Jumat, 23 Desember 2016

Sayembara Askar (14)




Sebelumnya di sini

“Ni! Agni!”
“Iya, Ma,” sahut Agni dari dalam kamar sebelum kemudian membukakan pintu kamarnya. Tampak Mama tersenyum menatapnya.
“Ada yang nyari,” tutur wanita baya itu. Senyumnya yang makin melebar membuat Agni mengerutkan dahi. Curiga.
“Siapa?”
“Temui saja. Nanti juga kamu tahu,”
Agni mencibir. “Sok rahasia-rahasiaan nih Mama,”
Mama terkekeh. “Ya udah sana temuin! Eh, ganti baju dulu. Yang rapi dong kalau nemuin tamu.”
Kerutan di dahi Agni bertambah. Ia semakin curiga. Alih-alih menuruti saran sang Ibu, Agni justru memutuskan keluar kamar. Lagipula celana tiga perempat serta kaos yang dikenakannya masih terhitung cukup sopan untuk menerima tamu.
“Eh, ini anak disuruh ganti baju…,”
Tangan Agni terangkat. Diabaikan protes Mama. Ia segera menuju ruang tamu. Sedetik kemudian, Agni mendengus gusar saat menemukan siapa orang yang tengah duduk di salah satu sofa di ruang tamu rumahnya.
Askar Adinata.
“Ngapain sih lo kesini?”
Askar mengangkat kepalanya. Sembari menunggu Agni, ia menyibukkan diri membuka ponsel.
“Ketemu kamu, apalagi…” katanya dengan santai menjawab pertanyaan Agni. Sudut bibirnya, berkedut menahan tawa melihat ekspresi kesal di wajah Agni.
Jelas, Agni tak menyukai kehadirannya. Tapi terlalu dini untuk menyerah bukan?
“Apa sih mau lo?” tanya Agni blak-blakan. Beberapa kali makan siang bersama lalu mengantar pulang dan sekarang?  tiba-tiba muncul di rumahnya. Ah, tak mungkin tak ada alasan kan?
Agni sejujurnya bukan tak mengerti dengan sikap Askar. Justru sebaliknya, karena ia memahami maka sebisa mungkin ia harus melindungi dirinya sendiri.
Hanya manusia bodoh yang jatuh ke lubang yang sama.
“Kamu udah makan?”
Hah?
“Makan yuk! Aku lapar nih!”
Agni mendelik. Kesal bukan main. Bukannya menjawab pertanyaannya, Askar justru terlihat begitu tenang mengajaknya pergi. Sikap yang ditunjukkan lelaki itu benar-benar menguras emosinya.
“Ayolah, Ni! Kamu juga pasti belum makan kan? Tadi siang aku mau ajakin kamu makan siang bareng kayak biasa, tapi kerjaanku cukup banyak. Jadi nggak sempat,”
Penjelasan Askar membuat Agni makin gusar. Seperti biasa katanya? Kan itu maunya Askar. Bukan maunya.  Dan laki-laki itu punya banyak cara untuk membuatnya tak bisa menolak.
“Gue udah makan,” sahut Agni pendek.
“Yakin?”
Agni mengangguk malas.
“Ya udah kita jalan aja. Nongkrong dimana kek. Jalan kemana yang kamu mau,” bujuk Askar lagi. Ia memang sudah berniat untuk membuat Agni terbiasa dengan keberadaannya. Jadi, jika siang tadi mereka tak sempat bertemu, masih ada waktu malam kan untuk bersua.
Kepala Agni menggeleng. “Malas. Gue mau tidur.”
“Tidur? Jam segini?”
Askar sedikit terkejut. Diliriknya pergelangan tangan yang menunjukkan pukul delapan kurang. Benarkan jika menurutnya ini masih sore.
“Astaga, Ni! Ini masih sore,”
Agni memutar kedua bola matanya jengah. “Gue besok siaran pagi. Berangkatnya tuh sebelum subuh. Jadi baiknya ya kalau gue mau siaran mending gue tidur lebih dulu.”
“Oh,” Askar manggut-manggut. Nyaris ia melupakan profesi Agni. Tentu saja gadis itu harus berangkat pagi-pagi sekali.
“Berangkat jam berapa?”
Agni mendengus. “Gue sangsi lo udah bangun,”
Askar meringis. Agni benar! Karena menurut perhitungannya, Agni kemungkinan besar berangkat saat dini hari. Saat dimana dirinya tengah “sibuk” dengan wanita-wanitanya.
Ah, sayang…
“Baiklah kalau begitu, aku lebih baik pulang.” Askar beringsut dari sofa. “Tapi kupastikan lain kali kamu takkan menolak ajakan makan malamku,”
“Oh ya?” Bahu Agni terangkat. “Kita lihat saja nanti.” sambungnya malas.
Askar tergelak sejenak melihat ekspresi Agni. Sungguh, gadis ini sama sekali tak terpengaruh dengan pesona dirinya. Jauh berbeda dengan wanita-wanita lain yang biasa ia kencani. Hmm, gue semakin tertantang, bisik Askar dalam hati.
“Aku pulang dulu kalau begitu. See you tomorrow, cantik!”
Bibir Agni mengerucut. Dasar player! Tukang gombal!
“Loh Askarnya mana, Ni?”
Agni berbalik dan menemukan Mama tengah melangkah menghampirinya. Askar sudah pergi beberapa menit yang lalu.
“Pulang.” Jawabnya pendek.
“Kok pulang?”
Bahu Agni mengedik seraya melangkah menuju kamarnya. “Entah,”
“Eh, Mau kemana?”
“Tidur.” jawabnya tanpa menghentikan langkah. Mama menggeleng memandangnya. Ck, anak itu!
***
“Lunch?”
Agni merengut. Dirinya akan bersiap pulang saat mendapati Askar sudah berada di kantornya.
“Ayolah, Ni! Semalam kan kita nggak jadi dinner.”
Agni membuang napas kasar. Laki-laki macam Askar pantang menyerah jika keinginannya belum didapatkan. Dan Agni tau dirinya lah kini yang menjadi target utama.
“Nggak bisa. Gue mau makan siang dengan Mas Arga.” Ucapnya dengan menyebut nama sang kakak. Kali ini Agni tak bohong, kakaknya tadi memang menghubunginya untuk mengajak makan siang bersama.
“Dimana?”
“Kepo ah,” dengus Agni. “Udah ah, gue mau berangkat.”
“Gue antar!”
Agni menggeleng seraya mempercepat langkah. “Nggak perlu! Gue bisa naik taksi.”
“No! No! No! Aku antar aja.”
“Nggak per…,”
Ucapan Agni terputus karena Askar yang tiba-tiba menggenggam tangannya. Agni terkesiap. Spontan ia pun menarik tangannya, tetapi gagal karena genggaman Askar yang cukup erat.
“Aku bilang antar ya antar, Ni!”
Ucapan Askar tak bisa lagi dibantah. Agni tak ingin membuat keributan. Matanya menangkap beberapa pasang mata yang sempat melihat ketegangan antara dirinya dan Askar tadi. Namun terlepas dari itu, Agni pun harus menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. Dilirik tangannya yang berada di dalam genggaman tangan Askar.
Sial! Gara-gara ini nih!
***

“Kamu pacaran sama Askar?”
Agni mendesah. Sudah menduga kakaknya akan bertanya hal ini. Sial! Askar benar-benar sialan, umpatnya dalam hati. Gara-gara memaksa mengantar dirinya, tentu saja berimbas pada kecurigaan sang kakak. Beruntung Askar tak ikut bergabung, kalau tidak Agni yakin Arga sangsi dengan apa yang dikatakannya.
“Nggak.”
“Yakin?” selidik Arga.
“Ya udah kalau Mas Arga nggak percaya,” Agni bersungut-sungut. “Kenapa sih nggak percaya amat sih sama adik sendiri, dibilang kebetulan aja tuh orang ada di kantorku kok,”
“Wo, wo, wo kenapa jadi marah-marah sih, Ni?” tegur Arga dengan kepala menggeleng. “Kebiasaan kamu ini! Mas tanya baik-baik malah dijawab marah-marah.”
“Lagian Mas nanya juga untuk memastikan?”
“Memastikan apa?”
“Kamu bukan korban selanjutnya Askar.”
Deg.
Agni bungkam. “Siapapun tahu bagaimana brengseknya seorang Askar.” Perkataan Arga selanjutnya diamini Agni dalam hati. Kakaknya benar, Askar memang cukup terkenal karena sisi playboynya.
“Mas Arga khawatirin aku?”
Tiba-tiba Agni merasa kepalanya ditoyor. Sedetik kemudian wajahnya bertekuk. “Mas!” pekiknya kesal.
“Lagian nanya aneh-aneh sih.” ungkap Arga sebal. Bagaimana mungkin ia tak khawatir, Agni itu adiknya. Dan tentu saja mana ada kakak yang rela jika adiknya dipermainkan oleh orang lain. “Kalau dia mau main-main, mending nggak usah dekat-dekat kamu.” katanya lagi.
Agni mengangguk. Tak lama keningnya mengerut. “Emang mungkin player kayak dia tobat, Mas?”
“Bisa jadi.” Angguk Arga. “Biasanya laki-laki macam Askar kalau udah ketemu wanita yang benar-benar dicintainya, seumur hidup dia akan mencintai wanita itu.”
“Begitu?”
“Tergantung orangnya juga sih. Ah, kenapa jadi ngomongin dia juga, Mas ngajak kamu makan ada hal yang penting kok yang mau diomongin.”
“Apaan? Paling juga suruh meriksa laporan keuangan perusahan kan?”
Seketika terdengar kekehan dari bibir Arga. Agni manyun. Sudah pindah kerja, masih saja ia dikerjai kakaknya untuk memeriksa keuangan perusahaan.
“Bayar konsultan bisa kali, Mas.”
“Udah disekolahin mahal-mahal masa iya nggak dimanfaatin.”
Agni membuang napas pendek. Kalah! Telak!
Kalau begini tak ada alasan menolak.
***

“Laporan keuangan ini bermasalah, Ni!”
“Serius?”
Tantra menganggukkan kepalanya. “Ini ada yang dimanipulasinya.  Coba lihat di sini!”
Agni mencondongkan tubuhnya. Matanya menatap layar  laptop didepannya. Tantra menunjukkan beberapa angka lalu membandingkan dengan deretan angka lain. Memang terlihat janggal.
“Ya ampun iya-ya! Kenapa gue nggak sadar.”
Sebenarnya keterlibatan Tantra tanpa disengaja. Agni yang mendapat tugas dari kakaknya memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Ia pergi ke sebuah café untuk kemudian memeriksa laporan keuangan tersebut. Café yang didatangi sama dengan café tempat ia pernah bertemu Tantra. Jadi Agni tak heran ketika mendapati Tantra masuk ke dalam café beberapa jam setelah kedatangannya.
“Udah mabok baca berita kali ya gue, sampe bisa nggak ngeh gini,”
Tantra terkekeh mendengar ucapan Agni. Ia tadi sedikit terkejut mendapati Agni duduk sendirian di salah satu sudut café favoritnya. Nyaris setiap hari Tantra memang menghabiskan waktu di cafe. Suasana yang nyaman serta tenang membuatnya betah. Bahkan tak jarang ia mengerjakan pekerjaannya di sana. Dan keberadaan Agni sore ini menarik perhatiannya. Apalagi gadis itu begitu serius dengan laptop di depannya. Sesaat setelah menyapa, tahulah Tantra dengan apa yang Agni kerjakan.
“Kakakmu harus cepat bertindak, Ni!”
“Iyalah, Tra. Masa pencuri dibiarin sih!”
Tantra menggeleng perlahan. Sepertinya jutek memang nama tengah Agni.
“Eh, ngomong-ngomong thanks ya,” ujar Agni yang beroleh anggukan Tantra.
“Itu belum semua kan diperiksa. Coba nanti diperhatiin lagi.”
“Iya.” Agni mengangguk seraya mengulas senyum. Sesaat kemudian, Tantra mengerjap. Agni yang tersenyum, kenapa jantungnya yang berdetak begitu kencang?
“Tra! Heh! TANTRA!”
Eh?
“Malah bengong? Lo denger gue ngomong nggak sih?”
“Hah?”
Agni berdecak. “Ck, lo ini! Mikirin apa sih?”
“Me—memangnya kamu bilang apa?”
Sejenak Agni mendengus sebelum kemudian berkata, “Gue tanya lo nggak mau keluar zona nyaman lo,”
“Zona nyaman?” Kening Tantra berkerut.
“Iya. Lo kan selama ini anteng-anteng kerja sama Askar. Kenapa nggak kepikir buka usaha sendiri kek, atau lanjut sekolah. Lo masih S1 ya?”
Tantra mengangguk.
“Nah tuh! Mending lanjut sekolah. Lo itu cerdas loh. Sayang aja kalau cuma jadi asisten,”
Tantra bisa menangkap nada sinis dalam kata-kata Agni dalam menyebut pekerjaannya. Entahlah kenapa, Tantra tak tersinggung. Justru ia memikirkan ucapan Agni sebelumnya.
Lanjut sekolah?
“Dengan kapasitas otak lo kayak gini sih, gue yakin beasiswa ke LN juga lo bisa dapat.”
Tantra diam. Ia mencerna kata-kata Agni. Sejujurnya tak pernah terbersit dipikirannya untuk melanjutkan sekolah. Pasca lulus tekadnya hanya satu, membantu kedua orang tuanya di kampung. Tantra, anak sulung. Ia masih memiliki empat saudara kandung yang jelas membutuhkan biaya cukup besar untuk sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, sudah sejak lama kedua orang tuanya menginginkan pergi menunaikan ibadah haji. Maka sebagai anak tertua, Tantra mengambil semua tanggung jawab itu. Meskipun sesungguhnya orang tuanya tak pernah menuntutnya untuk melakukan hal itu.
“TRA! TANTRA!”
Tantra terhenyak. Wajah manyun Agni tampak di depannya. “Lo ini kebiasaan ya, bengong mulu!”
Tantra nyengir. Agni menggeleng gusar. Tak lama ia bangkit. “Udah ah, balik gue!”
“Sendiri?”
“Lah emangnya pas lo masuk lo lihat gue sama siapa, ha?”
Tantra tersenyum kecut. Agni ini ya benar-benar….
“Aku antar,”
“Nggak usah. Gue udah telpon supir.” Ujar Agni kemudian. “Eh, tapi beneran pertimbangin omongan gue ya, Tra! Nggak selamanya kan lo mau diomelin mulu sama Askar.”

-Tbc-
Kalo nemu typo, sorry! Baru selesai diketik langsung dipost. Hehehe…
Lampung, Desember 2016

2 komentar: