Sebelumnya di sini
“Mau membangun rumah
tangga denganku?”
Tubuh Agni menegang seketika. Matanya terbeliak tak percaya.
Namun hanya beberapa detik, sebelum kemudian Askar tertawa terbahak-bahak.
“Ya ampun, Ni! Serius banget. Bercanda lah,” ucapnya santai
mengabaikan wajah Agni yang kini mulai memerah.
Sial!
Agni melengos. Dialihkan pandangan ke balik jendela seraya
menarik napas panjang sebelum kemudian menghembuskannya perlahan.
Askar, sialan!
Nggak tahu apa aku nyaris kena jantungan!
Ck, manusia ini sangat menyebalkan.
Agni tak henti merutuk dalam hati.
Tak hanya Askar, tapi dirinya yang nyaris percaya kata-kata lelaki itu. Nyaris!
“Menikah itu hidup terikat, Ni. Dan
kupikir kalau mau hidup seperti itu harus kita pikirkan baik-baik.”
Terserah!
Gumam Agni dalam hati. Askar menikah?
Kalau pun ia sudah memikirkan hal itu jauh hari, tentu tak ada gagasan
sayembara dari ayahnya kan?
Sudahlah! Bukan urusanku.
Agni terus bermonolog dalam hati
hingga tanpa sadar Askar telah menghentikan mobilnya di sebuah restoran yang
cukup terkenal.
“Kok ke sini?” tanya Agni sadar.
“Kamu pasti belum makan kan?” Askar
tersenyum. Senyum yang seketika berbuah cibiran dalam hati Agni. Dulu mungkin
dirinya akan girang bukan main saat melihat senyum yang Askar tunjukkan.
Sejujurnya dengan senyum, kadar ketampanan Askar menjadi berlipat-lipat.
Tapi itu dulu, sekarang?
Ah, Apalagi obrolan tadi. Benar-benar
menjengkelkan.
“Yuk! Keluar!”
Agni menoleh. Ternyata Askar sudah keluar
dan membukakan pintu mobil untuknya. Perlakuan yang manis tentu saja, tapi…
Bodo amatlah!
***
“Itu siapa, Ni?”
Agni yang hendak masuk rumah terkejut
karena keberadaan Mama di balik pintu. Iapun mendengus. Pasti ngintip, gumamnya
dalam hati.
“Mama ini loh, ngagetin aja!” ujarnya
seraya melengang santai memasuki rumah.
“Pertanyaan Mama belum dijawab loh,”
Ucap Mama sambil menyejajari langkah anaknya. Ia sebenarnya tak berniat
mengintip, hanya kebetulan saja ketika hendak keluar rumah mendapati mobil asing
berada di depan rumah dengan sosok Agni yang muncul kemudian.
Penasaran? Pasti!
“Askar.”
“Askar?” Dahi Mama berlipat. “Askar
Adinata?”
Agni kembali mengangguk. “Kebetulan
aja dia mau ke kantornya, aku mau pulang.” Jelasnya sembari menghempaskan diri
di sofa putih yang terletak di ruang keluarga. Tak lama ia meraih ponsel dari
dalam tas lalu fokus terhadap benda berbentuk segi empat tersebut.
“Oh gitu,” Bibir Mama membulat.
Pandangannya menelusuri sang putri sebelum kemudian senyum kecil terbit di
wajahnya.
“Nggak usah mikir macam-macam deh,
Ma!” ucap Agni tanpa mengalihkan pandangan. Ia tahu persis apa yang ada di
pikiran Mama. “Mama udah pernah bilang loh nggak mau ikut-ikutan soal jodoh.
Murni urusanku.” Sambung Agni yang beroleh tawa sang Ibu.
“Iya sih.” gumam wanita baya itu.
“Tapi kayak gimana gitu, Ni kalau sampai sama Askar?”
“Gimana apanya?”
“Ya lucu aja kalau sampai jadi
besanan sama keluarga Adinata,”
“Maksud Mama?” Agni mendongak. Kali
ini ia menatap Mama.
“Mama belum pernah cerita ya,”
“Cerita apa?” tanya Agni tak sabar.
Mengamati sikap Mamanya yang senyum-senyum sendiri dirinya pun makin penasaran.
“Jadi dulu om Bram itu pernah deketin
Mama,”
Agni terbeliak. Mulutnya ternganga
tak percaya. “Se—serius, Ma?”
“Iya lah.” Senyum Mama melebar. “Cuma
Opa kamu nggak setuju. Dia itu pacarnya banyak. Jadi Opa nggak suka,”
“Ma—ma pacaran?”
“Nggak! Cuma kenalan dan beberapa
kali jalan bareng. Tapi nggak lama sih. Keburu Mama pindah ke Surabaya waktu
itu.”
Agni terdiam. Kepalanya
manggut-manggut. Jadi sebenarnya ada hubungan masa lalu antara Mama dan Om
Adinata. Tapi tunggu, Mama bilang pacarnya Om Adinata banyak.
Like father like son?
“Tapi nggak ada yang tahu sebenarnya
hati manusia, Ni.”
Agni kembali mengangkat kepalanya.
Kerut di dahinya terbentuk. “Bram boleh jadi playboy di masa mudanya, tapi
ketika membangun rumah tangga dia begitu setia dan cinta keluarga.”
Hati Agni mendadak nyeri. Sedikit
banyak ia mulai mengetahui penyebab perpisahan orang tuanya. Dulu Arga,
kakaknya serta orang dewasa di sekitarnya begitu rapi menutupi perselingkuhan
ayahnya, tapi seiring berjalannya waktu Agni pun akhirnya mengetahui hal
tersebut.
Ah, lelaki…
“Mama…,” Agni bergeser duduk.
Diusapnya dengan lembut bahu sang Ibu.
“Kenapa?”
“Hah?” Agni melongo. Niat menghibur tapi…
“Udah! Masa lalu.” Mama nyengir.
“Tapi kamu ngerti kan maksud Mama?”
“Maksud apaan lagi?” dengus Agni
gusar. Ck, Mamaku ini…
“Ish, anak ini udah disekolahin
tinggi-tinggi masa telmi!” gerutu Mama yang membuat bibir Agni mencebik kesal.
“Playboy itu belum tentu selamanya
playboy. Bisa jadi loh setelah menikah dia jadi pria yang begitu mencintai
keluarganya.”
“Oh, it…,” Kalimat Agni terhenti. Ia
mengernyitkan dahi dan menatap Ibunya yang mengulas senyum tak biasa. Sedetik
kemudian, Agni melengos. Ia mulai memahami arah pembicaraan sang Mama.
“Ya kan siapa tahu, Ni!”
Hadeh, Mama!
***
Nafas Tantra tercekat. Bibirnya kelu.
Pemandangan di depannya begitu memukau. Teramat memukau hingga ia kehabisan
kata-kata.
“Gimana cantik-cantik kan?”
Pertanyaan Lintang menarik
kesadarannya seketika. “Ca—cantik. Cantik-cantik, Mbak.” ujarnya terbata. Tapi cuma satu yang paling cantik!
“Masuk semua criteria si bos nggak?”
Lintang kembali bertanya. “Masuklah ya. Seksi-seksi juga.” Lanjut Lintang yang
membuat Tantra menoleh dengan cepat.
“Kenapa lo? Udah! Bos lo itu kan
baj*ngan tampan yang cukup terkenal.”
Tantra meringis. Tampan sih, tapi baj*ngan?
Memang apalagi sebutan buat Mas Askar yang pas selain itu.
“Ngomong-ngomong kok dia belum
datang?” tanya Lintang celingukan.
“Udah datang kok. Tadi sama saya.
Cuma lagi di ruangan mas Azka.”
Lintang diam. kepalanya
mengangguk-angguk. Tak lama ia mengundurkan diri untuk kemudian mengecek
persiapan syuting hari ini. Tantra hanya mengangguk. dalam hati bersorak senang
karena tak ada gangguan untuk memandangi sosok Salsa yang dirasa paling cantik
dan memukau dibanding peserta lain.
Hari ini para peserta yang lolos
mulai menjalani syuting perkenalan diri. Tak hanya itu mereka juga harus
menjalani pemotretan untuk keperluan promo dan kegiatan selanjutnya. Program
acara sendiri tak disiarkan langsung, tapi nanti setelah keseluruhan acara
selesai terselenggara.
“Tantra!”
Merasa namanya dipanggil Tantra pun
membalikkan tubuhnya. Meskipun dalam hati sempat mengumpat karena kegiatannya
terganggu.
“Ngapain lo?”
“Nggak ngapa-ngapain, Mas.” Jawab
Tantra sedikit gugup. Tak mungkin kan dirinya mengatakan yang sebenarnya.
“Kenapa? Cantik-cantik ya?”
Eh?
Askar mengulum senyum. “Baguslah. Itu
berarti lo masih normal.”
Tantra mengernyit. “Makanya jangan
jomblo melulu. Nikmati hidup!” kata Askar sembari tertawa-tawa. Sudah lebih
dari dua tahun Tantra bekerja dengannya, tapi tak sekalipun Askar mendapati
Tantra mempunyai pasangan. Dirinya bahkan pernah menduga jika asistennya
memiliki orientasi seksual. Dugaan yang kemudian dibantah sendiri oleh Tantra.
Dia normal. Masih lelaki yang tentu saja menginginkan wanita untuk menjadi
pasangan hidupnya.
“Siang ini gue ada jadwal nggak?”
Tantra menggeleng. “Nggak, Mas.”
“Ok. Gue nggak balik ke kantor kalau
gitu.”
Kali ini Tantra mengangguk. “Iya,
Mas.”
Hening sejenak sebelum kemudian Askar
menyipit menatap Tantra. “Iya-iya. Kenapa masih di sini?”
“Kan gue yang nggak balik ke kantor.
Bukan lo,” sambung Askar yang membuat Tantra meringis. Salah aku!
“Ma—af, Mas!”
“Maaf. Udah sana balik.”
“I—iya!” tantra mengangguk. Tak lama
ia undur diri. Nasib-nasib! Kalau Cuma karyawan ya begini. Apa kata bos harus
diturut.
Ah, padahal ia masih ingin melihat
Salsa. Ngomong-ngomong gadis itu
menyadari keberadaannya tidak ya?
***
Brak
Agni yang baru saja keluar lobby
menoleh. Detik selanjutnya ia tergelak saat mendapati sumber suara. Tawanya pun
makin kencang saat menyadari sosok penyebab sumber suara tersebut.
“Ya ampun Mbak Agni malah ketawa
bukannya ditolong Masnya.” Satpam yang berjaga di lobby kantor datang
tergopoh-gopoh. Alih-alih mendengarkan ucapan Pak satpam, Agni justru mencibir.
“Biarin, Pak! Lagian salah siapa
jalan nggak lihat-lihat.” ujarnya santai. “Keasyikan main hp sih,” ujarnya lagi
yang membuat Tantra nyengir.
Memang salahnya sih! Begitu semangat
karena Salsa membalas pesannya hingga tak sadar ada kotak sampah di depannya.
“Mas nya nggak papa?” tanya Satpam
yang disambut gelengan Tantra.
“Nggak. Saya nggak papa kok, Pak.”
“Bener, Mas?”
Tantra mengangguk. “Iya, Pak. Cuma
kotak sampah aja.”
“Tapi lumayan lah bikin sakit.”
Celetukan Agni membuat Tantra
mendesis kesal. Gerr, cewek ini… Tapi
memang benar juga sih! Ada rasa ngilu di tungkai kakinya saat ini.
“Udah, Pak. Nggak papa. Lagian saya
mau pulang juga.”
“Oh gitu ya, Mas.” Raut wajah Pak
Satpam terlihat lega. “Ya udah Mas nya hati-hati. Kalau jalan lihat-lihat.
Jangan keasyikan main hp.”
Tantra tersenyum kecut. Sedikit malu!
Beruntung lobby tak begitu banyak orang, hingga dirinya tak harus menjadi pusat
perhatian.
“Iya, Pak. Makasih. Kalau gitu saya
permisi.”
Tantra baru saja membalikkan tubuhnya
saat menyadari sesuatu. Ia pun menoleh dan menemukan Agni yang tengah fokus
dengan ponselnya.
“Mau pulang, Ni?” tanyanya kemudian.
Tawaran pertemanan yang pernah Agni ajukan, disambut baik oleh Tantra. Toh tak
ada salahnya. Agni mungkin terlihat jutek dan galak, tapi ia lawan bicara yang
asyik. Apapun topic pembicaraan, Agni dapat memahami dengan baik.
Gadis cerdas.
“Iya.” Angguk Agni.
“Sendiri?”
“Lah emangnya lo lihat gue sama
siapa, Tra?”
Tantra mencibir dalam hati. Agni ya
Agni. Tetap saja jutek! “Maksudku pulang sendiri apa dijemput?”
“Oh. Harusnya sih dijemput. Tapi
kayaknya gue pesen taksi aja. Supir gue bilang mobil lagi mogok.”
Tantra mengangguk-angguk. Tak lama ia
menawarkan tumpangan. “Ya udah bareng aku. Kan rumah kamu searah,”
“Nggak ngerepotin?”
Kepala Tantra menggeleng. “Engg...,”
“Baguslah. Siapa nolak tumpangan
gratis.” Sela Agni yang seketika membelalakkan mata Tantra. Nggak ada
basa-basi, huh!
Ck, gadis aneh!
***
Lampung, Desember 2016
0 komentar:
Posting Komentar