[Cerpen] Love is You
"Kau mencintainya?" Aku menggeleng pelan, aku tidak tahu.
"Akuilah Sas,"
Aku terdiam. Tak menjawab perkataan Gita, sahabatku. Sungguh tak kumengerti.
"Sas, "
Aku menoleh menatap Gita, "Apakah ini yang disebut cinta?"
Gita mengangguk mantap, "Tanpa kau sadari kau telah jatuh cinta padanya, Sas. Kau terbiasa dengan kehadiran dirinya di sampingmu."
Aku mendesah, "Kalau akan seperti ini lebih baik aku tak mengenalnya."
'Jangan pernah menyesali datangnya cinta, Sas. Cinta adalah anugerah yang terindah yang Tuhan berikan kepada manusia."
Aku mencibir, "Huh.... Sok puitis,"
Gita tertawa, "Yah untuk menghibur sahabat apa salahnya?"
Aku tersenyum menanggapi perkataannya, "Thanks ya, Ta,"
Gita melingkarkan tangan kanannya di bahuku, "Itulah gunanya sahabat," ucapnya sambil tertawa, "Yakinlah suatu hari nanti kamu kan temukan sosok yang terbaik."
***
Aku termenung mengingat perbincanganku tadi sore dengan Gita. Ah tepatnya curhat.
"Kau mencintainya," ucapan Gita masih terngiang jelas. Mungkinkah ku jatuh cinta? Gumamku dalam hati.
Cinta pada sahabatku sendiri. Mencintai sosok yang hampir sepuluh tahun mengikat diri atas nama persahabatan denganku. Ia yang ada diseparuh masa remajaku. Benarkah aku terbiasa akan hadirnya hingga tak pernah kusadari selama ini bahwa dirinya telah mengisi relung hatiku. Ya Tuhan, mengapa semua justru terasa menyakitkan saat ini.
"Mbakkkkkkkkk, ada telpon nih! "
Teriakan Kinan, adikku membuyarkan lamunanku. Telepon? Aku mengernyitkan dahi. Siapa? Malam- malam begini?
Dengan enggan aku beringsut dari kasur, melangkah keluar kamar menuju ruang tengah keluarga.
"Buruan dong mbak, lama ih!"
"Emang siapa sih?" Tak urung aku penasaran juga.
Kinan mengedikkan bahu. "Tau ah," jawabnya cuek.
Segera kuraih gagang telepon, Ah Kinan kebiasaan selalu lupa tak menanyakan siapa penelponnya.
"Hal..."
"SASHI," Suara ini, suara orang yang baru saja kupikirkan, yang membuat hatiku tak menentu.
"Sas, kamu masih disitu?" Aku tergagap.
"Ya," jawabku singkat.
"Kamu kenapa Sas," terdengar nada khawatir pada suaranya. "Kamu sakit?"
Refleks aku menggeleng. Sial, ini kan ditelepon mana ia tahu,
"Nggak papa, Vin." sahutku. "Ada apa? Kenapa telepon ke rumah pula?" tanyaku kemudian.
Ia tertawa, "Sashi... Sashi, berarti kamu nggak sadar handphone kamu mati ya?"
"Hah, masa sih?" ucapku ragu
"Ceroboh masih aja dipelihara, Sas!" Ucapnya masih disela- sela tawanya. Aku cemberut kesal.
"Apaan sih, HP kan HP aku terserah mau mati kek mau hidup kek! "
"Loh, loh kok marah, Sas?"
"Tau ah, tutup teleponnya. Aku mau tidur. Assala..." Kataku semakin ketus.
"Eh tunggu Sas," suaranya di seberang menahanku untuk meletakkan gagang telepon.
"Ada apa lagi sih?"
"Ok, ok aku minta maaf kalau tadi kamu tersinggung,"
Aku mendengus. "Udah dimaafin! Lalu?"
"Jalan yuk, Sas!"
"Nggak ah," ucapan spontan keluar dari bibirku. Ah, siapa yang mau bertemu jika malah membuat sakit hati.
"Ayolah, Sas. Ini kan juga malam minggu," bujuknya lagi.
Aku menggeleng. "Nggak ya nggak! Titik."
"Tak rindukah kau padaku, Sas?" Aku memutar kedua bola mataku. Jengah mendengar kata-katanya.
"Irvin Faustin, aku bilang nggak ya nggak!"
Ia tertawa, "Bagaimana malah kubilang aku sudah di depan rumahmu."
Hah, maksudnya?
Refleks kuletakkan gagang telepon ke tempatnya. Berlari ke pintu depan dan membukanya. Aku mendengus sebal mendapati sosok itu tertawa nyengir di depan pintu rumah.
"Hai, Sas!" Sapanya masih dengan cengiran khasnya.
Aku melipat kedua tanganku di dada. Menyembunyikan detak jantung yang berpacu lebih cepat. Hanya dengan memakai kaos putih panjang dan bercelana jeans, gayanya sangat simple namun membuatnya terlihat sempurna.
"Mau ngapain?" kataku masih dengan wajah bertekuk.
"Kalau manyun, jelek loh Sas," Ucapnya dengan kedua tangan mencubit kedua pipiku.
"Apaan sih?" Aku mencoba menepis tangannya. "Sakit Vin,"
Ia melepaskan kedua tangannya, "Makanya jangan manyun aja,"
"Berisik ah," ucapku sambil mengelus- elus kedua pipiku yang habis dicubitnya.
"Ikut yuk ah," ajaknya menarik tanganku.
Refleks kusentakkan tanganku, mencoba melepaskan pegangannya.
"Aku bilang kan nggak mau, Irvin!"
Kulihat ia menepuk jidat, "Oh iya lupa!"
Aku menatapnya bingung, semudah itukah?
"Tunggu sebentar!" Katanya kembali lalu setengah berlari masuk ke dalam rumah.
Aku menghela nafas, apa- apaan sih rumah siapa juga, ah mengapa ia harus datang ke rumah malam ini disaat hatiku sedang tak keruan memikirkannya. Huft, bagaimana melupakanmu jika kamu masih seenaknya hadir di tiap waktuku.
"Yaudah yuk!"
Aku memandangnya tak mengerti,
Lagi- lagi ia menarik tanganku. "Ayo, aku sudah pamit ke tante kok,"
Aku membelalakkan mata, sial jadi tadi dia ke dalam minta izin ke mama.
"Aku kan nggak mau per..,"
"Ikut aja susah sih, Sas!" Perkataannya memotong omonganku dan dengan segera ia menarikku mengikutinya. Aku melupakan fakta bahwa Irvin adalah orang yang tak pernah mau mendengar penolakan.
Aku merutuki dalam hati sikap Irvin malam ini. Sungguh aku kesal, disaat tadi aku menguatkan diri untuk tidak bertemu dengannya dalam beberapa hari ke depan, untuk menata hatiku kembali justru ia malah memaksaku mengikutinya yang entah kemana.
"Sas,"
"Hmmm," aku menjawab sekenanya. Mataku tak beralih padanya. Masih memandang ke samping jendela mobil.
"Marah?"
Udah tahu nanya, batinku menjawab. Namun ternyata tak ada sepatah katapun yang ingin kuucapkan.
"Ngambek mukanya jelek loh, Sas."
Bodo ah, lagi- lagi hanya suara hatiku saja yang menjawab.
"Sas,"
Aku tak bergeming.
"Sashi," panggilnya kembali
Aku masih cuek,
"Sashi Kirana," ucapannya kali ini terdengar keras sambil menggoyangkan bahu sebelah kiriku.
"Apa sih, Sas sas sas?" Ucapku akhirnya.
Ia tertawa, "Nah gitu dong kalau galak gini kan jadi Sashi,"
Aku mencebik kesal, ingin membalas ucapannya. Namun urung. Aku benar- benar sedang tak mood.
"Yuk,"
Aku menoleh dan menatapnya, "Ngapain kesini?"
"Ish bawel deh, ayo turun!"
Aku merutuk kesal, jangan lupa sifatnya yang tak menerima penolakan, Sas.
"Cinta itu apa, Sas?"
Aku terbelalak mendapati pertanyaan Irvin. Saat ini kami sedang berada di cafe favoritnya yang berada di pinggir pantai. Sungguh suasana yang romantis sebenarnya namun tidak dengan perasaanku kali ini. Sejak tadi aku hanya memilih mengaduk- aduk makanan di hadapanku hingga pertanyaan Irvin sontak membuatku kaget.
Aku mengendikkan bahu, "Lah kamu yang mau nikah, tanya aku!" sahutku kesal.
Yah, beberapa minggu lalu Irvin mengatakan akan menikah. Seharusnya sebagai sahabat aku bahagia bukan?
Namun perasaan sakit yang kurasa. Ada bagian yang hilang di hati. Bahkan berhari- hari kemudian, aku mengurung diri dari segala aktivitas. Aku mencoba merenungi apa yang sebenarnya terjadi, hingga akhirnya Gita mengatakan bahwa selama aku mencintai Irvin, namun tak pernah menyadarinya.
Ia terkekeh, "Aku nanya bukannya dijawab tapi balas nanya,"
Aku mengerucutkan bibir, haruskah kukatakan cinta itu menyakitkan? Apalagi ketika kamu mencintai seseorang namun terlambat menyadarinya? Ah, sepertinya lebih baik tak mengenalmu! Terlalu sakit.
"Cinta itu anugerah," akhirnya hanya itu yang terlontar dari bibirku.
"Dan pernikahan harus dilandasi cinta kan, Sas?"
Aku hanya mengangguk pelan. Tak berniat menjawab detail pertanyaannya. Sejujurnya topik ini membuat hatiku semakin sakit.
"Kalau begitu cintai aku, Sas!"
Aku terbelalak mendapati kalimat yang terlontar dari bibir Irvin,
"Ma...maksudmu?"
Kurasakan jemariku digenggamnya, "Aku mencintaimu, Sas!"
"Wait, wait!" otakku bekerja cepat. kulepaskan jemariku cepat, "Nggak usah bercanda, Vin. Kamu mau nikah lo!"
Irvin tertawa, "Iya, tapi sama kamu!"
"Hah! Apaan sih!"
Kulihat Irvin mengambil sesuatu dari saku celananya dan meletakkan di meja tepat di hadapanku. "Ini?"
Ia mengangguk, "Bukalah!"
Dengan perlahan kubuka kotak beludru merah dihadapanku. Sebuah cincin bertengger didalamnya. Cincin ini?
"Vin," kataku pelan. Nyaris berbisik.
"Pernah nggak aku bilang nikahnya sama siapa?"
Aku terdiam sesaat. Baru kusadari aku hanya tahu Irvin akan menikah. Tanpa pernah bertanya menikah dengan siapa, argh...
"Dari sepuluh tahun lalu, aku sudah jatuh cinta padamu, Sas!" ungkapnya lembut, "Dan sudah kuniatkan hanya kamu yang tepat untuk jadi pendampingku,"
Buzzz... kurasakan pipiku memanas. Rona merah pasti sudah tampak, beruntunglah cahaya cafe temaram, kalau tidak...
"So, will u marry me?"
Kali ini air mata tak kuasa membasahi pipiku. Kutatap tepat ke manik matanya. Tak perlu kata karena ia memahami jawabku.
Lampung, 25 Juni 2014
0 komentar:
Posting Komentar