Senin, 03 Agustus 2015

ELROY (8)


Bab VIII


Sebelumnya Disini


Elroy mengumpat kasar saat matanya menemukan sebuah Audy hitam terparkir di halaman kostnya. Segera dihentikan motornya. Ia mendengus gusar. Tak butuh lama baginya untuk mengetahui siapa pemilik mobil itu. Sekilas melihat plat yang tertera di bagian belakang mobil, dia sudah yakin seratus persen bahwa pemilik mobil itu mencarinya.

Elroy terdiam sejenak. Matanya menyipit. Mencoba melihat ke balik kaca gelap. Jarak dirinya yang masih berada di atas motor dengan jarak mobil memang tidak terlalu jauh. Bahkan Elroy merasa jika orang yang berada di dalam mobil berbalik atau melihat kaca spion, ia pasti sangat terlihat.


Namun sepertinya tidak.

Tak ada tanda- tanda kehidupan di dalam mobil. Sepi. Elroy mencibir, berarti dia ada di kostan gue.

Cih, buat apa kemari? Ngapain?

Gue nggak butuh!

Sejak kapan dia peduli gue?

Elroy masih belum beranjak dari tempatnya. Sungguh ia tak ingin menemui orang itu tetapi ia juga sebenarnya tak sabar untuk merebahkan tubuhnya di kasur.

Argghhh, erangnya frustasi.

Ck, Elroy berdecak dalam hati. Ini pasti gara- gara skadal kemarin!

“SH*T!” Umpat Elroy untuk kesekian kali. Ia pun memilih menghidupkan kembali motornya. Memutar balik kendaraan tersebut.

Lo yang udah ngusir gue, jadi buat apa kita ketemu!

***

Entah sudah berapa lama wanita itu belum beranjak dari tepi kolam renang rumahnya. Pandangannya menerawang. Kosong. Tertekan. Entah seberat apa masalah yang menggelayutinya hingga tanpa disadari sudah tercipta genangan air mata di pipi putihnya.


Dan ia terisak.


Dari sudut yang berbeda. Tepat di tangga di dalam rumah itu. Sosok remaja laki- laki berdiri mengamati wanita itu. Meski hari sudah malam, ia tahu wanita itu menangis. Telinganya masih mampu mendengar isakan itu.


Perlahan ia melangkah. Menyeberangi ruang tengah, membuka pintu kaca yang menghubungkan ruangan ke kolam renang. Sedikit ragu, tetapi dibulatkan tekadnya.


Jika papi sudah tidak lagi dapat menjaga mami, aku yang akan menjaganya!


“Mam,”


Wanita itu terkejut. Ia tersentak kaget dan dengan spontan tangannya menghapus air mata yang sudah jatuh di pipi. “E…El!” Ia mencoba tersenyum. Senyum yang terlihat dipaksakan. “Kenapa belum tidur?”


Bocah itu. Elroy menggeleng. “Belum ngantuk. Nah, Mami ngapain disini?”


“Ma…mami, eh mami lagi lihat…,” Wanita itu sedikit gugup. “Bintang, ya lihat bintang.” Katanya dengan menengadahkan kepalanya ke atas. Beruntung memang ada bintang di langit malam itu.


Mata Elroy menyipit. Dia tahu ibunya berbohong. Sisa air mata masih bisa Elroy lihat. Elroy pun menghela nafas berat. Tiba- tiba hatinya diliputi amarah yang menggelegak. Ingatan kejadian siang tadi di kantor ayahnya membuatnya yakin jika hal ini juga menjadi alasan kesedihan ibunya.


Mami pasti sudah tahu, gumamnya dalam hati.


Sepanjang empat belas tahun hidupnya, Elroy merasa keluarganya adalah keluarga yang sempurna. Meski ayahnya seorang pengusaha yang cukup sibuk tetapi laki- laki itu selalu meluangkan waktu untuk keluarga. Hampir setiap weekend mereka menghabiskan waktu bersama. Bagi Elroy, papi adalah ayah yang terhebat. Sedangkan mami baginya adalah sosok yang sempurna. Walalupun seorang artis dan cukup dikenal publik, mami masih dapat membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Bahkan ia ingat saat masih kecil, mami tak luput membawanya dan kakaknya di lokasi syuting agar kedua anaknya masih dalam pengawasan. Mami juga selalu menolak tawaran pekerjaan di akhir pekan.


Weekend khusus buat keluarga. Tetapi sekarang?


Beberapa bulan ini Elroy merasakan aura ketegangan diantara ayah dan ibunya. Beberapa kali acara weekend batal terlaksana. Kesibukan keduanya selalu menjadi alasan. Awalnya ia tak curiga, namun kejadian siang tadi membuatnya tersadar. Keluarganya tak sesempurna yang ia pikir. Ayahnya bukan lagi ayah terhebat.


Sebagian hatinya merutuk mengapa tadi siang ia pergi ke kantor ayahnya. Namun sebagian lagi bersyukur karena sekarang ia tahu keboborokan moral ayahnya. Pria beristri yang mencium wanita lain. Walaupun dia masih SMP, tapi dia tahu yang dilakukan ayahnya bukan ciuman biasa. Apalagi matanya juga menemukan baju ayah dan wanita itu berantakan.


“El, El!” El tersentak dari lamunan. Mami menatapnya bingung. “Ada apa?”


Mami merangkulnya, “Ada yang mau kamu ceritakan, boy?”


Elroy menghirup nafas dalam- dalam. Sesaat Kepalanya menggeleng. “El malah yang mau tanya mami kenapa disini? Mami ada masalah?”


Wanita itu tersenyum lalu menggeleng lemah. Elroy mendengus karena dia yakin mami sudah tahu namun ditutupinya. “Nggak, mami nggak kenapa- napa.”


“Beneran?”


Elroy bisa apa ketika mami mengangguk kembali. Mami mungkin berfikir dia tak mengetahui apapun. Menjaga perasaannya sebagai anak. Dan ia pun tak bisa memaksa mami untuk bercerita.


“Aku sayang mami,”


Sebelah alis mami terangkat. Ia sedikit heran namun tak lama senyum mengembang di bibirnya. “Mami juga sayang, El!”


I hate you, Pap!


***


Elroy mengumpat kasar saat melihat angka yang tertera pada mesin ATM di depannya. Ia mendengus gusar.

Anya ngambek.

Anya marah.

Dan gue bakal kelaparan.

Selepas kuliah, Elroy berniat mengambil jatah saku bulanannya. Seperti biasa, kakaknya akan mentransfer uang kebutuhan hidupnya setiap awal bulan. Selalu begitu semenjak ia memutuskan keluar rumah. Anya takkan pernah tega membiarkan adiknya menggelandang di jalanan, maka sebisa mungkin ia selalu memenuhi kebutuhan adiknya.

Tetapi tidak hari ini?

Ada yang aneh. Anya tak pernah terlambat mengirim. Kemana Anya?

Gegas Elroy meraih ponsel di sakunya. Mencari kontak nama kakaknya lalu menghubunginya.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat kembali.

SIAL!

Kemana dia?

Apa ada sesuatu yang terjadi dengannya?

Pikiran Elroy berkecamuk. Anya tak pernah sekalipun mematikan ponselnya. Gadis itu bahkan tak bisa jauh dari smartphone. Anya pernah bilang jika lebih baik ketinggalan uang daripada ketinggalan handphone. Terang saja hal itu bersambut cibiran Elroy.

“Emang lo mau makan tuh hp!”

Anya tergelak, “Ya nggak gitu juga, El. Meski nggak punya uang tapi kalau dengan hp gue bisa hubungin orang beliin gw makan.”

“Kalau hp lo ada pulsa, kalo nggak. Lagian beli pulsa pake duit juga kan?”

“Kan bisa online banking?”

“Online banking? Bank? Duit juga kan?”

Anya manyun. Elroy terbahak. Kakaknya itu memang sudah kecanduan gadget. Sebenarnya masalah utama Anya adalah tidak bisa eksis di social media.

Dan sekarang dia tak bisa dihubungi. Arrrgghhh….

Siapa, siapa, siapa?

Benak Elroy menimbang- nimbang nama orang- orang terdekat Anya. Teman- temannya atau sahabat atau juga…

Elroy tersenyum lebar saat kepalanya mengingat nama Siwan. Lelaki yang bekerja sebagai asisten kakaknya. Sarwanto, nama aslinya. Tetapi ia termasuk fans berat boyband ZE:A Asal korea. Dan salah satu membernya bernama Siwan, menurutnya sangat cakep. Membuatnya mengikuti nama itu.

“Kan nggak jauh- jauh Sarwan sama Siwan,” Katanya dengan suara kemayu yang dibuat- buat.

Dan Elroy hanya bisa bergidik mendengarnya.

Anyoung haseyo,”

Elroy memutar bola mata jengah. Sapaan bahasa korea di seberang telepon. Benar- benar penggila K-Pop. “Anya dimana?” Potong Elroy cepat.

“Maaf, Ini dengan siapa ya?” Suara mendayu- dayu itu semakin membuat Elroy kesal.

“Gue El! Buruan kasih tahu dimana Anya? Nomornya nggak bisa dihubungi sama sekali.”

“AW, Mas ganteng ternyata” Sebuah pekikan terdengar di seberang. Elroy merasa mualnya semakin menjadi. “Apakabar mas ganteng, udah lama ya kita nggak ketemu. Siwan kangen deh, Mas!”

Elroy menggeram kesal. “BURUAN KASIH TAHU DIMANA KAKAK GUE?”

“Aduh, Mas jangan marah- mara…,”

“KASIH TAHU SEKARANG KALAU LO MASIH MAU HIDUP!”

“Iya..iya, Mas. Galak amat, ihhh!” Elroy menyeringai mendengar nada ketakutan di seberang. Sedikit ancaman berhasil juga membungkam laki- laki kemayu itu.

“Gara- gara skandal itu Mbak Anya dikejar- kejar wartawan, Mas. Dia pusing dan memutuskan liburan.”

“Kemana?” Mata Elroy menyipit mendengar kata liburan Anya. Dan ia menggeram kesal mendengar kata skandal.

“Mbak Anya nggak bilang, cuma waktu itu minta pesenin tiket ke New Zealand.”

“Sampai kapan?”

“Nggak bilang.”

Untuk kesekian kalinya Elroy mengumpat. Anya kabur. Nasib gue kelaparan.

Semua gara- gara mereka.

Aarrrgggghhhhhhh……

-tbc-

Selanjutnya Disini



Lampung, Agustus 2015

1 komentar: