Mendadak Tunangan (1)

Mendadak Tunangan (1)

“Hah, TUNANGAN!” Histerisku kencang. Ekspresiku yang berlebih jelas membuat mama yang duduk di sampingku melonjak kaget. Hingga ia menutup telinganya rapat.

“Ya udah, responnya nggak sampai kayak gitu juga!” tegur mama sambil mengelus- elus dadanya. Aku nyengir, untung mama nggak punya sakit jantung.

“Tapi Ma, Olin kan masih kuliah! Masih lama mikirin married,” protesku kemudian, “Masih 20 tahun, Mama!”

“Ya nggak papa, mama aja seumur kamu udah nikah!”

Aku memutar bola mata jengah, plis deh, Mam.

“Tante Dewi itu pengen banget kamu jadi menantunya, Sayang.”

Aku terbelalak, “Tante Dewi? Yah berarti Akash dong!”

“Ya iya dong, Sayang! Anak tante Dewi kan cuma Akash yang laki- laki. Kamu pikir siapa?”

“Tapikan, Ma…,”

“Nggak ada protes- protes! Terima aja! Siapin diri kamu malam minggu besok ya!” Ucap Mama cepat kemudian ia berdiri dan meninggalkanku yang masih memendam protes panjang.

Aku mendengus sebal, sampai kapanpun mama adalah mama. Diktator number wahid. Orang paling keras kepala di rumah. Apapun kemauannya tidak dapat ditentang.

Argh, desahku frustasi.

= Mendadak Tunangan =

Kenapa sih mama sahabatan sama tante Dewi?

Mengapa pula keduanya punya perjanjian bodoh itu?

Perjanjian sejak masa remaja namun berefek fatal bagiku.

Kenapa harus Akash juga sih jadi anak tante Dewi?

Ugh, benar- benar menyebalkan, gerutuku dalam hati. Persahabatan mama dan tante Dewi memang sudah sangat lama. Dan sejak lama pula mereka berniat menjodohkan anak- anaknya. Sialnya hal itu harus kualami. Aku yang jelas merupakan si sulung di keluarga Wistara, mau tak mau menjadi korban perjodohan. Apalagi anak tante Dewi yang bernama Akash itu seumur denganku. Anak laki satu- satunya pula. Tak ada pilihan lain lagi, bukan?

Sebenarnya aku sudah sangat mengenal seorang Akash. Persahabatan kedua ibu kami, membuat kami juga ikut terbawa. Selain itu kami pun bersekolah di SMA yang sama. Hal itu tentunya membuatku sangat mengenal pribadi seorang Akash Nararya. Pribadi yang membuatku muak dan kesal padanya.

Akash harus bersyukur karena dia dianugerahkan wajah rupawan dan innocent serta ditunjang tubuh atletis dan proporsional. Kupikir dia lebih cocok menjadi model. Sayangnya ketampanannya diiringi dengan sikap playernya. Saat di SMA saja, siapa yang tak mengenal Akash. Player number one. Gonta- ganti pacar. Tiap minggu jalan dengan cewek yang berbeda. Aku benar- benar muak melihatnya. Benci dengan tingkahnya. Ia benar- benar tak menghargai hati perempuan.

Huh, dan kali ini orang yang kubenci saat sekolah akan menjadi tunanganku! Ya Tuhan, mimpi burukku!

Papa mana papa? Sepertinya aku harus mencari dukungan beliau. Katakan tidak untuk perjodohan.

= Mendadak Tunangan =

 “Papa,”

Aku langsung menemui papa yang tengah berada di ruang tengah. Beliau sedang asyik membaca buku. Maaf Pa, aku mengganggumu.

“Ada apa?” tanyanya seraya meletakkan buku ke atas meja yang berada dihadapannya. Ia tersenyum melihatku. Aku pernah mendengar kalau anak perempuan itu lebih dekat dengan ayahnya. Seperti  benar? Karena aku merasakan lebih dekat dengan papa dibanding mama. Kalau dengan Papa aku bebas merajuk dan manja sedangkan dengan mama, debat dan perang mulut selalu tak terhindarkan. Tapi tenang saja walau bagaimanapun aku menyayangi keduanya. Mama itu baik dan manis asal sedang tidak memaksa.

Kududukkan diriku di sofa tepat sebelah lelaki yang paling kuhormati. Aku menyunggingkan senyuman tipis.

“Mama, Pa!” Aku mulai merajuk. Hingga tak lama kemudian, aku menceritakan soal perjodohan yang direncanakan mama dan sahabatnya.

“Plis deh, Pap. Aku masih 20 tahun ya! Cita- citaku masih banyak, masak mau tunangan sih!” sungutku setelah menyelesaikan ceritaku.

Papa menggelengkan kepalanya lalu mengusap- usap kepalaku lembut. Duh, aku menyayangimu, Pa.

“Ya nggak papa, Lin. Akash itu anaknya baik. Papa sih setuju aja!”

Whatttt! Aku terbelalak. Oh My God, kenapa bisa papa malah setuju, sih! Gerutuku dalam hati. Dan tadi papa menyebutkan nama Akash. Kurasa papa sudah tahu soal pertunangan ini. Damn! Harusnya aku nggak lupa kalau mama akan mengatakan pada papa duluan. Aku manyun. Tahu gitu nggak capek- capek mulutku berceloteh.

“Papa senang justru ada yang jagain kamu. Soal umur sih, nggak masalah. Lagian tunangan, Sayang! Belum married!”

Hah. Kontan mataku melotot. Kepalaku terasa pusing. Migren migren dah!

“Tapi kan ya, Pa…,”

“Tapi kalau kamu mau langsung married, papa juga nggak masalah kok!”

Apalagi sih ya! Fix. Semua payah! Papa tidak menolong sama sekali!

 “Ngawur ah, Pa!” desisku sebal.

Kuhembuskan nafas gusar. Niat cari dukungan malah terperosok makin dalam. Benar- benar malang nasibku, Ya Tuhan.

“Tuh kan, papa aja setuju!”

Yah, Aku mendesah kecewa, nyonya besar datang! Senyum sumringah tercetak di wajahnya. Aku tahu pasti hati mama sedang bersorak penuh kemenangan.

“Nih, Pa minum dulu!” Mama memberikan papa cangkir yang kutebak berisi kopi favorit papa. Papa menerimanya dengan  mengulas senyum dan pandangannya itu lo, hmm… aku benar- benar selalu mengharapkan mempunyai pasangan seperti kedua orang tuaku. Yang walau sudah bertahun- tahun menikah, masih terlihat saling menyayangi dan mencintai.

Bagaimana hal itu bisa terjadi padaku bila kali ini aku bertunangan dengan laki- laki yang kubenci.

“Berarti semua setuju kan?” Pertanyaan mama kontan membuatku tersadar. Masalahmu bertambah, nona! Batinku memperingatkan.

“Eh, tunggu Mam. Masih ada pendapat Aga yang harus didengarkan,” kataku mengingatkan kebiasaan di keluarga kami. Selama ini kami mengagungkan arti demokrasi. Apapun keputusan selalu dibicarakan bersama dalam satu keluarga. Dan kali ini aku sangat membutuhkan dukungan adikku.

“Jadi gimana, Dek?”

Spontan aku berbalik dan menemukan adikku, Aga sedang bermain Play Station kesayangannya tak jauh dari ruangan dimana kami berkumpul. Sial, kenapa aku nggak sadar kalau Aga sejak tadi ada disini? Uh, aku cemberut. Kalau seperti ini sih aku tidak bisa melobinya. Aga pasti sudah mendengar percakapanku dengan papa.

Aku memandang Aga kemudian. Pandangan memohon atau memelas tepatnya. Plis dong Ga! Kamu mau apapun, aku kan berikan.

“Its Ok,”

“APPAAAA?”

“Yes,”

Oke. Fine. Aku terpuruk. Jatuh. Gagal. Ya Tuhan, riwayatku kini!

“Tiga banding satu, Olin! anak mama tersayang,” Dapat kulihat binar kemenangan di raut wajah mama. Ia senang tetapi tidak denganku. Aku benar- benar nelangsa.

“Apaan sih, Ga! Kok tega amat sama gue,” semprotku pada adik semata wayangku. huh, adik durhaka! Umpatku dalam hati.

“Ya udah sih, Kak. Nggak ada salahnya tunangan sama Kak Akash. Orangnya asik ini!” Sahut Aga santai tanpa dosa.  Pandangannya tak beralih dari layar TV membuatku makin jengkel.

Apa sih pesona Akash hingga mempesona keluargaku?

Sial. Double sial, rutukku lagi.

“Jadi, Kak?”

Kuhela nafas dalam lalu menghembuskannya dengan kencang, “Terserah!”

Mama tersenyum lebar. Kurasa ia benar- benar bahagia.

= Mendadak Tunangan =

Well, nemu tulisan tahun 2009an. hahhaha... jadul sih. Masih unyu- unyuu...

Selanjutnya : 2