Bab XII
Sebelumnya Disini
Mata Anya melebar tak percaya mendapati sosok pria baya didepannya. Sejenak ia mengerjap- ngerjapkan berulang kali. Menyakinkan diri pandangannya tak salah. Ini benar- benar nyata.
Papi, gumamnya pelan. Nyaris berbisik.
Kok disini?
Laki- laki itu terkekeh sembari menggeleng kepala. Dia tahu kalau kedatangannya akan mengejutkan putrinya. Tetapi mau bagaimana lagi.
“Do you miss me, Dear!”
Bibir Anya mengerucut. Tak lama ia menghembuskan nafas gusar, “Papi kok bisa tahu aku di sini sih?”
“Kamu lupa papi kamu siapa?” Seketika Anya menepuk dahinya. Ia melupakan fakta memiliki ayah seorang Hector Alderhad, lelaki pengusaha sukses dengan sedikit darah aristokrat yang mengalir. Apapun bisa dilakukan lelaki itu dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Dan menemukan keberadaannya tentu bukan hal sulit.
“Jadi bisa kasih tahu papi kenapa sampai sini?” Laki- laki itu sudah menghempaskan tubuhnya di sofa putih panjang yang ada di ruangan. Melihat ayahnya duduk, Anya pun bergerak mengikuti. Mengambil tempat tepat disebelahnya.
“Bosan dikejar- kejar wartawan.”
Sebelah alis Hector terangkat. Ia sangsi dengan jawaban anaknya. “Hanya itu?”
Anya mengangguk. “Iya lah apa lagi!” Ia menghela nafas berat, “Pusing aku, Pap dengan skandal mami sama papi itu!” Hector bungkam. Ia memilih diam mendengarkan kata- kata yang diucapkan Anya.
“Sebenarnya mami papi itu maunya gimana sih? Kalau emang udah nggak cinta, kenapa nggak pisah aja sih? Cerai lebih baik daripada kayak gini. Keluarga apaan sih, Pap kita. Papi kemana, mami kemana. Kalian itu egois banget ya? Nggak mikirin anak- anaknya.”
“Mau sampai kapan sih, Pap? Mau sampai kapan begini?” Lanjut Anya kembali dengan tubuh disandarkan ke punggung sofa. Pandangannya mengarah ke atas. Menerawang menatap langit- langit ruangan.
Lelah?
“Aku sama El udah bukan anak- anak lagi, Pap. Jadi kami juga bisa menerima kalau kalian berpisah.”
Anya tak henti berbicara. Mengeluarkan segala unek- unek yang disimpannya selama ini. Kesempatan langka, pikirnya. Ya kapan lagi ia bisa berbincang seperti ini dengan ayahnya sendiri. Sejak kekacauan di keluarga terjadi beberapa tahun lalu, papi menjelma menjadi manusia paling sibuk di dunia. Tak pernah meluangkan waktu barang sejenak untuk dirinya. Padahal waktu kecil keduanya sangat dekat. Ia sering menghabiskan waktu berjam- jam bercengkerama dengan papi. Bercerita tentang banyak hal yang dilakukannya di sekolah, atau mengadu karena kenakalan teman laki- lakinya. Dan itu menyenangkan.
Tetapi kini semua berbeda.
Sesaat hening. Anya larut dalam pikirannya. Benaknya menerawang kembali ke masa kecilnya. Masa dimana kehidupan keluarga yang sangat harmonis dan menyenangkan.
“Bersiap- siaplah!” Anya terhenyak. Matanya memicing menatap ayahnya.
“Siap- siap?”
Laki- laki itu mengangguk. Ia beranjak berdiri dari sofa yang didudukinya. “Kita pulang!”
Kedua alis Anya bertaut. Ia heran. Sedari tadi ia berbicara hanya itu tanggapan yang didapat ayahnya. Ck, menyebalkan!
Anya menggeleng. Dia masih enggan pulang.
“Pulang.”
Singkat dan jelas tetapi Anya tahu tidak ada penolakan. Ia mendesah. Sebenarnya ada apa sih ini?
***
“Nih!” Sebuah botol air mineral terulur ke dirinya. Elroy mendongak dan detik selanjutnya ia mendengus gusar.
“Ngapain sih lo bawa gue kesini?”
Gendis tersenyum lalu mendudukkan dirinya di kursi panjang yang telah ditempati Elroy, masih dengan menyodorkan botol air mineral tersebut. “Protes aja sih lo! Nih minum dulu!”
Elroy berdecak namun tangannya tetap meraih botol minum yang diberikan Gendis. Tak dipungkiri haus memang sudah menyerangnya. “Thanks.”
“Tumben.” Cibir Gendis yang dibalas lirikan tajam Elroy.
Ck, Bawel!
“Gue udah lama aja nggak kesini. Terakhir kesini waktu gue masih SD kayaknya. Iya bukan ya? Tapi emang udah lama banget. Padahal tempat ini kan asyik. Seru. Bisa puas- puasin teriak, tinggal lo pilih mau main wahana apa. “
Sejenak Elroy menoleh, mengamati Gendis yang asyik berceloteh. Benaknya mempertanyakan apa maksud gadis ini membawanya ke tempat ini. Salah satu tempat rekreasi yang menawarkan banyak wahana permainan. Sejak kedatangan mereka tadi, Gendis terus menariknya untuk mengikuti gadis itu. Mencoba semua wahana permainan, khusus yang ekstrem malah. Dan sedikit yang membuat Elroy takjub, meski raut wajahnya terlihat takut tapi gadis itu tak ragu mencoba.
Menarik!
“Thank you ya, El!”
Elroy mengernyit. “Untuk?”
“Nemenin gue.”
Elroy mencibir. “Seingat gue tadi gue dipaksa suruh ngikutin cewek bawel deh!”
Gendis tergelak, “Bawel, aneh, nyebelin. Banyak banget panggilan lo ke gue?”
“Emang kayak gitu kenyataannya.”
Bibir Gendis mengerucut, “Dimana- mana cewek itu dirayu sama cowok bukan dihina dina gini, El!”
Tanpa sadar Elroy tertawa kecil mendengar gerutuan Gendis, apalagi dengan mimic wajah sebalnya. Gendis sendiri sempat tertegun. Selama mengenal Elroy baru kali ini ia melihat tawa pemuda itu. Elroy yang dia kenal dingin, datar dan angkuh. Tidak pernah senyum, right?
Tapi sekarang?
“Lo cakep deh El kalo ketawa!”
Sedetik kemudian tubuh Elroy menegang. Ia kembali dengan wajah datarnya. Lalu membuang muka.
Sepertinya ada yang salah disini.
-tbc-
Selanjutnya Disini
Lampung, Agustus 2015
Ps. 2 part hari ini sebagai bayar utang hari minggu yang nggak terbit. Hehehe… thankslah.
0 komentar:
Posting Komentar