Senin, 02 November 2015

GENDIS (2)


Dua

Sebelumnya Gendis (1)

“Bas…Bastian!”

Gendis mengerjap- ngerjapkan kedua matanya. Memastikan penglihatannya tak salah objek. Dan memang benar lelaki yang tengah berbincang dengan Angie, si resepsionis kantor adalah orang yang sama yang pernah dikenalnya bertahun- tahun lalu. Seseorang yang juga pernah mengisi dalam salah satu part kehidupannya di masa lalu.

“Itu Mbak Gendis!”

Gendis terkesiap karena suara Angie yang cukup keras. Bibirnya pun melengkung saat matanya beradu pandang dengan Bastian. Laki- laki itu mendengus, membuat Gendis memutar bola matanya dengan jengah.

Masih sama!

Menyebalkan.
“Ck, dari dulu gini aja lo, Ndis. Gue pikir bakal ketemu wanita dewasa yang seksi mempesona. Ternyata…,”

“APA!” Sorot galak terpancar di wajah Gendis. Ia mendelik saat Bastian sudah berdiri di depannya.

“RATA!”

Sh*t! Bastian sialan!”

“Gue kira juga ada cowok keren yang datengin gue,” Cibir Gendis, “Ternyata playboy cap ikan teri yang nongol!”

“Sh*t! Lo bilang apa?” Bastian berdecak gusar, “Playboy cap ikan teri. Astaga, Ndis! Nggak ada yang lebih kerenan tah lo kasih julukan gue. “

Gendis menggeleng galak, “Tapi lo harus jujur! Sekarang gue makin keren kan?” Seringai Bastian yang membuat mata Gendis terbelalak.

“Lo sejak kapan jadi kayak Tama, Bas? Narsis akut gini!” Dahi Gendis mengerut bingung, “Lo makan apa sih disana, sampai gesrek gini nih otak!”

“Gesrek?” Bastian tergelak. “Tapi ngomong- ngomong, lo nggak kangen gue?” Tanya Bastian sembari merentangkan tangannya.

“Nggak usah mimpi gue bakal meluk lo!”

Bastian terkekeh, “Ya kali lo kangen gue.”

“Ck,” Giliran Gendis yang berdecak gusar. Sesaat ia melangkah mendekati sofa yang berada di lobby kantor lalu mendaratkan tubuhnya, “Lo kapan nyampe di sini? Kok tahu gue kerja di sini?”

“Dua hari lalu.” Jawab Bastian sambil mengambil tepat di sofa seberang Gendis. “Apa sih yang gue nggak tahu, Ndis!”

Gendis mencibir, “Sombong! Paling juga dari Tama.”

“Udah ketemu yang lain?” Lanjut Gendis lagi.

Bastian mengangguk. “Udah. Kemarin kita ketemuan. Ah, lama sekali rasanya.”

“Yap. Udah lima tahun, Bas!”

“Tujuh tahun tepatnya.”

“Tujuh?” Kedua alis Gendis bertaut bingung, “Gue belum salah hitung, Bastian! Kita tuh lulus lima tahun lalu. Dan sebulan setelah kelulusan kita dapat kabar lo lolos beasiswa ke Jepang. Terus baru balik sekarang. Jadi ada yang salah?” Lanjut Gendis gemas.

“Siapa bilang gue ngomong setelah kita lulus?” Kerutan di dahi Gendis bertambah, “Tujuh tahun, Ndis. Tujuh tahun dari perginya El!”

EL!

Elroy.

Deg.
Tubuh Gendis menegang seketika. Hatinya mencelos. Ia tersenyum kecut. Iya. Tujuh tahun sudah berlalu ternyata?

Dan dia bahkan belum sekalipun kembali… “Lo tahu selama ini gue berusaha terus hubungin dia.” Ucap Bastian pelan, “Gue berusaha nyari kabar dia.”

Gendis terdiam. Ia mendengar saksama ucapan Bastian. Elroy mendadak menghilang setelah dua tahun kepergiaannya ke Jerman. Tak ada yang tahu tentang dirinya. Bahkan Anya, kakak kandungnya pun menutup rapat informasi tentang El. Gadis itu bahkan tak lama ikut menghilang. Mencari tahu dari papanya juga sulit.

Entah apa yang terjadi dengan lelaki itu? “Tiga bulan lalu gue dapat informasi tentangnya.” Gendis terkesiap. Raut lega sekaligus penasaran tercetak di wajahnya, “Nggak sengaja sih! Teman gue ada yang kerjasama dengan perusahaannya.”

“Dan gue kesini mau kasih tahu lo…,” Sesaat Bastian terdiam. Ia menatap lekat- lekat Gendis. “Minggu depan dia kembali ke Indonesia.”

Gendis pun ternganga seketika.

***

Minggu depan dia kembali ke Indonesia.

Kembali?

Ya Tuhan, dia kembali! 


Ada luap bahagia yang dirasakan Gendis. Jantung berdetak tak keruan. Kabar yang diberikan Bastian sungguh membuatnya terkejut sekaligus senang secara bersamaan. Ah, begitu rindunya kah dia dengan lelaki itu? Bahkan sempat mengira laki- laki itulah yang datang. Tetapi meski akhirnya Bastian yang muncul –Bukan Gendis tak senang, justru ia juga cukup bahagia dengan kedatangan Bastian yang sudah lama tak dijumpainya- Toh, Bastian juga sahabatnya. Tetapi kadar kebahagian yang ia rasakan berbeda. Sangat berbeda. Ini bahkan dirinya belum sama sekali bertemu.

Oke, bagaimana dia sekarang?

Tambah ganteng! Dewasa dengan sedikit kumis atau jenggot di muka?

No, no, no! Wajahnya bersih itu sudah menarik kok. 


“WOY GENDIS! WOY!” Gendis terhenyak saat tubuhnya diguncang dengan keras. Ia gelagapan saat menemukan wajah Kinar tepat di hadapannya. Gadis itu merengut dengan mulut mencebik kesal.

“Eh, i..iya, Nar! Kenapa?” Ujar Gendis sedikit gugup.

“Ish! Gue dari tadi ngoceh- ngoceh lo nggak dengerin kan?”

“Eh? Apaan?”

“Aish, Lo kenapa sih Ndis dari tadi bengong mulu. Kadang- kadang senyum- senyum sendiri?” Cerocos Kinar penasaran, “Pasti gara- gara cowok tadi pagi. Ah ya,, lo belum cerita kan sama gue itu siapa? Sh*t kata Vania tuh cowok cakep banget ya! Tadi gue nggak bisa turun sih gara- gara bos mendadak ngasih banyak kerjaan.”

Mata Gendis terpejam sesaat. Kata- kata Kinar yang tanpa henti membuat kepalanya mendadak pusing. “Lo kalau nanya satu- satu sih, Nar. Pusing gue dengerin lo ngomong.” Protes Gendis yang disambut cengiran tanpa dosa oleh Kinar.

“Ups! Sorry.”

“Kebiasaan buruk lo tuh ya!”

“Iye, iye. Gue minta maaf,” Kinar bersungut- sungut, “Tapi lo juga sih belum cerita sama gue siapa laki tadi pagi.”

“Bastian.”

“Ba..bastian yang itu…,”

Gendis mengangguk perlahan. Sedikit banyak ia memang pernah menceritakan soal masa lalunya kepada Kinar. Bahkan beberapa kali Kinar pernah diajaknya bertemu dengan Tama, Adit atau Kenzi. Jadi nama Bastian juga tidak terlalu asing di telinga Kinar.

“Owh dia balik dari Jepang?” Gendis lagi- lagi mengangguk, “Dan langsung nemuin lo?”

“Nggak. Dua hari lalu sih. “

“Ooh!” Kinar manggut- manggut, “Kenalin ke gue dong!”

“Hah!” Gendis melongo bingung. “Kenalin? Maksud lo gimana?”

“Ya kata Vania kan tuh cowok keren banget. Lo tahu kan selera Vania itu cukup tinggi. Dia bilang keren itu berarti beneran keren.”

“Ya terus?”

“Ck, telmi! Dia itu lulusan luar, pasti kerjanya bonafid kan, Ndis. Keren pula! Ish, bego aja yang nggak mau sama dia.”

“Itu berarti dia masuk kandidat calon suami idaman, Gendis!”

Gendis terbelalak. Sinting! Beneran salah pilih teman kayaknya gue!



-tbc-
Selanjutnya Gendis (3)

Nov, 2015

5 komentar: