Sebelumnya di sini
“Ni! Agni!”
“Iya, Ma,” sahut Agni dari dalam kamar sebelum kemudian
membukakan pintu kamarnya. Tampak Mama tersenyum menatapnya.
“Ada yang nyari,” tutur wanita baya itu. Senyumnya yang makin
melebar membuat Agni mengerutkan dahi. Curiga.
“Siapa?”
Agni mencibir. “Sok rahasia-rahasiaan nih Mama,”
Mama terkekeh. “Ya udah sana temuin! Eh, ganti baju dulu.
Yang rapi dong kalau nemuin tamu.”
Kerutan di dahi Agni bertambah. Ia semakin curiga. Alih-alih menuruti
saran sang Ibu, Agni justru memutuskan keluar kamar. Lagipula celana tiga
perempat serta kaos yang dikenakannya masih terhitung cukup sopan untuk
menerima tamu.
“Eh, ini anak disuruh ganti baju…,”
Tangan Agni terangkat. Diabaikan protes Mama. Ia segera
menuju ruang tamu. Sedetik kemudian, Agni mendengus gusar saat menemukan siapa
orang yang tengah duduk di salah satu sofa di ruang tamu rumahnya.
Askar Adinata.
“Ngapain sih lo kesini?”
Askar mengangkat kepalanya. Sembari menunggu Agni, ia
menyibukkan diri membuka ponsel.
“Ketemu kamu, apalagi…” katanya dengan santai menjawab
pertanyaan Agni. Sudut bibirnya, berkedut menahan tawa melihat ekspresi kesal
di wajah Agni.
Jelas, Agni tak menyukai kehadirannya. Tapi terlalu dini untuk menyerah bukan?
“Apa sih mau lo?” tanya Agni blak-blakan. Beberapa kali makan
siang bersama lalu mengantar pulang dan sekarang? tiba-tiba muncul di rumahnya. Ah, tak mungkin
tak ada alasan kan?
Agni sejujurnya bukan tak mengerti dengan sikap Askar. Justru
sebaliknya, karena ia memahami maka sebisa mungkin ia harus melindungi dirinya
sendiri.
Hanya manusia bodoh yang jatuh ke lubang yang sama.
“Kamu udah makan?”
Hah?
“Makan yuk! Aku lapar nih!”
Agni mendelik. Kesal bukan main. Bukannya menjawab
pertanyaannya, Askar justru terlihat begitu tenang mengajaknya pergi. Sikap
yang ditunjukkan lelaki itu benar-benar menguras emosinya.
“Ayolah, Ni! Kamu juga pasti belum makan kan? Tadi siang aku
mau ajakin kamu makan siang bareng kayak biasa, tapi kerjaanku cukup banyak.
Jadi nggak sempat,”
Penjelasan Askar membuat Agni makin gusar. Seperti biasa
katanya? Kan itu maunya Askar. Bukan maunya.
Dan laki-laki itu punya banyak cara untuk membuatnya tak bisa menolak.
“Gue udah makan,” sahut Agni pendek.
“Yakin?”
Agni mengangguk malas.
“Ya udah kita jalan aja. Nongkrong dimana kek. Jalan kemana
yang kamu mau,” bujuk Askar lagi. Ia memang sudah berniat untuk membuat Agni
terbiasa dengan keberadaannya. Jadi, jika siang tadi mereka tak sempat bertemu,
masih ada waktu malam kan untuk bersua.
Kepala Agni menggeleng. “Malas. Gue mau tidur.”
“Tidur? Jam segini?”
Askar sedikit terkejut. Diliriknya pergelangan tangan yang
menunjukkan pukul delapan kurang. Benarkan jika menurutnya ini masih sore.
“Astaga, Ni! Ini masih sore,”
Agni memutar kedua bola matanya jengah. “Gue besok siaran
pagi. Berangkatnya tuh sebelum subuh. Jadi baiknya ya kalau gue mau siaran
mending gue tidur lebih dulu.”
“Oh,” Askar manggut-manggut. Nyaris ia melupakan profesi
Agni. Tentu saja gadis itu harus berangkat pagi-pagi sekali.
“Berangkat jam berapa?”
Agni mendengus. “Gue sangsi lo udah bangun,”
Askar meringis. Agni benar! Karena menurut perhitungannya,
Agni kemungkinan besar berangkat saat dini hari. Saat dimana dirinya tengah “sibuk”
dengan wanita-wanitanya.
Ah, sayang…
“Baiklah kalau begitu, aku lebih baik pulang.” Askar
beringsut dari sofa. “Tapi kupastikan lain kali kamu takkan menolak ajakan makan
malamku,”
“Oh ya?” Bahu Agni terangkat. “Kita lihat saja nanti.”
sambungnya malas.
Askar tergelak sejenak melihat ekspresi Agni. Sungguh, gadis
ini sama sekali tak terpengaruh dengan pesona dirinya. Jauh berbeda dengan
wanita-wanita lain yang biasa ia kencani. Hmm, gue semakin tertantang, bisik
Askar dalam hati.
“Aku pulang dulu kalau begitu. See you tomorrow, cantik!”
Bibir Agni mengerucut.
Dasar player! Tukang gombal!
“Loh Askarnya mana, Ni?”
Agni berbalik dan menemukan Mama tengah melangkah
menghampirinya. Askar sudah pergi beberapa menit yang lalu.
“Pulang.” Jawabnya pendek.
“Kok pulang?”
Bahu Agni mengedik seraya melangkah menuju kamarnya. “Entah,”
“Eh, Mau kemana?”
“Tidur.” jawabnya tanpa menghentikan langkah. Mama menggeleng
memandangnya. Ck, anak itu!
***
“Lunch?”
Agni merengut. Dirinya akan bersiap pulang saat mendapati
Askar sudah berada di kantornya.
“Ayolah, Ni! Semalam kan kita nggak jadi dinner.”
Agni membuang napas kasar. Laki-laki macam Askar pantang
menyerah jika keinginannya belum didapatkan. Dan Agni tau dirinya lah kini yang
menjadi target utama.
“Nggak bisa. Gue mau makan siang dengan Mas Arga.” Ucapnya
dengan menyebut nama sang kakak. Kali ini Agni tak bohong, kakaknya tadi memang
menghubunginya untuk mengajak makan siang bersama.
“Dimana?”
“Kepo ah,” dengus Agni. “Udah ah, gue mau berangkat.”
“Gue antar!”
Agni menggeleng seraya mempercepat langkah. “Nggak perlu! Gue
bisa naik taksi.”
“No! No! No! Aku antar aja.”
“Nggak per…,”
Ucapan Agni terputus karena Askar yang tiba-tiba menggenggam
tangannya. Agni terkesiap. Spontan ia pun menarik tangannya, tetapi gagal
karena genggaman Askar yang cukup erat.
“Aku bilang antar ya antar, Ni!”
Ucapan Askar tak bisa lagi dibantah. Agni tak ingin membuat
keributan. Matanya menangkap beberapa pasang mata yang sempat melihat
ketegangan antara dirinya dan Askar tadi. Namun terlepas dari itu, Agni pun
harus menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. Dilirik
tangannya yang berada di dalam genggaman tangan Askar.
Sial! Gara-gara ini
nih!
***
“Kamu pacaran sama Askar?”
Agni mendesah. Sudah menduga kakaknya akan bertanya hal ini.
Sial! Askar benar-benar sialan, umpatnya dalam hati. Gara-gara memaksa
mengantar dirinya, tentu saja berimbas pada kecurigaan sang kakak. Beruntung Askar
tak ikut bergabung, kalau tidak Agni yakin Arga sangsi dengan apa yang
dikatakannya.
“Nggak.”
“Yakin?” selidik Arga.
“Ya udah kalau Mas Arga nggak percaya,” Agni
bersungut-sungut. “Kenapa sih nggak percaya amat sih sama adik sendiri,
dibilang kebetulan aja tuh orang ada di kantorku kok,”
“Wo, wo, wo kenapa jadi marah-marah sih, Ni?” tegur Arga
dengan kepala menggeleng. “Kebiasaan kamu ini! Mas tanya baik-baik malah
dijawab marah-marah.”
“Lagian Mas nanya juga untuk memastikan?”
“Memastikan apa?”
“Kamu bukan korban selanjutnya Askar.”
Deg.
Agni bungkam. “Siapapun tahu bagaimana brengseknya seorang
Askar.” Perkataan Arga selanjutnya diamini Agni dalam hati. Kakaknya benar,
Askar memang cukup terkenal karena sisi playboynya.
“Mas Arga khawatirin aku?”
Tiba-tiba Agni merasa kepalanya ditoyor. Sedetik kemudian wajahnya bertekuk. “Mas!” pekiknya kesal.
“Lagian nanya aneh-aneh sih.” ungkap Arga sebal. Bagaimana mungkin
ia tak khawatir, Agni itu adiknya. Dan tentu saja mana ada kakak yang rela jika
adiknya dipermainkan oleh orang lain. “Kalau dia mau main-main, mending nggak
usah dekat-dekat kamu.” katanya lagi.
Agni mengangguk. Tak lama keningnya mengerut. “Emang mungkin
player kayak dia tobat, Mas?”
“Bisa jadi.” Angguk Arga. “Biasanya laki-laki macam Askar
kalau udah ketemu wanita yang benar-benar dicintainya, seumur hidup dia akan
mencintai wanita itu.”
“Begitu?”
“Tergantung orangnya juga sih. Ah, kenapa jadi ngomongin dia
juga, Mas ngajak kamu makan ada hal yang penting kok yang mau diomongin.”
“Apaan? Paling juga suruh meriksa laporan keuangan perusahan
kan?”
Seketika terdengar kekehan dari bibir Arga. Agni manyun.
Sudah pindah kerja, masih saja ia dikerjai kakaknya untuk memeriksa keuangan
perusahaan.
“Bayar konsultan bisa kali, Mas.”
“Udah disekolahin mahal-mahal masa iya nggak dimanfaatin.”
Agni membuang napas pendek. Kalah! Telak!
Kalau begini tak ada alasan menolak.
***
“Laporan keuangan ini bermasalah, Ni!”
“Serius?”
Tantra menganggukkan kepalanya. “Ini ada yang dimanipulasinya.
Coba lihat di sini!”
Agni mencondongkan tubuhnya. Matanya menatap layar laptop didepannya. Tantra menunjukkan
beberapa angka lalu membandingkan dengan deretan angka lain. Memang terlihat
janggal.
“Ya ampun iya-ya! Kenapa gue nggak sadar.”
Sebenarnya keterlibatan Tantra tanpa disengaja. Agni yang
mendapat tugas dari kakaknya memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Ia pergi
ke sebuah café untuk kemudian memeriksa laporan keuangan tersebut. Café yang
didatangi sama dengan café tempat ia pernah bertemu Tantra. Jadi Agni tak heran
ketika mendapati Tantra masuk ke dalam café beberapa jam setelah kedatangannya.
“Udah mabok baca berita kali ya gue, sampe bisa nggak ngeh
gini,”
Tantra terkekeh mendengar ucapan Agni. Ia tadi sedikit
terkejut mendapati Agni duduk sendirian di salah satu sudut café favoritnya. Nyaris
setiap hari Tantra memang menghabiskan waktu di cafe. Suasana yang nyaman serta
tenang membuatnya betah. Bahkan tak jarang ia mengerjakan pekerjaannya di sana.
Dan keberadaan Agni sore ini menarik perhatiannya. Apalagi gadis itu begitu
serius dengan laptop di depannya. Sesaat setelah menyapa, tahulah Tantra dengan
apa yang Agni kerjakan.
“Kakakmu harus cepat bertindak, Ni!”
“Iyalah, Tra. Masa pencuri dibiarin sih!”
Tantra menggeleng perlahan. Sepertinya jutek memang nama
tengah Agni.
“Eh, ngomong-ngomong thanks
ya,” ujar Agni yang beroleh anggukan Tantra.
“Itu belum semua kan diperiksa. Coba nanti diperhatiin lagi.”
“Iya.” Agni mengangguk seraya mengulas senyum. Sesaat
kemudian, Tantra mengerjap. Agni yang tersenyum, kenapa jantungnya yang
berdetak begitu kencang?
“Tra! Heh! TANTRA!”
Eh?
“Malah bengong? Lo denger gue ngomong nggak sih?”
“Hah?”
Agni berdecak. “Ck, lo ini! Mikirin apa sih?”
“Me—memangnya kamu bilang apa?”
Sejenak Agni mendengus sebelum kemudian berkata, “Gue tanya
lo nggak mau keluar zona nyaman lo,”
“Zona nyaman?” Kening Tantra berkerut.
“Iya. Lo kan selama ini anteng-anteng kerja sama Askar.
Kenapa nggak kepikir buka usaha sendiri kek, atau lanjut sekolah. Lo masih S1
ya?”
Tantra mengangguk.
“Nah tuh! Mending lanjut sekolah. Lo itu cerdas loh. Sayang
aja kalau cuma jadi asisten,”
Tantra bisa menangkap nada sinis dalam kata-kata Agni dalam
menyebut pekerjaannya. Entahlah kenapa, Tantra tak tersinggung. Justru ia
memikirkan ucapan Agni sebelumnya.
Lanjut sekolah?
“Dengan kapasitas otak lo kayak gini sih, gue yakin beasiswa
ke LN juga lo bisa dapat.”
Tantra diam. Ia mencerna kata-kata Agni. Sejujurnya tak
pernah terbersit dipikirannya untuk melanjutkan sekolah. Pasca lulus tekadnya
hanya satu, membantu kedua orang tuanya di kampung. Tantra, anak sulung. Ia
masih memiliki empat saudara kandung yang jelas membutuhkan biaya cukup besar
untuk sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, sudah sejak lama kedua
orang tuanya menginginkan pergi menunaikan ibadah haji. Maka sebagai anak
tertua, Tantra mengambil semua tanggung jawab itu. Meskipun sesungguhnya orang
tuanya tak pernah menuntutnya untuk melakukan hal itu.
“TRA! TANTRA!”
Tantra terhenyak. Wajah manyun Agni tampak di depannya. “Lo
ini kebiasaan ya, bengong mulu!”
Tantra nyengir. Agni menggeleng gusar. Tak lama ia bangkit. “Udah
ah, balik gue!”
“Sendiri?”
“Lah emangnya pas lo masuk lo lihat gue sama siapa, ha?”
Tantra tersenyum kecut. Agni ini ya benar-benar….
“Aku antar,”
“Nggak usah. Gue udah telpon supir.” Ujar Agni kemudian. “Eh,
tapi beneran pertimbangin omongan gue ya, Tra! Nggak selamanya kan lo mau
diomelin mulu sama Askar.”
-Tbc-
Kalo nemu typo, sorry!
Baru selesai diketik langsung dipost. Hehehe…
Lampung, Desember 2016
good post mbak
BalasHapuslanjooot mbk
BalasHapus