Jumat, 19 Februari 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (6)


Enam
sebelumnya di sini
“Sorry ya, Mir. Lama!”

Mirah mengangguk perlahan. Nena menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Mirah. Perempuan itu baru saja mengantar Josh hingga depan pintu apartemen.

“Loh kok diam aja, kamu nggak ambil minum?” Pertanyaan Nena hanya dijawab gelengan Mirah. Dia masih shock mendapati fakta keberadaan Josh pagi- pagi di tempat Nena. Apalagi dengan banyak dugaan- dugaan berkelebat di kepalanya membuat dirinya makin tak nyaman. Dia memang sudah pernah menikah dan menjadi seorang janda, tapi tetap saja kenyataan yang dilihatnya pagi ini membuatnya tak nyaman.

“Kamu jangan mikir aneh- aneh, Mir.” Mirah mendongak. Nena tahu yang dipikirkannya. Alih- alih tersinggung wanita itu justru tersenyum lembut.

“Teteh sama Josh nggak seperti yang kamu pikir.” Sambungnya yang membuat Mirah meringis malu. The Nena tahu?

“Josh suamiku.”

Hah? Nena tercengang. Ia terbelalak tak percaya.

“Ss—suami?”

Nena mengangguk. “Iya, suami. Jadi bukan masalah dong?” Tukasnya dengan binar jahil di matanya. Mirah menggeleng. Ya nggak masalah kalau begitu, tapi…

“Ko-kok teteh nggak pernah cerita?”

Meski sekilas Mirah dapat menangkap raut sedih di wajah ayu itu. Nena menyandarkan punggungnya di sofa. Matanya terpejam sebentar lalu membuka kembali.

“Nggak ada gunanya diceritakan, Mir. Karena sebenarnya ini juga bukan hal yang membahagiakan.”

Mirah bengong. Detik selanjutnya ia terkesiap, jangan-jangan…

“Teteh disiksa? Atau dipukuli? Diselingkuhi?” Tanya Mirah panik. Banyaknya berita tentang KDRT ternyata telah membuat Mirah menduga- duga banyak hal. Pernikahan tak bahagia itu berarti ada kesalahan diantara suami istri.

Nena menggeleng perlahan, matanya menatap lekat- lekat Mirah. “Nggak. Teteh nggak separah itu. “

“Lalu?”

“Ini pernikahan kontrak, Mir.”

Nikah?

Kontrak?

???

***

Emak masuk rumah sakit, Yuk.
Mirah gelisah bukan main. Berita yang disampaikan Kumala membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ibunya masuk rumah sakit karena penyakit asma yang memang sudah lama dideritanya. Mirah tahu ada hal berat yang dipikirkan ibunya hingga memicu stress yang berdampak pada asma.

Tapi mengapa sampai masuk rumah sakit? Selama di rumah, Mirah selalu memastikan obat yang dikonsumsi ibunya tak pernah telat. Ia sudah mengatakan hal itu pada Kumala dan adiknya tak mungkin melalaikan pesannya. Pasti ada sesuatu. Ia yakin.

Tapi selain memikirkan alasan itu, Mirah juga dibuat pusing memikirkan nasib Kumala dan Rania. Siapa yang mengurus mereka? Siapa pula yang menjaga ibunya di rumah sakit. Mungkinkah Kumala mampu menanggung semuanya.

Ah, ia rasanya ingin pulang segera dan secepatnya.

“Astaga, Mir belum juga sebulan udah minta izin pulang kampung! Nggak- nggak! enak aja, saya bisa diomelin bos kalau kamu pulang seenaknya, belum teman- teman kamu bisa iri. Lagian di kampung kan banyak saudara kamu. Udah biar mereka yang urus!”

Mirah ingin menjerit. Marah. Tak adakah rasa peduli atasannya ini? Ingin rasanya ia menghubungi pemilik restoran ini. Tapi dia tidak tahu, selama ini hanya sekali bertemu saat wawancara saja selanjutnya semua urusan diserahkan pada manajer.

“Kalau kamu mau pulang, sana pulang! Tapi jangan kembali!”

Ya Tuhan, ada orang sekejam ini!

Mirah menunduk. Ia tak punya kuasa apa- apa. Siapa dirinya yang hanya orang kecil. Di negeri ini orang sepertinya selalu dipandang sebelah mata. Diremehkan. Ia orang kampung, tak bertitel juga hanya seorang pelayan selalu menjadi sasaran empuk orang- orang yang merasa dirinya jauh lebih sempurna.

Dunia memang tak adil.

Mirah menghela nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tak ada gunanya meratapi diri. Banyak yang harus dilakukannya. Minimal ia harus kembali menghubungi Kumala untuk menanyakan kondisi ibunya.

Tapi nanti karena pekerjaan menunggunya saat ini.

“Aw!”

Mirah tersentak. Ia terburu- buru membawa pesanan minuman hingga tanpa sadar menyenggol laki- laki yang bertubuh tinggi yang tengah berjalan menuju kasir. Mirah harus mengakui dirinya tak fokus. Ia salah memperhitungkan jarak.

“Ma..maaf, Pak!” Gelas memang tak jatuh, tapi cipratannya mengenai kemeja lelaki itu. “Sa—saya nggak sengaja.” Mirah menunduk. Takut.

“Ada apa ini?”

Mata Mirah terpejam. Manajernya datang. Bersiaplah, Mir!

“Astaga, Mir! Kamu bikin ulah apa lagi sih?”

Mirah menggeram dalam hati. Manajer masih kesal padanya. Padahal permintaan izin tadi pagi, tapi sepertinya kekesalannya masih bertahan.

Sorry, Sir………..“ Mirah dapat mendengar manajernya menggunakan bahasa inggris. Mirah tak mengerti. Ia hanya mendengar kata sorry yang pertama kali diucapkan. Ini berarti orang yang disenggolnya adalah orang asing.

Entah apa yang dikatakan keduanya. Mirah masih menunduk. Dia benar- benar takut. Kemungkinan terburuk, si bule akan meminta ganti rugi dan dia harus bersiap gaji bulan ini dipotong. Ck, gajian saja belum.

Tiba- tiba Mirah merasakan sebuah tepukan di bahu kanannya, “It’s Ok. Tidak apa- apa. Kamu jangan takut.” Ucap sebuah suara dengan bahasa Indonesia yang sangat formal dan aneh.

Mirah terkesiap. Suara orang ini terdengar sangat ramah. Ia ingin mengangkat wajahnya tapi rasa takut masih mengelayutinya.

“Lain kali hati- hati!” Kata lelaki itu kembali sebelum akhirnya berbalik. Mirah mengangkat wajahnya perlahan. Tubuh lelaki itu tinggi, ia tidak kurus juga tidak gemuk. Pas. Kulitnya putih, meski begitu Mirah menyayangkan dirinya yang tak dapat melihat jelas wajah lelaki itu. Dia terlalu takut.

Orang baik.

“Kamu bersyukur dia nggak minta ganti rugi. Kalau nggak habis gaji kamu bulan ini buat beli kemejanya.” Ujar si manajer di sebelahnya. Mirah hanya mengangguk dan setelah manajernya berlalu ia bisa bernafas lega namun matanya masih memperhatikan lelaki yang disenggolnya tadi. Dalam hati ia berharap, lelaki itu menoleh ke belakang dan dirinya bisa melihat wajah dengan jelas.

Tapi sayang, hingga akhirnya lelaki itu keluar restoran tak sekalipun dia menoleh. Mirah menghela nafas berat.

Sayang sekali!

=tbc=

selanjutnya di sini

Lampung, Feb 2016

1 komentar: