Ardi terbeliak tak percaya saat mendapati selembar
tiket bus jurusan Pekan Baru berada dalam amplop putih yang berada di genggamannya.
Amplop yang entah dari siapa, karena pagi tadi ia menemukan amplop tersebut
terselip tepat di bawah pintu kamar kostnya.
Dan yang membuat dirinya makin terkejut. Tiket
tersebut atas nama dirinya. Ardiansyah.
Siapa
pengirimnya?
“Nggak kerja, Di?”
Ardi terkesiap. Jamal, penghuni sebelah kost
menyapanya. Lelaki bertubuh tambun itu telah siap dengan gerobak bakso dagangannya.
“Ke…kerja kok,”
“Oh, belum berangkat?” Ardi mengangguk, “Ya sudah, aku
duluan ya!”
Ardi mengangguk kembali, “Ya, hati- hati Mas!”
Sepeninggal Jamal, Ardi dengan cepat menutup pintu
kamarnya. Sekali lagi memastikan kebenaran tiket tersebut. Nama serta tujuan
yang tertera.
Benar. Tak salah, gumamnya dalam hati.
Tapi siapa?
Ardi menghempaskan tubuhnya di kasur segiempat yang sudah
usang. Terlalu tipis dan keras. Sudah tak layak pakai sebenarnya, tetapi ini
saja ia sudah bersyukur karena beberapa penghuni kost lain justru hanya beralas
tikar untuk tidur.
Mata Ardi masih tak lepas dari tiket yang ada di
tangannya. Otaknya terus berpikir mencari tahu siapa malaikat baik hati yang
mengirimkan tiket ini. Namun sejauh ia berpikir selama itu pula ia tak
menemukan orang yang memungkinkan berbaik hati mengirimkan tiket ini.
Lingkungan kehidupan sosialnya sangat sedikit. Teman?
Ia tak benar- benar mempunyai teman sejak tinggal di kota ini lima tahun lalu.
Kota ini mengajarkan kerasnya hidup dan ia harus berhati – hati dengan orang-
orang di sekitarnya.
Tetangga? Jamal? Hadi? Rahmat?
Ardi tersenyum kecut. Ongkos ke Pekan baru terang tidak
murah. Cukup mahal buat orang seperti mereka. Seperti dirinya. Orang- orang
yang berniat mengubah nasib di ibukota namun pada akhirnya nasib tak juga lebih
baik. Justru semakin terpuruk di kota besar.
Bosnya?
Makin mustahil.
Laki- laki itu
tak mungkin menghamburkan uangnya untuk membelikannya tiket pulang. Pinjam saja
sulit , apalagi memberi cuma- cuma.
Jadi siapa?
***
Tiga hari berlalu sudah. Ardi masih dilanda
kebingungan dengan keberadaan tiket tersebut. Ia masih belum memutuskan. Tiket
tersebut memang bagai durian runtuh baginya. Rezeki tak diduga. Tetapi
kegamangan siapa pemberinya membuatnya sangsi.
Ia ragu.
“Minum, Di?”
Ardi menggeleng. “Saya puasa, Pak!” katanya memberi
alasan. Pak Siwo, lelaki yang menawarkannya minum terkekeh, “Masih kuat to kowe,
Di?”
Ardi tersenyum lalu mengangguk, “Alhamdulillah, Pak!”
Pak Siwo manggut- manggut, “Hebat kamu! Aku malah
sudah lupa rasanya puasa.”
Ardi mengernyit. Ia bingung dengan ucapan Pak Siwo,
laki- laki yang baya yang juga merupakan rekan kerjanya. Sesama kuli bangunan.
“Dulu waktu di kampung, aku juga rajin puasa. Rajin
shalat. Rajin ngaji. “
Sesaat hening.
Ardi memilih diam, ia menunggu Pak Siwo melanjutkan ceritanya. “Tapi
dulu. Sebelum aku pindah ke Jakarta. “
“Di Jakarta semua serba sulit. Aku harus bekerja lebih
keras. Kerja, kerja dan kerja. Lupa shalat apalagi seringnya ketemu bos yang
tak mengizinkan shalat. Wislah lama lama jadi nggak shalat sekalian.”
“Lagian buat apa? Hidupku yo nggak berubah. Masih aja
susah. “
Ardi terkejut seketika. Ia tak menyangka kalimat
terakhir Pak Siwo. Laki- laki ini kecewa dengan hidupnya. Membuatnya menjauh
dari tanggung jawabnya sebagai manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang wajib
menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
“Tapi, Pa…,”
“Wis Di, aku ora butuh ceramah.” Potong Pak Siwo
cepat, “Sudah banyak yang ngomong, banyak yang ceramah tapi lihat hidupku masih
begini- begini aja.”
Ardi menelan ludahnya susah payah. Berhadapan dengan
orang yang pesimis dalam hidup memang sulit. Ia juga tak bisa menyalahkan.
Kehidupannya sendiri juga sama sulitnya. Jauh- jauh merantau guna mendapat
kehidupan yang layak, membantu kehidupan ekonomi orang tuanya di kampung
nyatanya ia malah tersungkur di kota besar.
Kuli bangunan.
Argh, ibu bisa pingsan jika tahu!
“Kalau gitu saya hanya bisa doakan bapak supaya
tercapai cita- citanya.” Pak Siwo tertawa kecil meski tak urung kepalanya
mengangguk. Namun tak lama menggeleng berulang kali.
“Aku cuma pengen pulang kampung, Di!”
***
Ardi menatap heran pada Jamal, laki- laki tambun itu
kini berdiri di depan pintu kamarnya. Sebuah tas besar diletakkan tepat di
sebelahnya.
“Aku pamit yo, Di!”
“Loh mau kemana, Mas?” Ardi tak dapat menyembunyikan
keingintahuannya.
“Mudik. Aku dapet mudik gratis.” Ardi mengernyit
heran. Ia tahu bagaimana Jamal sama sepertinya. Tak bisa mudik karena kesulitan
ongkos.
“Itu lo kecap
yang aku pakai ngadain mudik gratis, yo aku ndaftar.”
Mulut Ardi membulat. Kepalanya mengangguk- angguk. “Hati-
hati ya Mas kalau gitu. Semoga selamat sampai tujuan.”
Jamal tersenyum tipis. “Yo. Makasih. Sekalian aku
minta maaf kalau selama ini banyak salah. Abis lebaran aku nggak balik lagi
kesini.”
Ardi tertegun, “Loh kok?”
“Mumpung ada yang gratisin pulang kampung, Di. Aku mau
di kampung aja. Usaha di sana. Deket orang tua. Keluarga. Makanya aku minta maaf kalau selama ini ada
salah. Bikin kamu nggak nyaman,”
“Iya, Mas. Sama- sama. Aku juga minta maaf.”
Jamal mengangguk. “Ya sudah aku permisi kalau gitu. Baik-
baik kamu! Kalau ada kesempatan pulang mending pulang aja. Di Kampung lebih
baik untuk orang kayak kita- kita ini.”
Ardi hanya bisa tersenyum mendengar seloroh Jamal.
Meski tak dapat dipungkiri kebenarannya. Orang- orang seperti dirinya. Orang-
orang yang tidak memiliki bekal ijazah tinggi, tak punya kemampuan lebih. Biasa
saja atau malah terpinggirkan.
Kalau ada kesempatan pulang mending pulang saja!
Aku Cuma pengen pulang kampung, Di!
Tiba- tiba benak Ardi terbayang ucapan Akmal serta Pak
Siwo tadi siang. Ia teringat tiket bis yang masih belum diketahui pengirimnya.
Kalau ada kesempatan pulang …
Ardi menarik amplop putih yang berada di bawah
bantalnya. Sesaat ia menimbang- nimbang amplop tersebut. Pikirannya terus
bekerja.
Inikah kesempatan?
***
“Bagaimana?”
“Sudah saya kerjakan, Bu. Tiket sudah ada padanya. Tapi
saya tidak tahu apakah dia mau menggunakannya atau tidak.”
“Tapi dia pasti pulang kan?”
“Saya tidak bisa menjamin, Bu. Tapi saya yakin dia
pasti berfikir hal itu sekarang.”
“Baiklah. Terima kasih kalau begitu.”
“Sama- sama, Bu.”
Wanita tua itu menghela nafas berat sesaat setelah
mematikan saluran telepon. Dihembuskannya nafasnya perlahan, sudah tepatkah
sikapnya.
“Ibu kenapa harus main sembunyi- sembunyi sih kalau
ngasih tiket sama Bang Ardi.”
Wanita baya itu menoleh. Ia tersenyum tipis lalu
menghampiri seorang gadis belia yang duduk di kursi kayu panjang. “Ibu menjaga
perasaan abangmu,”
“Abangmu selama ini saja menutupi kesulitan dirinya di
sana. Itu berarti ia tak ingin merepotkan kita. Merepotkan ibu. “
“Selama ini ia bekerja keras untuk membantu keluarga,
bahkan ia tak mempedulikan dirinya sendiri. Ibu ingin dia kembali. Lebih baik
disini. Di dekat kita.”
Gadis muda itu mengangguk. “Kita berdoa ya, Bu semoga
bang Ardi digerakkan hatinya untuk pulang.”
Wanita tua itu mengangguk. Semoga!
-END-
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR BATIN YA…..
Good post
BalasHapusthanks pak
Hapusmohon maaf lahir dan batin yang mbak
BalasHapussama- sama ibu, maaf lahir batin jugaa
HapusAduh.. Mudah-mudahan ia pulang.
BalasHapushehehe, mudik kok mbak
Hapus