Delapan
Sebelumnya Gendis (7)
Debar di hati Gendis tak henti saat mendengar kata- kata yang diucapkan Elroy pada Marvin. Dia melongo bingung untuk beberapa saat. Otaknya mendadak blank, jantungnya berdegup tak beraturan. Bahkan sampai Elroy membawanya masuk kedalam mobil, ia sama sekali tak sadar. Dan ketika kesadarannya kembali, mobil sudah melaju meninggalkan pelataran kantornya.
Gendis menarik nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. Sesekali matanya melirik ke samping, tepat dibelakang kemudi. Sesungguhnya ia tak sabar untuk bertanya maksud kalimat yang dikatakan Elroy tadi tapi harga diri menahannya.
Elroy lah yang harus menjelaskan, bukan dia yang merupakan pihak kedua.
Huh, makan tuh gengsi, Ndis! Gendis meringis mendengar perang dalam hatinya.
“Kamu nggak capek?”
“Hah!” Gendis menoleh bingung.
“Menghela nafas berkali- kali.”
Eh?
Dia memperhatikanku, gumam Gendis dalam hati. Entah mengapa tiba- tiba perasaan senang melingkupi dirinya. Elroy itu cuek jadi ketika sedikit saja ia memberi perhatian, efeknya luar biasa.
“Sekarang senyum- senyum? Kamu kenapa sih?”
Gendis terbeliak. Ck, cepat sekali matanya menangkap pergerakanku padahal sejak tadi El terlihat fokus dengan jalanan di depannya!
“Berisik ah!” sahut Gendis pendek. Dia bingung untuk memulai pembicaraan. Apalgi melihat sikap Elroy yang tetap datar seperti biasa. Seolah- olah ia tak pernah mengucapkan kalimat itu.
Ck, sinting!
Dikira dia main- main apa perkara begini, gerutu Gendis dalam hati.
Gendis meringis mengingat kejadian tadi. Masih di kantor bertepatan pula dengan jam pulang kerja. Ia masih bisa melihat beberapa rekan kerjanya berseliweran di sekitar lokasi dan Gendis berani bertaruh esok namanya akan menjadi gossip terhangat untuk beberapa hari ke depan.
Arghh, erangnya frustasi.
“Nggak usah bertingkah aneh- aneh deh, Ndis!”
Hah!
“Aneh?”
Gendis melihat kepala Elroy mengangguk sesaat. “Nggak sadar dari tadi sikap kamu bikin bingung. Tadi bengong, tiba- tiba senyum- senyum sendiri eh sekarang manyun.”
“Kamu baik- baik saja kan?”
Wajah Gendis merengut seketika. Mengapa Elroy masih bisa bersikap biasa saja sih? Menyebalkan.
“Gara- gara lo sih!” Ucap Gendis ketus. Kesabarannya terkikis sudah.
“Aku?”
“Iyalah siapa lagi. Tadi siapa yang bikin keributan di kantor gue.”
“Oh ya?”
Gendis melotot. Elroy tak serius. Ia tahu lelaki itu setengah bercanda menanggapinya. “Gue serius, El?”
“Loh siapa bilang bercanda?”
“ELROY!”
“Yup!”
Gendis mendengus. Ini takkan pernah selesai. Elroy takkan menjelaskan jika ia tak bertanya lebih dulu. Gendis pun menghela nafas berat lalu mengalihkan pandangan ke sisi kiri. Matanya menangkap aktivitas jalanan seperti biasa. Di pinggir- pinggir jalan tampak beberapa lapak pedagang kaki lima mulai dibuka, beberapa pejalan kaki yang bergegas ingin segera pulang, atau deretan orang yang tengah berjejer di halte. Ia tersenyum tipis, kalau tidak dijemput juga dirinya menjadi bagian dari mereka.
Tiba- tiba Gendis mengernyit. Ia tersadar akan sesuatu hal,
“Seingat gue ini bukan jalan ke rumah gue deh, El!”
“Hmm,”
“Mau kemana sih?”
“Makan.”
“Makan?”
“Iya. Aku lapar jadi harus makan kan?”
Gendis menghembuskan nafas kasar. Ia tadi sempat mengira makan yang dimaksud Elroy adalah ajakan makan malam romantis. Seperti yang sering dia lihat di romantic movie, sang lelaki memberi kejutan dinner special ditutup dengan pernyataan cinta atau lamaran bahagia. Ck, tapi mengingat jawaban Elroy tadi, Gendis tahu itu hanya mimpi. Apalagi mengingat penampilannya yang lecek dan kecel sepulang kerja, benar- benar khayalan. Makan ya makan biasa saja. Nothing special,“Kemana?” Tanya Gendis basa-basi.
“Nasi goreng Pak Nyoto. Udah lama banget kan aku nggak kesana.”
Tuh benerkan? Jangan mimpi akan ada dinner di restoran mewah ala film Hollywood. Yang ada lelaki disebelahnya ingin nostalgia dengan makanan favorit saat kuliah.
“Kamu masing sering mampir?”
“Kadang- kadang.” Jawab Gendis malas. Nasi goreng Pak Nyoto terletak di seberang gedung kampus mereka dulu.. Rasanya yang enak serta harga yang terjangkau menjadikannya favorit bagi banyak mahasiswa termasuk dirinya juga Elroy.
“Masih beliau yang megang?”
Gendis mengangguk perlahan. “Udah buka cabang sih, tapi kalau yang di dekat kampus masih beliau yang pegang.”
“Hmm, sudah lama ya?”
Itu sadar!
“So, bagaimana di Jerman?”
Elroy menoleh sejenak sebelum bertanya kembali, “Apanya?”
“Lo tahu maksud gue, El!” Tukas Gendis tak sabar.
Elroy mengendikkan bahunya membuat Gendis menggeram kesal. Ia baru saja hendak protes ketika menyadari laju mobil berhenti.
“Sudah sampai.” Elroy menoleh menatapnya. Sekilas Gendis dapat melihat lelaki itu mengulas senyum, “Yuk turun!” sambungnya seraya membuka pintu mobil. Gendis merutuk dalam hati.
Ish! Menyebalkan…
***
“Jadi?”
Gendis mendongak. Ia baru saja tiba di kantor. Kinar sudah berada di depan mejanya. Kedua alis gadis itu bertaut menatapnya. Menantinya menjelaskan hal yang tidak Kinar ketahui. Jelas sahabatnya itu sudah mendengar gossip tentang kejadian kemarin. Gendis berdecak sebal, kapan sih orang- orang tak mengurusi urusan orang lain.
“Apa?” Tanya Gendis santai. Seolah- olah tak tahu apapun. Ia melangkah menuju mejanya.
“Please ya, Ndis! Lo tahu maksud gue.” Ujar Kinar dengan tangan berkacak pinggang, “Sinting! Gue sahabat lo masak nggak tahu kalau lo mau kawin. Orang- orang nanyain lo, gue bengong. Bener- bener kayak orang bego tau nggak sih?”
“Nggak.” Gendis tergelak mendengar rentetan panjang kalimat Kinar. Kinar mungkin kesal atau marah pada dirinya, tapi ekspresi gadis itu malah memancing tawanya.
“Ndis! Gue serius!”
“Iya.” Sahut Gendis di sela kekehannya.
“Ish, kok lo masih ketawa?”
“Ya lucu makanya gue ketawa.”
“Ish lo ini!” Sungut Kinar manyun. Tak lama ia menarik kursi tepat berada di hadapan Gendis. “Sekarang certain sama gue semuanya. LENGKAP!”
Gendis mendesah. Tawanya sudah berhenti. Ia menatap intens Kinar sebelum akhirnya menarik nafas panjang. “Gue juga bingung, Nar!”
“Loh kok gitu?”
“Ya nggak tahu. Tahu- tahu El ngomong gitu…” Ucap Gendis lirih.
“Gue bingung.”
“Ya lo motong mulu dari tadi.” Sahut gendis ketus, Kinar nyengir. “Entar deh gue cerita. Jam makan siang. Kita ketemuan di kantin.”
“Ok!” Kinar mengangguk. Sebelah alisnya terangkat. “Tapi Ndis kalau beneran lo mau kawin mujarab dong air dari emak gue.”
Gendis mendelik. “Apaan sih lo! Cerita aja belum udah ngomongin nikah.”
Kinar terkikik geli. “Ya kali. abisnya gue penasaran.”
“Nggak. nggak! Nggak ada tuh yang begitu. Lo percaya aja.”
Kinar meringis. Ia menggaruk- garuk tengkuk belakangnya. Lalu berdiri, “Iya sih ya. Ya udah deh gue balik ke ruangan dulu. Nanti jam makan siang gue tunggu.”
Gendis hanya mengangguk. Ia mendesah lirih saat menatap punggung Kinar menjauh dan menghilang di balik pintu. Ck, sampai detik ini saja dia masih bingung dengan sikap Elroy, bagaimana bisa dia memastikan soal gossip itu pada Kinar.
Argh, erangnya frustasi. Kenapa hidupnya jadi penuh drama begini!
“Mbak!”
Gendis mendongak. Vania muncul dengan melongokkan kepalanya di balik pintu. “Apa?”
“Ada pak Marvin mau ketemu.”
Mata Gendis terbelalak. Ah, ini lagi satu!!!
Selanjutnya Gendis (9)
Lampung, November 2015
nice post mbak
BalasHapustrims pakkk :))
BalasHapus