sebelumnya di sini
Tantra menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya
dengan sedikit kasar. Sesekali tangannya mengusap kepala bagian belakang.
Sungguh, ia masih belum dapat memahami secara detail ucapan Askar tadi siang.
“Dia milik gue.”
Agni milik Si
Bos?
Agni?
Kapan mereka
dekat?
Kalau kenal,
memang keduanya kenal! Tapi dekat?
Tantra mendesah panjang. Sejak kembali ke rumah,
pikirannya terus dibayangi banyak pertanyaan tentang hubungan Agni dan Askar.
Selama ini jika Askar mendekati seorang wanita, ia pasti menjadi pihak yang
terlibat. Entah hanya sekedar mengatur dinner romantis atau mengirimi barang
kesayangan sang wanita. Apapun hal yang memang Askar perintahkan untuk
meluluhkan hati wanita tersebut. Tapi kali ini...
Askar melakukan sendiri atau...
.
.
.
Kebohongan.
Dua kemungkinan yang masuk akal. Toh, selama ini bersama
Agni, tak pernah sekalipun gadis itu membicarakan Askar. Tapi untuk apa Askar
berkata bohong padanya?
Tanpa sadar kepala Tantra menggeleng. Tak mungkin juga
Askar berbohong? Untuk apa? Siapa pula dirinya? Dan memang Askar cukup serasi
jika bersanding dengan Agni. Keduanya dikaruniai fisik sempurna, sama-sama
pintar, kaya dan dari keluarga terpandang.
Pasangan yang pas.
PAS?
Tantra menghela napas pendek. Ada secuil perasaan tak
rela yang tiba-tiba muncul di hatinya saat menyandingkan Agni dan Askar. Ah,
siapa aku?
“Woy, Tra! Ngelamun aja sih lo!”
“Eh!”
Tantra terhenyak seketika. Gerry tergelak. Kepalanya
menggeleng untuk beberapa saat sebelum kemudian menghempaskan tubuh di sofa.
“Lo ini! Pulang-pulang tuh mandi, ganti baju biar
segeran eh ini malah ngelamun nggak jelas.”
Kerut di dahi Tantra terbentuk. Ia sedikit terkejut
mendapati keberadaan Gerry yang ternyata berada di rumah.
“Udah pulang dari tadi?”
“Lumayan,” jawab Gerry. “Eh, apaan nih!” ujarnya lagi
saat menemukan map di atas meja. Tak butuh lama bagi lelaki itu untuk membuka
dan membaca isi di dalamnya.
“Info beasiswa?” Kepala Gerry terangkat dan menoleh
menatap Tantra. “Lo mau lanjut?”
Bahu Tantra mengedik. “Pengennya sih, tapi belum
ta...,”
“Lanjut aja, Bro!” potong Gerry dengan senyum lebah. “Usaha,
gih! Gue dukung. Lo kan pinter, sayang disia-siain isi otak lo. Gue yakin lo
pasti bisa lebih sukses.”
“Dari dulu kan gue udah saranin hal ini. Lo aja
kebanyakan alasan.” Lanjut Gerry lagi.
“Kebahagiaan keluarga bukan kebanyakan alasan, Ger.”
Gerry meringis tak enak hati. “Sorry, Tra! Bukan itu maksud gue.”
“Iya, aku tahu.” Senyum Tantra tipis. “Lagipula info
itu bukan dariku juga. Itu kerjaan Agni.”
“Agni?”
Kepala Tantra terangguk. “Dia yang cari semua itu.”
“Gemes kali dia lihat kepintaran lo,” sahut Gerry. “Apalagi
lo bilang pernah bantu ngerjain laporan perusahaan kakaknya kan?”
“Biasa aja padahal,” kilah Tantra.
“Ya nggak biasa buat dia. Itu cewek kan baiknya sama
orang luar biasa, Tra. Ya meski terlahir kaya, dia itu jiwa sosial sama
empatinya tinggi. Mel pernah cerita sih kalau ada teman kena musibah, Agni itu
orang pertama yang bakal bantu.” Jelas Gerry.
“Perfect dah
tuh cewek! Baik, smart, dermawan,
cantik walaupun ...,”
Kening Tantra mengernyit mendengar Gerry menghentikan
sejenak ucapannya. “Walaupun?”
“Walaupun jutek bin galak ampun-ampun!”
Sontak tawa pecah. Gerry terbahak, Tantra terkekeh.
Harus diakui kebenaran ucapan sahabatnya ini. Tantra ingat bagaimana juteknya
Agni saat mereka masih pertama kenal. Bahkan ketika akhirnya menjadi teman
serta partner nongkrong bareng, Agni tak lantas membuang sifat galaknya.
Ah, gadis itu...
Tanpa sadar senyum terkulum dari bibir Tantra
mengingat sosok Agni. Beberapa kilas kebersamaan mereka pun berputar di benaknya
dan seketika menghangatkan hatinya.
“Eh iya, Tra! Ngomong-ngomong Salsa apa kabar ya?”
***
Tantra.
Askar mendengus gusar. Sungguh nama itu merusak
harinya. Ia masih tak habis pikir dengan kedekatan antara Agni dan Tantra.
Sejak kapan mereka kenal?
Dan sepertinya mereka sering bertemu.
Sial!
Amarah sekaligus perasaan tak terima kini bercokol di
hati Askar. Tantra yang jelas merupakan bawahannya, orang yang bekerja padanya
bisa dengan mudah dekat dengan Agni. Dirinya saja harus bersusah payah
mendekati gadis itu.
Apa sih bagusnya
dia?
Argh...
“Cemburu, hum?”
“Apa sih lo, Mas!” Delik Askar kesal pada Aksa. “Gue
bukan cemburu ya. Cuma merasa tersaingi sama orang yang jelas-jelas masih
karyawan gue.”
“Lo jatuh cinta sama Agni?”
“Cinta? Hari gini ngomongin cinta. No!”
“Kalau nggak cinta apa namanya? Lagian kenapa juga lo
merasa tersaingi sama Tantra?” cecar Aksa seraya mengulum senyum. Ia tahu
persis kekeraskepalaan Askar sejak kecil.
Askar menghela napas pendek. Sesaat ditegakkan
tubuhnya dari sandaran sofa. Keduanya kini berada di sebuah klub mewah ibukota,
menyewa ruangan yang memang sudah menjadi tempat favorit Askar. “Jadi gini ya,
Mas. Lo tahu kalau Agni lagi jadi target gue saat ini. Jadi selama dia masih
jadi target gue, nggak boleh seorang laki-laki dekat dengannya.” Ungkap Askar.
“Nanti! Kalau gue udah bosan. Silahkan!”
Aksa menggeleng- geleng. “Gue tahu itu emang kebiasaan
lo. Tapi kali ini gue lihatnya beda.”
“Maksud lo?”
Bahu Aksa terangkat. Tak lama ia berdiri. “Pikirin
sendiri! Gue mau balik. Udah terlalu malam. “ ujarnya seraya melangkah menuju
pintu meninggalkan Askar. Tepat sebelum ia membuka kenop pintu, langkahnya
terhenti. Aksa berbalik.
“Kar, jangan lupakan sayembara yang Bokap lo buat. Lo
harus pikirin baik-baik semuanya. Jangan serakah!”
Sesaat setelah berkata, Aksa pun keluar. Askar hanya
berdecih mendengar ucapan kakak sepupunya. Serakah
katanya. Ck, siapa peduli!
Hanya selang beberapa menit pintu kembali terbuka.
Askar mendongak. Didapatinya wajah Kentaro yang tengah tersenyum lebar.
“Gue pikir lo lupa tempat ini,”
Askar menyeringai. “Lupa! Nggak mungkin lah. Gue lagi
banyak kerjaan akhir-akhir ini makanya jarang mampir.”
“Oh ya!” Sebelah alis Kent terangkat. Dihempaskan tubuhnya
di sofa tepat di sebelah Askar. “Kerjaan mengurusi lusinan wanita-wanita cantik
nan sexy,”
Seketika tawa pecah. Askar paham maksud Kent. Apalagi
kalau bukan sayembara berbalut kontes. “Bukannya hidup gue selalu dikelilingi wanita-wanita
cantik dan sexy ya?”
Tawa Ken makin keras. “Ya ya ya! Gue percaya itu. So,
malam ini mau ditemani berapa gadis cantik nan sexy. Ehm, gue denger mereka
punya stok baru.”
“Oh ya,”
“Bening- bening dan...” kekeh Kent.
Askar tergelak. “Cari yang terbaik!”
***
“Ni!”
“Hmm,”
“Tumben?”
“Tumben apa?”
“Askar nggak kemari?”
“Banyak kerjaan kali,”
“Masa sih? Dia tuh sesibuk apapun pasti ke sini loh,”
“Tau!”
“Kok kamu gitu ngomongnya? Kan Mama bilang apa jadi
cewek, jangan jutek-jutek! Laki bisa pada kabur loh,”
Seketika wajah
Agni makin bertekuk. Pupus sudah rencananya menikmati tayangan televisi malam
ini. Alih-alih bisa menonton, yang ada Mama merecoki pertanyaan akan
ketidakhadiran Askar di rumahnya malam ini.
Ck, siapa dia
sih?
“Ma! Dia punya rumah loh. Punya orang tua. Ngapain sih
Mama repot juga.”
“Iya tahu! Mama juga kenal,” sahut Mama santai namun
mampu makin menjengkelkan hati Agni. “Cuma Mama penasaran aja biasanya dia
nongol, ini nggak.”
“Ya mana Agni tahu! Emang Agni baby sitternya?”
“Ya kali dia kasih tahu kamu.”
Gerr! Ini Mama demen amat sih sama Askar, gerutu Agni
dalam hati. Laki playboy, baj*ngan macam itu juga.
Sedetik kemudian Agni memilih beringsut dari sofa. Mending
tidur daripada direcoki Mama, pikirnya.
“Eh, mau kemana?” tanya Mama menyadari sikapnya.
“Tidur.”
“Kok tidur. Kan masih sore?”
“Persiapan awal lebih baik.” Jawab Agni asal seraya
melenggang meninggalkan sang Mama. Sejenak dihelanya napas dalam-dalam. Bayangan
kejadian tadi siang berkelebat di benaknya. Tantra yang menurutnya terlalu
penurut dan Askar yang arogan.
Argh, menyebalkan!
Perasaan jengkel, marah sekaligus tak terima kembali
muncul di hati Agni. Ia benar-benar kesal dengan sikap mereka. Sikap Askar
memang menyebalkan, ia tahu. Tapi sikap penurut Tantra itulah yang membuatnya
makin kesal. Tantra memang karyawan Askar, tapi ia tak berhak diperlakukan semena-mena.
Urusan mereka murni urusan pribadi, jadi baiknya Askar tak ikut campur.
Udah ah, ngapain
mikirin mereka lagi! Gumamnya berbarengan dengan membuka pintu kamar. Tepat
saat pintu terbuka, Agni dikejutkan dengan bunyi dering ponsel yang diletakkan
di atas meja rias.
Segera, Agni pun meraih benda segiempat tersebut. Seketika
matanya berbinar saat menemukan ID sang penelpon. Sedetik kemudian ia pun
berteriak,
“Savaaaaaaaaaaaaa, kangeeeeeeeeeeeennnn!”
Lampung, Februari 2017
good post mbak
BalasHapusMba Imas apa kbr? Smg sehat ya..
BalasHapus