Minggu, 09 Agustus 2015

ELROY (9)

Bab IX

Sebelumnya Disini



“Bagaimana?”


Laki- laki muda yang berdiri di depannya menggeleng perlahan. “Belum ada perubahan.”


Ck, dia berdecak dalam hati, “Argh, apa saja yang kau lakukan?” Geramnya, “Kenapa hal seperti itu tidak dapat kau selesaikan.”

Pemuda itu menunduk, “Ma…maaf, Bos. Media semakin gen..car kare..na nona Anya.”



Ia mengernyit. “Anya?”


“Non Anya tiba- tiba menghilang. Ia memutuskan semua kontrak secara sepihak. Hal itu semakin menguatkan berita sebelumnya.”


Anya menghilang. Dipejamkan matanya sesaat. “Anak bodoh.” Gumamnya.


“Bagaimana dengan El?”


“Masih seperti biasa. Tuan muda tak pernah terpengaruh dengan berita apapun di luar.”


Dia manggut- manggut. “Bagus! Sekarang cari Anya. Pastikan keberadaannya dan terus awasi El.”


Jangan ada yang mengusik keduanya.


***

Elroy mendongak saat sebuah botol mineral terulur kepadanya. Detik kemudian ia mendesah saat menemukan sosok itu.


Sosok yang dihindarinya.


Elroy melengos. Diabaikannya botol mineral itu. Ia benar- benar sedang tak ingin berurusan dengan siapapun.


“Lo beneran nggak haus setelah berjam- jam duduk disini?”


Elroy mengernyit. Seketika ia menoleh. Sosok yang menghampirinya telah menghempaskan tubuhnya di sampingnya. “Lo ngikutin gue?”


“Sebenarnya sih nggak. Cuma nggak sengaja.”


“Nggak sengaja.”


“Gue tadi lewat aja.”


“Terus nungguin gue gitu?” Tanya Elroy tak sabar.


“Ck, nggak usah GR lo! Gue nggak sebaik itu juga mau nungguin lo.”


“JADI?”


“Urusan gue kelar. Gue lewat sini mau balik ternyata lo masih ada.”


Elroy mencibir. Ia sangsi dengan ucapan itu. “Nggak usah bohong lo?”


“Ngapain juga gue bohong.”


Sejenak hening. Diantara keduanya memilih bungkam. Elroy memilih mengabaikan sosok di sebelahnya. Menimbang- nimbang kapan Anya kembali. Dia sudah merasa kesulitan keuangan. Entah bagaimana nasibnya jika Anya tak kembali.


“Ikut gue!”


Elroy mendengus. Tak menjawab.


“Ayo!”


Mata Elroy menyipit. “Kemana? Males gue.”


“Udah ikut aja!”


Meski enggan, Elroy tetap bangkit. Entah mengapa hati kecilnya mengatakan tak ada salahnya mengikuti Bastian. Ya Bastian, entah bagaimana caranya laki- laki itu menemukannya. Padahal hampir tiga hari ini ia menghilang, bolos kuliah, tak kembali ke kosan dan lebih memilih menggelandang di jalanan. Dan setelah bertemu, Bastian tak menanyakan apa- apa. Laki- laki itu bahkan berbohong. Elroy yakin, Bastian pasti sudah menunggunya sejak dirinya ditemukan. Tak mungkin ia sekali lewat saja.


Ck, kenapa dia berbohong?


***


Mata Elroy memanas. Ia nyaris menangis jika tak ingat kalau ia seorang laki- laki. Laki- laki itu tidak boleh cengeng. Pantang menangis di depan orang. Jadi laki- laki itu harus kuat.


“Jadi El nggak boleh nangis ya, Pap!”


“Nggak. El anak kuat. El anak hebat. El laki- laki. Anak laki- laki pantang menangis.”
Ingatan percakapan dengan ayahnya terpatri kuat di benak Elroy. Membuat ia menahan mati- matian sesak dan kesakitannya selama ini. Tak sekalipun ia pernah mengeluarkan air matanya. Apapun yang terjadi. Padahal tak ada yang salah ketika laki- laki menangis. Bukan cengeng. Hanya sekedar meluapkan emosi yang menyesakkan dada.


“El, ayo nambah lagi!”


Elroy tersentak. Cepat- cepat ia menarik nafas dan mengerjapkan kedua matanya. “Kalau makan itu yang banyak biar sehat. Biar tambah cakep. Biar nanti banyak cewek yang naksir.”


“Mama curang nih, aku kok nggak dibilang gitu. Aku kan juga mau banyak cewek yang naksir.”


“Loh bukannya pacarnya bang Bastian banyak yah?”


“Ssstt, anak kecil nggak boleh ngomongin pacaran. Masih bocah juga.”


“Ah, Aku udah gede, Bang. Bukan bocah lagi. Mama ih abang nyebelin tuh!”


“Heh, ini kakak adik ribut mulu. Malu ah. Bastian kamu udah tua juga ngangguin adiknya aja! Maaf ya El pada berisik.”


Elroy mengangguk pelan. Ia menatap perempuan baya yang merupakan ibu Bastian. Wanita yang mungkin hanya beda beberapa tahun dengan usia ibunya. Wanita yang bersemangat dan menyenangkan. Sejak tadi Bastian membawanya kemari, wanita itu menyambutnya dengan hangat. Memperlakukan dirinya sama dengan anaknya sendiri. Tak berbeda. Membuat hati Elroy menghangat dan ia terharu dibuatnya.


Bahkan lelaki pecundang kayak gue ada yang mau menerima.Entah apa yang ada di benak Bastian saat membawa dirinya ke rumah. Sejujurnya Elroy tak menyangka. Selama ini meski Bastian di dekatnya, ia tak mau bersusah payah mengenal keluarga mereka. Tidak penting, menurutnya. Namun kini bersama keluarga Bastian justru ia merasakan kehangatan sebuah keluarga yang sudah lama tak dirasakannya.


“El!”


Lagi- lagi Elrot terkesiap. Ia terlalu banyak melamun. “Ayo ditambah lagi makannya,” Ujar wanita itu sembari mengangkat sepotong ayam lalu memindahkannya ke piring Elroy.


“Cuk..cukup Tante,” Protes Elroy. Ia benar- benar sudah kenyang.


“Ayo dihabiskan, El. Badan kamu kurus gitu. Makanlah yang baik.”


Elroy merasakan tepukan di bahunya. Ia menoleh dan menemukan raut wajah jahil Bastian. “Kalau mama bilang habisin ya habisin, El. Disini dilarang menyisakan makanan.“ Ujarnya sembari tersenyum simpul.


“Nggak Cuma El, Bas. Kamu juga. Oh tidak kalian bertiga tepatnya. Papa bilang malam ini lembur. Jadi kalian harus menghabiskan makanan ini semua. “


Hah. Elroy terbelalak kaget. Apa katanya? Menghabiskan semua makanan?Masakan ibu Bastian memang enak. Sangat enak dan Elroy menyukainya. Tetapi menghabiskan semua disaat perut sudah terasa kenyang sepertinya sulit.


Elroy lagi- lagi menoleh dan mendapati Bastian yang hanya menganggukkan kepalanya. “Ayolah!” katanya sembari tersenyum jahil. “Kubilang apa? Mama tak suka kita menyisakan makanan.”


Dan Elroy memang tak bisa menolak.

-tbc-

Lampung, Agustus 2015














1 komentar: