Sabtu, 23 Mei 2015

ELROY (1)

Bab I

Gelap. Hitam. Pekat.
Elroy histeris. Matanya sama sekali tak menangkap seberkas cahaya dari manapun. Ia berteriak sekencang yang bisa, berharap ada yang menolongnya. Siapapun itu. Namun sayang nihil. Sia- sia. Suaranya bahkan tak dapat terdengar sama sekali. Tertahan kelu di tenggorokannya.

Mami.

Papi.

Anya.

Help me!!!

Tolong gue!!!

Di tengah keputusasaannya, mendadak tubuh Elroy membeku. Sebuah alunan nada terdengar familiar di telinganya. Elroy tersentak.
Ini kan suara….


Elroy terduduk seketika. Ia menarik nafas dalam- dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Mimpi itu lagi? Mimpi itu kembali datang.
Mimpi yang menghantuinya hampir beberapa bulan ini. Argh, ia mengerang frustasi. Merutuk dalam hati, bagaimana ia bisa tertidur. Padahal ia sadar jika mata terpejam maka bersiaplah mimpi itu kembali menakutinya.
Gue benci tidur.

PING

Elroy tersadar dari lamunannya. Sebuah pesan bbm masuk ke smartphonenya. Diraihnya benda berbentuk segiempat panjang yang berada tepat di sampingnya.

Susah amat sih bangunin lo.
Kabarin gue kalo lo udah bangun.

Elroy tersenyum tipis. Anya, kakaknya selalu melakukan tugasnya dengan baik. Setiap pagi sejak kecil, Anyalah yang rutin membangunkan ia dari tidurnya. Bahkan hingga saat ini meski via telepon karena jarak yang memisahkan, Anya tak pernah absen melakukannya. Hal yang wajib disyukuri Elroy, karena nada panggilan Anya selalu menyelamatkannya dari mimpi- mimpi buruknya.

Gue udah bangun. Thanks.

Dengan cepat diketiknya balasan. Elroy tak mau menanggung resiko Anya mengomelinya yang akan berakibat fatal ada aliran dana yang masuk ke rekeningnya. Apalagi ini sudah masuk akhir bulan, ia benar- benar menunggu kiriman Anya. Sudah beberapa hari ini ia harus menahan makan siang karena kondisi keuangannya yang minim.

Ok.
Nanti siang gue transfer jatah bulanan lo.

Anya memang the best.

Thanks.

Balasnya lagi dengan senyum lebar yang terulas di bibirnya. Sesaat ia terdiam, menunggu apakah Anya akan membalas pesannya. Lima menit berlalu, Elroy mendesah. Anya mungkin sudah mengabaikan smartphonenya. Melanjutkan aktivitasnya. Entah tidur atau bersiap untuk syuting kembali. Anya memang seorang artis, awalnya seorang model. Tetapi kini Anya mulai merambah ke dunia akting. Karier Anya memang sedang menanjak, aktingnya menuai banyak pujian berbagai kalangan hingga tawaran tak henti mengalir padanya. Namun hidup tetaplah hidup, ada yang suka ada pula yang benci. Kebesaran nama ibu mereka selalu dikaitkan pada kesuksesan Anya.

Elroy meringis. Ia tahu betul bagaimana perjuangan Anya hingga sekarang. Mami membantu Anya?
Ah, bahkan mami tak pernah peduli dengan Anya maupun dirinya.
Sudahlah. Menyebut mami membuat hatinya gusar. Lebih baik ia segera bersiap, karena hari ini ada jadwal kuliah pagi.

***
Elroy Adelard namanya. Lelaki muda yang baru saja menginjak usia dua puluh tahun. Dingin dan angkuh serta tatapan yang tajam, yang mampu mengintimidasi semua orang di sekitarnya. Namun meski ia terlihat menyeramkan sekalipun, tetap banyak yang mengidolakannya. Kaum hawa terpesona pada ketampanan paras wajahnya sedangkan kaum adam iri dengan kejeniusan otaknya. Ia jarang masuk kelas, suka membuat onar namun IPnya selalu yang tertinggi di kelas.

“Woy bro!” Seorang laki- laki bertubuh jangkung berlari menghampiri Elroy yang tengah berjalan menuju gedung perkuliahan. Dengan santai ia merengkuh bahu Elroy.

Cih! Gue nggak suka sok akrab begini!

“Masuk juga lo hari ini.”

Elroy mengendikkan kedua bahunya acuh. Ia tak peduli. Suka- suka gue mau masuk mau nggak!

“Heh! Diem aja lo. Sariawan?”

“Ck berisik, Bas!

Bastian- lelaki yang menyapa tadi terbahak. “Salah siapa diem aja lo!”

“El, Bas!” Belum sempat Elroy membalas ucapan Bastian, sebuah teriakan menyebutkan nama keduanya. Spontan keduanya berbalik.

Tiga orang laki- laki tengah berjalan menghampiri keduanya. Adit, Tama, Kenzi. Adit yang sedikit tambun setengah berlari menghampiri Elroy dan Bastian.

“El, pak Amran ujian nih!” Ujarnya saat telah berada di depan Elroy. “Gue nyontek lo ya.” Lanjutnya tanpa basa- basi.

Kening Elroy mengernyit. Ujian? Pak Amran?

“Kapan?”

“Wets, lo nggak tahu?” Kini Kenzi yang bersuara. Laki- laki berwajah sedikit oriental itu telah berada di tempat yang sama. Dahinya sedikit mengerut mendengar pertanyaan Elroy.

“Nggak.”

“Eh Nyet, lo nggak ngabarin El?” Bastian melirik tajam pada Adit. Adit tergagap. Ia baru teringat kalau ia belum sama sekali mengabarkan Elroy soal ujian yang akan dilakukan hari ini. Adit benar- benar lupa, smartphonenya sudah beberapa hari tak ada pulsa. Ditambah ia tak melihat Elroy selama tiga hari belakangan, jadi wajarlah jika ia benar- benar lupa.

“Eh, gue nggak ada pula.”  Jawab Adit dengan mata bergantian menatap teman- temannya yang lain, 

“Lagian harus gue terus? Lo, lo atau lo juga bisakan?” Imbuhnya lagi tak mau kalah.

Elroy mendengus gusar. Orang- orang aneh!

Mendengarkan mereka berbual hanya membuat waktunya terbuang sia- sia. Ia lebih memilih meninggalkan keempat temannya.

Teman?

Cih, mereka hanya orang- orang yang menempel padanya. Mengaku sebagai teman atau sahabat. Atau dirinya yang membuang waktu bersama mereka. Sekumpulan orang munafik. Ah entahlah, baginya hidup adalah dirinya. Hanya ia sendiri.
Lagian toh kalau hari ini pak Amran mengadakan ujian, bukan masalah baginya. Kalau bisa dijawab, nggak bisa tinggalkan.

Nilai kecil?

Terserah!
***

“Parah tuh dosen! Kapan insyaf sih!”

“Insyaf?” Tama melongo mendengar kata- kata Adit yang duduk di sebelahnya. Mereka kini tengah berkumpul di kantin kampus. Raut keempatnya menekuk, sama- sama frustasi pasca ujian salah satu mata kuliah. Berbeda dengan Elroy, tampangnya biasa saja. Ia bahkan tak memikirkan ujian tadi.

Sudah dibilang! Bukan hal penting.

“Gila! Gue sama sekali nggak ngerti soalnya.” Kini Bastian yang mengeluh. Ia menegak habis minuman yang ada di depannya. Tanpa sisa. Melampiaskan kekesalannya.

“Gue bertaruh! Lo pasti ngulang kuliah dia!”

Bastian mendelik. Yang lain terbahak. Mulut Kenzi memang sadis. “An*ing lo! Doain temen buruk!”

“Dan Elroy lagi- lagi nilai tertinggi!” Timpal Adit ketus. Selain karena ujian yang memang sulit, ia juga kesal karena sikap Elroy saat ujian. Sama sekali tak membantu.

Elroy melirik tak kalah sinis. Cih! Peduli apa gue sama lo.

“Heh, Dit!” Sentak Bastian tajam, “Pak Amran killer gitu, siapa berani noleh!”

Pahlawan kesiangan! Gue nggak butuh lo bela.

“Oh, lo belain dia!” Seru Adit pada Bastian.

“Heh! Nggak usah teriak ke gue. Gue nggak budek!”

“Woy, woy, woy! Slow baby. Kenapa jadi pada ribut gini!” Tama menggeleng. Ia berusaha menengahi keributan kecil yang terjadi. “Lagian ujian udah kelar, ngapain dibahas lagi.” Tambahnya bijak.

Elroy yang duduk di sudut paling kanan hanya mendengus gusar. Manusia munafik! Tak berguna. Hanya buang waktu saja!
Termasuk gue, tawa getir Elroy dalam hati.

“El!” El menatap Bastian, ”Entar malam anak- anak ngumpul.”

Elroy hanya mengangguk. Kata ngumpul yang diungkap Bastian adalah sekumpulan anak- anak 
muda yang menikmati hidup di jalanan. Balapan liar.

“Motor lo siap?”

Elroy melirik sinis. “Cemen! Nggak ada yang berani pake motor sendiri!”

“Lah gue emang nggak punya motor,” Sahut Tama enteng. Ia memang cenderung polos diantara keempat teman- temannya. Ia bahkan tak meyadari kalimat yang diucapkan Elroy bernada sindiran. Mengejek lainnya.

“Gue masih mau kuliah,” Suara Kenzi lirih. Ia pernah mengikuti balapan sekali dan apesnya motornya ringsek karena terjatuh. Ayahnya marah yang mengetahui hal tersebut, dan mengancam takkan membiayai kuliah Kenzi jika terulang hal yang sama. Kenzi mati kutu.

“Lo kan tahu motor gue masuk bengkel.”

“Ck, kalau dia mah ba*ci. Mana berani ikut.” Bastian menatap tajam Adit. Adit hanya melengos. Diantara teman- temannya, dirinya mungkin pengecut. Tak pernah menyukai kegiatan- kegiatan ekstrem yang dilakukan mereka. Biarlah, yang penting ia sayang nyawa.

Elroy berdiri. “Jam 10. Tempat biasa.” Ucap Bastian saat menyadari Elroy akan meninggalkan kursinya.

Elroy mengangguk. “Ok.”

Keempatnya melongo melihat kepergian Elroy. “Masih aja dingin,” Celetuk Kenzi.

“Dan sadis.” Timpal Adit yang disambut anggukan keempatnya.

Kenapa gue ngerasa lo nggak pernah percaya kami, El.
***

Bug.

“Aw!”

“Nggak punya mata lo ya?”

Sebelah alis Elroy terangkat. Seorang gadis berada di depannya tengah memunguti beberapa buku yang bersebaran di sekitarnya. Buku gadis itu, karena Elroy tak pernah membawa buku di tangan.

“Ah, nyebelin!” Omel wanita itu kembali. Bibirnya mencebik kesal. “Bantuin kek. Minta maaf kek. Dasar manusia es!”

Elroy mengernyit. Apa yang sebenarnya diucapkan wanita ini? Kenapa mengomel tak jelas. Kan bukan ia yang menabrak, tetapi gadis itu terlihat kesulitan berjalan. Tidak seimbang karena beberapa buku tebal di tangannya.

Ah, sudahlah! Tak penting.

Tepat sebelum ia melangkah pergi, gadis itu berteriak. “Heh sinti*ng ya! Kabur- kabur aja lo. Minta maaf sini.”

Elroy mendengus. Siapa yang salah? Ia benar- benar tak peduli. Dilangkahkan kembali kakinya.

“Jadi bener lo manusia es ya! Nggak punya rasa peka!”

Sesaat Elroy terkesiap. Gadis itu telah berada di hadapannya. Menghalangi jalannya dengan nafas memburu dan tatapan tajam. Wajahnya memerah, menahan emosi.

“Terserah.”

“Minta maaf!” Ekpresi marah berpadu kesal terlihat jelas di wajah gadis itu.

“Nggak.” Elroy kembali berjalan. Peduli amat!

“Lo itu bener- bener nyebelin ya!”

“Aw”

Kaki kiri Elroy terangkat. Ia merasakan nyeri yang menjalar. Gadis gila! Bagaimana bisa dia dengan santai menginjak kakinya yang menggunakan heel kepadanya.

“LO…” RahanG Elroy mengeras. Tak pernah ada sekalipun orang apalagi perempuan yang menyakitinya. Biasanya ia dipuja dan disanjung.

Tetapi hari ini…

“Nggak semua cewek lemah! Ingat itu!” Kata perempuan muda itu tajam tepat sesaat sebelum berbalik meninggalkan Elroy yang menahan sakit di kakinya.

Siapa dia?

-tbc-

Selanjutnyanya Disini

Lampung, MEI 2015

3 komentar: