Bab XIII
Sebelumnya Disini
“Ayo cepat masuk, El!” Anya menarik tangan Elroy. Menariknya untuk masuk pintu depan rumah mereka. Keengganan jelas dirasakan Elroy.
PERGI SANA! PERGI YANG JAUH!
Elroy tersenyum kecut mengingatnya. Langkahnya nyaris terhenti kalau saja Anya tak menarik lengannya. Sekilas matanya mengamati sekeliling ruang tamu yang terlewati. Segalanya belum berubah. Masih sama. Seperangkat sofa berwarna kuning emas masih tertata apik di tempatnya, bahkan foto keluarga yang entah diambil tahun berapa masih tergantung di dinding ruang tamu.
Ck, keluarga bahagia. Huh!
"Welcome home," Bisik Anya sembari mengangkat dagunya dan tersenyum simpul.
Elroy terkejut seketika saat matanya menemukan ayah dan ibunya tengah duduk tenang di meja makan. Keduanya mengangkat wajah mereka saat menyadari kehadirannya dan Anya. Tersenyum sumringah. Terutama ayahnya yang bahkan berdiri dari kursi lalu menghampiri Elroy untuk penyambutan. Dipeluknya Elroy.
Tubuh Elroy pun membeku.
“My baby boy pulang juga,” Hector terkekeh. Lalu perlahan menepuk punggung Elroy hangat. Sekilas benak Elroy memutar kenangan tentang sosok hangat ayahnya saat kecil. Ayah kebanggaannya…
“El bukan bayi lagi, Pap!” Sergah Elroy sesaat kemudian.
“Hahaha…,” Laki- laki itu terbahak. Dia menggiring Elroy menuju meja makan. Duduk di kursi tepat di sebelah ibunya. Anya sendiri sudah mengambil tempat di seberang ibunya. Senyum tak lepas dari wajah laki- laki baya itu. Dia terlihat sangat…
Ehm.. bahagia?
Pandangan Elroy beralih ke ibunya. Mami hanya tersenyum tipis lalu mengusap bahu Elroy. Elroy mengernyit, mengapa ia merasa ibunya terlihat memaksakan diri.
“Jadi… bagaimana kuliahmu, El?” Papi membuka percakapan. Elroy menatap lelaki itu, postur dan wajahnya yang sangat mirip membuat Elroy bergidik. Wajah itu kelak wajahnya di masa depan.
Minus perilakunya!
“Baik,” jawab Elroy singkat. Ia tidak ingin membahas tentang kuliahnya. Toh, sejak kapan pula papi peduli dengan dirinya?
“Kudengar kamu sering bolos…,” Ucapan Hector terhenti sejenak, ia tersenyum lebar. “Tapi nilaimu selalu terbaik. Kamu memang nggak pernah ngecewain papi, Nak.”
Sebelah alis Elroy terangkat. Papi mengawasinya?
Dan tunggu apa katanya tadi,
Nggak pernah ngecewain!
Iya. Papi yang ngecewain El! “Papi ngawasin El?”
Hector tersenyum lebar tetapi Elroy sudah mengetahui faktanya. Jadi meskipun dia tak tinggal di rumah, papi ternyata masih mengawasi dirinya.
Ck, maunya apa sih mereka?
“Ngomong- ngomong ini dalam rangka apa?” Tanya Elroy penuh selidik.
“Kami hanya ingin makan bersama anak- anak kami.”
“Kami?”
“Ya. Papi dan mami. Ada yang salah?”
Salah! Salah banget!
Elroy memilih menatap ayah dan ibunya bergantian. Laki- laki itu, laki- laki yang dipanggil papi duduk tenang di kursinya dengan sorot lembut dan senyum tak lekang dari wajahnya. Sedangkan mami memilih menutup mulutnya rapat- rapat. Diam dan tak sekalipun berkomentar.
“Kembalikah ke rumah ini, El!” Hector menarik nafas dalam. Ia mendesah pasrah, “Papi cuma mau kamu pulang. Papi nggak mau menelantarkan kamu lagi, Nak. Papi dan mami takkan bertengkar lagi.”
Seketika Elroy berpaling menatap ibunya. Wanita itu hanya mengangguk samar.
Sangsi.
“Kita bersatu lagi, El!” Kini Anya buka suara. Binar kebahagiaan terlihat jelas di mata Anya membuat Elroy dilanda keheranan. Ia pun melepaskan pandangan ke seluruh orang di meja makan secara bergantian. Ketiganya memang tengah memfokuskan perhatian ke dirinya, hanya dia karena memang sepertinya tinggal menunggu keputusan dirinya. Sulit, sangat sulit dipercaya. Pikirannya melalang ke masa beberapa tahun terakhir, dimana setiap hari rumah dilanda perang dunia ketiga. Benar- benar neraka!
Dan sekarang.
“Sebenarnya ada apa ini?” Tanya Elroy lirih. Kepalanya pusing. Ini keinginannya selama ini. Mimpi- mimpinya. Semuanya kembali normal. Kehidupan keluarga yang bahagia.
“Nggak ada apa- apa, El. Tapi inilah keluarga sebenarnya,”
Degupan jantung Elroy terengah. Matanya memicing menatap Anya yang kini menganggukkan kepalanya seakan berkata semuanya kembali, El!
“Kita kembali seperti dulu, Nak.” Hector kembali bersuara, ia menatap anaknya lembut. “Kamu kembali ke rumah. Apapun yang kamu minta akan papi kabulkan,”
Benarkah? Batinnya Elroy berperang. Entah mengapa sisi hatinya yang lain masih meragukan kenyataannya di depannya. Benar- benar ironis.
“Mam,” Elroy kembali menoleh. Matanya menemukan bulir air mata jatuh membasahi pipi ibunya. “Ini benar? Mami beneran mau El pulang?”
Astrid diam. Matanya menerawang ke depan. Ia mengabaikan pandangan anaknya hingga tiba- tiba ia merasakan sentuhan di lengan kanannya.
Elroy bingung. "Mami,"
"Astrid...."
“LEPASIN AKU, BAJIN*AN!”
Elroy tersentak. Ia nyaris terlonjak saking kagetnya. Mami menepis usapan tangan papi, tak sampai disitu mami pun mengucapkan kata- kata sarkas. Angan keluarga bahagia seketika buyar dari pikirannya. Sekilas ia melihat Anya yang juga terbelalak tak percaya.
“Astrid…,”
“APA?” Astri menatap Hector nyalang. Amarah berkobar di matanya. “NGGAK! KAMU NGGAK BENAR- BENAR MENGINGINKAN KELUARGA INI KAN? CIH! KAMU PIKIR AKU NGGAK TAHU RENCANAMU!”
“SAHAM PERUSAHAAN TURUN KAN GARA- GARA BERITA ITU! DAN KAMU INGIN MENGEMBALIKAN KEPERCAYAAN INVESTOR DENGAN POTRET KELUARGA BAHAGIA. CK, BUL*SHIT!”
Elroy masih ternganga mendengar makian ibunya. Jantungnya nyaris meloncat keluar karena kenyataan baru yang ditemuinya.
“Hentikan prasangka burukmu itu, Astrid! Aku benar- benar ingin keluarga kita kembali….”
“Ck, akting sempurna!” Potong mami cepat, “Kurasa kamu lebih cocok jadi artis daripada aku.” Astrid tersenyum meremehkan.
“Sejujurnya aku ragu dengan kata- katamu yang ingin bersatu lagi. Maka kusuruh orang mengawasimu. Cih! Nyatanya kamu masih menemui dia kan? Bahkan aku baru tahu bahwa kalian punya seorang anak. Anak perempuan manis berusia 2 tahun.”
What the hell?
Mata Elroy terbelalak. Degup irama jantungnya benar- benar sudah tak terkontrol. Fakta yang baru diucapkan ibunya benar- benar mengagetkannya. Ralat tidak hanya dia tetapi juga Anya. Perempuan itu kini terlihat sangat shock. Matanya berkaca- kaca, Elroy nyaris tak bernafas melihatnya.
Anya sangat terpukul.
"KAMU!!" Telunjuk Astri menunjuk ke suaminya, "SEKALI BAJIN*AN TETAP BAJIN*AN!"
"DAN KAMU JALA*G!"
Elroy melotot mendengar kata- kata kasar ayahnya. Amarah seketika menguasainya. Bersatu? Hidup normal? Cih! cuma mimpi! Selamanya keluarganya takkan bisa bersatu. Dua orang itu, dua orang yang berstatus sebagai orang tuanya adalah dua orang paling brengsek yang pernah ada di hidupnya. Dengan cepat tangan Elroy meraih gelas yang ada di meja, lalu membantingnya tanpa ampun. Bunyi pecahan gelas cukup keras menghentikan pertengkaran Hector dan Astrid.
“LEPAS! LEPASIN TOPENG KALIAN SEMUA!” teriaknya kencang. “ MUNAFIK! MUNAFIK KALIAN BERDUA. GUE BENCI PUNYA ORANG TUA SEPERTI KALIAN!”Lanjutnya lagi seraya berdiri dari kursi dan berlari meninggalkan ruangan.Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras menahan emosi, air matanya nyaris tumpah.
Tidak! Anak lakai- laki nggak boleh cengeng. Harus kuat!
Arggh!Kenapa rasanya sesakit ini!
***
Selanjutnya Disini
Lampung, Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar