![]() |
gambar diambil dari capslocknet.com |
Dirga!
Black coffee. Kopi hitam
tanpa gula. Entah mengapa aku ingin menyesapnya lagi dan lagi. Rasa pahit yang
mengaliri tenggorokan memberikan efek yang kubutuhkan saat ini. Menenangkan.
Aku pernah mendengar kandungan caffein
pada kopi akan membalikkan semua kerja adenosin,
senyawa yang membuat orang cepat tertidur. Bukan saja tubuh tidak lagi
mengantuk, tetapi muncul perasaan segar, sedikit gembira, mata terbuka lebar,
jantung berdetak lebih kencang, tekanan darah naik, otot-otot berkontraksi dan
hati akan melepas gula ke aliran darah yang akan membentuk energi ekstra.
“Belum
pulang… astaga Na, kopi lagi? Sehari ini lo udah minum berapa gelas sih?”
Aku
mendongak dan menemukan Dirga, rekan sekantorku tengah menggelengkan kepalanya
dari balik kubikelku. Tak lama terdengar ia mendengus gusar.
“Gue harus
bilang berapa kali, itu nggak baik, Na.” Sambungnya yang hanya kubalas dengan
cengiran. Alih-alih mendengarkan peringatannya, aku justru memilih kembali mengalirkan cairan
hitam ini ke dalam perutku.
Pahit!
Tapi
nikmat.
“Stop dong,
Na! Nggak baik buat kesehatan lo. Lo tahu kan bahayanya keseringan minum kopi?”
Kuhela nafas
dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dirga benar, terlalu banyak
mengkonsumsi kopi juga tak baik untuk tubuh. Efek ketagihan yang ditimbulkan
dari kopi memang berbahaya. Selain mengganggu sistem pencernaan, kopi juga dapat
menimbulkan resiko stroke. Tetapi
entahlah, meskipun sudah mengetahuinya aku memilih tak peduli. Bagiku merasakan
pahit yang berasal dari kopi itu menenangkan. Setidaknya kegundahan hatiku
menghilang sejenak saat meminum kopi.
Ah, pelarian yang aneh sebenarnya.
Kuberitahu
satu hal, sejujurnya kopi bukanlah minuman favoritku. Tapi hal itu bukan berarti
aku tak pernah meminumnya ya. Kopi itu bukan minuman asing karena setiap pagi
dan sore, Ibuku di kampung selalu menyuguhkan kopi untuk Bapak. Aku ingat saat
kecil, sesekali aku mencicipi kopi dari cangkir Bapak, dan ketika beranjak
dewasa tak jarang beberapa kali aku pun membuatnya sendiri. Hanya sesekali disaat aku memang
menginginkannya saja.
Namun
akhir-akhir ini berbeda. Aku menjadi penggila kopi. Maniak. Nyaris setiap hari
aku meminumnya. Bisa lebih dari tiga atau empat kali mungkin. Dan kesukaanku
adalah kopi hitam. Tanpa gula ataupun pemanis lainnya.
“Woy, Na!”
Aku
terkesiap. “Lo denger gue ngomong nggak sih?”
“Denger,”
“Bohong!”
sergah Dirga galak. “Lo pasti ngelamun tadi!”
Aku
tersenyum kecut. Dirga memang menyebalkan!
“Ck, gagal
move on!” decaknya yang seketika membuat mataku melotot kesal.
Tapi harus
kuakui jika ucapannya benar. Kebiasaanku minum kopi setiap hari ini berawal
dari kandasnya hubunganku dengan Mahendra. Laki-laki yang nyaris dua tahun ini
menjadi kekasihku. Hubungan kami seharusnya meningkat ke jenjang yang lebih
serius. Pernikahan.
Ya seharusnya seperti itu…
Tapi
nyatanya, pernikahan itu takkan pernah ada. Selamanya takkan pernah terjadi.
Menyedihkan bukan?
“Eh, malah
balik ngelamun lagi nih cewek!”
Aku manyun.
Mendesis gusar pada Dirga. “Eh, bawel! Berisik amat sih lo! Pergi sono!”
Alih-alih
tersinggung dengan ucapanku yang terang-terangan mengusirnya, Dirga justru
tergelak. Ia tertawa sesaat sebelum kembali melemparkan cibirkan padaku.
“Lo tuh ya!
Laki kayak gitu dipikirin. Anak mama, huh! Nggak tegas!”
Aku terdiam
sambil menarik napas panjang. Sejujurnya aku tak bisa menyalahkan sepenuhnya
keputusan Mahendra untuk mengakhiri hubungan kami. Sungguh ia laki-laki yang
baik. Anak berbakti. Patuh pada kemauan Ibunya, yang ternyata telah menyiapkan
calon istri untuk Mahendra. Kupikir pernikahan yang dijodohkan karena latar
belakang keluarga yang sama-sama terpandang dan kaya hanya ada di dunia fiksi,
tapi ternyata aku mengalami sendiri.
Ah, aku dan keluargaku memang tak sepadan
dengan keluarga Mahendra.
“Seharusnya
dia lebih bisa memperjuangkan lo, Na.”
Suara Dirga
kembali terdengar. Aku tersenyum masam. Inilah sebenarnya yang membuatku
terpuruk. Kupikir seharusnya Mahendra memperjuangan cinta kami dulu, walaupun
Ibunya telah menyiapkan calon. Toh, kami sudah berpacaran selama dua tahun.
Sudah saling mengenal karakter dan sikap masing-masing. Sungguh, aku
benar-benar mencintainya.
Tapi
sayangnya, keinginanku sia-sia. Mahendra langsung mengiyakan keinginan Ibunya
tanpa bantahan. Alih-alih memperjuangkanku, Mahendra justru memutuskan hubungan
kami, membuatku merasa sangat kecewa.
Dua tahun yang sia-sia.
Sial! Aku
salah terlalu mempercayainya.
“Woy, Na!
Males deh gue dari tadi lo ngelamun mulu!”
Bibirku
mencebik. Kesadaranku kembali tertarik.
Cukup, Na! Cukup! Seharusnya lo lupain dia, bisikku getir
dalam hati.
Iya, lupakan dia, Na!
“REINA!”
Eh!
Dirga
memutar bola matanya jengah. “Gue kasih tahu ya! Lo mau ngelamun, sedih, terus
minum kopi sampai sakit perut juga tuh kunyuk kagak bakal balikan sama lo. Udah
sih Na, move on dong!”
Aku
berdecak, “Ck, sok tahu sih lo!”
Giliran
Dirga yang memajukan bibir bawahnya. “Tau lah! Lo sih masih terpaku sama dia
aja.”
“Padahal ya,
Na ada loh cowok lebih ganteng dan perhatian serta tanggung jawab. Gue jamin
deh lo bahagia sama dia,” lanjut Dirga lagi.
“Oh ya?” Mendadak firasat aneh
menghampiriku.
“Iya.” Angguk
Dirga. “Lo nggak percaya?”
“Siapa?”
tanyaku makin penasaran.
“Nah lo nggak
lihat nih di depan mata lo!”
Spontan
mataku mendelik. Ternyata firasatku benar. Siapa lagi yang Dirga maksud kalau
bukan dirinya sendiri. Sedetik kemudian aku berdecih.
“Cih, narsis!”
“Loh emang
bener kan?” Seringai Dirga. “Kapan coba gue nyakitin cewek?”
Keningku
mengerut untuk beberapa saat. Sebelum kemudian mendesis. “ Ya iyalah lo nggak
pernah nyakitin cewek, secara lo jones!”
“Jomblo
ngenes. Akut! Parah!” sambungku lagi yang berbuah pelototan Dirga.
“Shit!
Sialan lo, Na!” umpat Dirga. “Nggak usah bilang akut juga bisa kali.” katanya
lagi dengan wajah bersungut-sungut gusar.
Seketika tawaku
pecah. Tawa kebahagiaan karena melihat ekspresi gusar di wajah Dirga. Kami
berdua memang sudah lama berteman akrab, jadi sedikit hina-hinaan itu biasa.
Aku mengenal
Dirga saat pertama kali melamar pekerjaan di perusahaan ini. Dia duduk tepat di
sebelahku saat aku sedang menunggu antrian untuk tes wawancara. Saat itu aku
tegang, mulut tak henti komat kamit merapal doa hingga kemudian Dirga
mengajakku mengobrol. Obrolannya cukup konyol sehingga mampu memancing tawaku.
Tanpa kusadari keteganganku pun berkurang hingga kemudian saat wawancara aku
merasa lebih rileks.
Kupikir saat
itu kami takkan bertemu lagi. Yah, siapa tahu salah satu diantara kami tidak
diterima bekerja kan? Tapi siapa sangka justru aku menemukan wajahnya saat
training hari pertama para karyawan
baru. Ternyata kami berdua sama-sama diterima. So, tak menunggu lama bagiku untuk kemudian menyapanya.
Dari awal
aku sudah menduga jika Dirga merupakan lawan bicara yang asyik dan
menyenangkan. Ia bisa menempatkan dirinya di saat serius atau bercanda.
Sikapnya dan karakternya pun membuatku nyaman membuat kami semakin dekat dan
bersahabat. Sungguh Dirga benar-benar
sahabat yang baik.
“Na,”
“Hmm,”
sahutku malas.
“Gue tanya
deh mau sampai kapan lo kayak gini?”
Aku terdiam
lalu menghembuskan nafas berulang kali. Mencoba mencari jawaban yang tepat
untuk pertanyaan Dirga.
Mau sampai kapan?
Aku sendiri
tak tahu jawabannya.
“Udah deh
lupain si Maman sialan itu! Lo jangan ngerusak diri sendiri deh!”
Sesaat aku
tersenyum geli. Dirga konyol! Bagaimana
nama Mahendra bisa berganti dengan Maman sih?
“Kenapa sih
lo nggak coba buka hati lo buat yang lain? Buat gue misalnya?”
Dahiku
berlipat. Kepalaku sedikit miring. “Maksud lo?”
Dirga
mendesah panjang. Ditatapnya mataku lekat-lekat sebelum kemudian ia berkata,
“Gue sayang lo, Na!”
Aku
ternganga sesaat. Namun sedetik kemudian logikaku mengatakan Dirga sedang
bergurau. Kebiasaannya memang selalu bersikap konyol. Namun baru saja aku
hendak membuka mulut untuk melayangkan protes, suara Dirga kembali terdengar.
“Please, gue
serius, Na!” Kutatap Dirga lekat-lekat. Mencoba mencari kekonyolan yang biasa
tampak di wajahnya. Sayangnya sia-sia. Dirga benar-benar terlihat serius.
“Kalau soal
perasaan gue nggak pernah main-main, Na!
Aku
kehabisan kata-kata.
“Satu aja,
Na. Kasih gue satu kesempatan untuk bikin lo bahagia.”
***
Lampung,
Agustus 2016
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
good post mbak
BalasHapusmakasih pak
HapusHaseeek... Happy ending nih! 👍👍👍
BalasHapus