira Papa nggak dengar tentang kedekatan kamu dengan putri keluarga Yudha.”
Askar sedikit terkejut, namun secepat kemudian ia dapat menguasai keadaan. “Kita nggak mungkin membatalkan program TV yang udah jalan, Pa.” Balasnya diplomatis.
“Di TV tahunya kontes kecantikan, jadi tak ada masalah. Yang Papa kira, kamu akan membatalkan mencari calon istrinya. Ngomong-ngomong kamu serius kan, dengan gadis...,”
“Agni, Pa namanya.” Gayatri memotong ucapan suaminya.
“Ya, Agni. Papa sudah cari tahu. Dia gadis baik-baik juga cerdas. Keluarganya terpandang. Tak ada yang buruk. Dia calon yang sempurna.” Ungkap Bram yang disambut gelengan oleh Askar.
“Nggak, Pa. Kita emang lagi dekat. Tapi, nggak ada yang istimewa.”
Bram mengerut. Ditatapnya Askar sebelum kemudian beralih menatap istrinya. Tak lama keduanya mendesah bersamaan. “Masih mau main-main ternyata kamu,”
***
Sava baru saja pulang kerja ketika menemukan Agni tengah duduk di sofa sembari menonton TV. Tampak biasa, tapi jika diamatilebih teliti pandangan Agni kosong. Ia tak memperhatikan tontonan yang tersaji di layar TV.
“Ngapa sih lo ngelamun mulu?” tegur Sava yang seketika mengejutkan Agni.
“Astaga, Va! Bikin kaget aja sih. Bilang-bilang kek kalau pulang. Ucap salam, bukannya malah bikin jantungan orang,” gerutu Agni kemudian.
“Nih ya kebanyakan ngelamun sampai nggak denger orang udah bilang salam,” ujar Sava sembari menghempaskan tubuhnya di sofa. Sejenak disempatkannya melonggarkan dasi yang terasa mencekik leher.
 “Oh, ya?”
“Iya. Kenapa sih emangnya?”
“Nggak kenapa-napa.”
Sava mencibir. “Ada apa-apa pasti.”
“Nggak. Sok tahu wee!” balas Agni dengan menjulurkan lidahnya.
Sava tergelak. “Masih belum bisa hubungin Tantra, ya?”
“Udah mati kali tuh orang,”
“Huss!” Sava menggeleng. “Nggak, boleh ngomong kayak gitu.”
Agni diam tak menyahut. Sungguh, ia kesal. Tantra tiba-tiba menghilang pasca kejadian di cafe. Laki-laki itu tak bisa dihubungi sama sekali. Sudah seminggu lebih, Agni kehilangan jejak lelaki itu. Ah, begitu penurutnya dia pada Askar. Agni yakin Askar melarang Tantra menemui dirinya.
“Kenapa nggak datengin rumahnya sih, Ni?”
“Mana gue tahu,”
“Kata lo pacar Meliana yang namanya siapa itu serumah sama dia...,”
Seketika Agni menoleh menatap Sava. Tangannya reflex memukul kepalanya pelan. “Astaga! Kenapa gue lupa ya,”
Sava menggeleng geli. “Yuk, ah gue anter!”
***
Gerry sedikit bingung ketika rumahnya didatangi oleh Agni bersama seorang laki-laki yang tak ia kenali. Dalam hati, ia menduga-duga mungkin saja lelaki itu kekasih Agni.
“Eh, Agni. Sorry ada apa ya ke rumah gue malam-malam?”
Agni tersenyum. “Sorry, Ger kalau ganggu. Gue cari Tantra.”
“Tantra?”
Agni mengangguk. “Iya. Tantra. Dia tinggal di sini juga, kan?”
Kali ini giliran Gerry yang mengangguk. “Iya sih, dia memang tinggal di sini. Tapi, sekarang nggak lagi.”
“Maksud lo?” Agni mengernyit bingung.
“Tantra udah pergi.”
Agni terbeliak. “Pergi?”
“Eh, he eh,” Gerry sedikit kaget dengan reaksi yang ditunjukkan Agni. Sedikit bingung juga kenapa ekspresi Agni sedikit berlebihan menurutnya. Memangnya Tantra nggak pamit dengan gadis ini.
“Dia bilang sih mau pulang kampung,”
“Pulang kampung?”
Gerry menarik napas. “Gue sendiri bingung sama keputusannya yang mendadak. Tapi, gue nggak bisa ngelarang juga.”
“Kapan dia pergi?” Agni merasa dirinya begitu kacau. Seketika ia memegang tangan Sava erat-erat. Sava yang menyadari hanya bisa menggeleng sedih.
“Adalah lima hari yang lalu.” Jawab Gerry. “Eh, dia nggak pamit ya sama lo?”
“Nggak sama sekali.” Geleng Agni. Matanya terasa memanas. Namun, cepat-cepat ia menarik napas panjang. “Oh, ya dia ganti nomor ya? Gue kesulitan kontak dia.”
“Setau gue nggak. Tapi, kalau lo bilang kesulitan kontak dia, sama. Sejak dia pergi, gue nggak bisa telepon dia.”
Agni terdiam. Ia menoleh dan menatap Sava seakan berkata sudah tak ada harapan.
Sava tersenyum tipis. Mencoba menenangkan Agni. “Ehm, sorry boleh tanya kampungnya Tantra?”
Gerry menggeleng. “Yang gue tahu Tantra dari Wonosobo. Tapi, letak pastinya sorry gue nggak tahu. Tantra itu nggak banyak ngomongin soal keluarganya.”
Habis sudah!
Benar-benar tak ada harapan lagi.

4 komentar:

  1. Sedihnya cerita ini gk bisa berlanjut....selamat jln mba,semoga tenang disana 😭

    BalasHapus
  2. Sedihnya cerita ini gk bisa berlanjut....selamat jln mba,semoga tenang disana 😭

    BalasHapus