Rabu, 27 Mei 2015

Romansa Puber Kedua (4)

Romansa Puber Kedua (4)
Sebelumnya Disini
“Kamu mau menikah denganku?”
“Mas, ka…mu ser..serius?”
“Tentu saja. Kapan aku main- main denganmu?”
“A…Aku…,”
“Ya atau tidak?”
“…,”
“Oke. Diammu kuanggap ya.”
“Mmmaasss,”
“Aku tahu pasti kamu takkan menolakku.”
Tantri terjaga seketika. Kilas memori masa lalu tiba- tiba mampir di mimpinya. Kisah yang bahkan sudah tak pernah diingatnya hampir dua puluh tahun. Tetapi kini kembali datang.
Semua karena kedatangan mas Haris.
Ia sudah tua. Bukan lagi gadis belia. Namun mengapa pertemuan dengan Haris membuat gelombang kebahagiaan yang tak dapat diungkapkan. Laki- laki itu masih sama. Tatapan lembut dan tubuh jangkungnya tak berubah. Bahkan jika sebagian laki- laki setelah menikah akan bertambah gemuk, Haris tidak. Hanya rambutnya yang mulai berubah warna yang mengingatkan bahwa rentang waktu mereka terpisah sudah begitu lama.
“Ibu,” Gania beranjak dari sofa yag didudukinya lalu melangkah mendekati Tantri yang duduk berada di sebelah ranjang adiknya.
“Ibu pulang aja dulu. Istirahat. Biar Gania disini.”
Tantri tersenyum tipis. Kepalanya menggeleng. “Nanti kalau bangun, adikmu pasti nyariin ibu.”
“Tapi ibu itu butuh istirahat. Tadi aja ketiduran sambil duduk. Kan sakit badannya, Bu?” Ujar Gania tak mau kalah. Ia dapat melihat jelas kelelahan bercampur kesedihan  di wajah ibunya. Gania tahu ibunya adalah wanita tangguh dan mandiri. Sejak kepergian ayahnya, ibunya mengambil alih tanggung jawab kepala keluarga. Pasca lima tahun berlalu, Gania tak pernah mendengar sekalipun ibunya mengeluh dalam membesarkan dan merawat ia dan adiknya. Padahal ia seorang diri. Pernah terbersit dipikirannya untuk mencarikan pengganti ayahnya untuk ibunya, bagaimanapun juga ibunya perlu sandaran dan tempat berbagi. Apalagi kini ia makin beranjak dewasa, pun adiknya. Cepat atau lambat keduanya pun akan menikah dan membangun keluarga sendiri.
“Ibu nggak papa, kamu aja yang pulang, Mbak. Ganti baju sama ambil baju ganti juga keperluan lainnya.” Perintah Tantri pada sang putri sulung, “Malam ini kamu mau menginap juga?”
Gania mengangguk perlahan. Ibunya memang keras kepala. Tapi wajar saja, mengingat yang tengah terbaring sakit adalah seorang anak, ibu mana yang tega meninggalkan.
“Ya udah, aku pulang dulu. Ada lagi yang harus aku bawa, Bu?”
Sesaat Tantri terdiam. Berpikir. “Ambil uang ya, Mbak. Ibu nggak pegang uang banyak.  ATMnya di dompet.”
“Berapa?”
“Ya kamu kira- kira aja. Untuk jaga- jaga.”
Gania mengangguk. “Gania pergi sekarang ya, Bu.” Katanya seraya melangkahkan kaki ke sofa mengambil tasnya.
“Oh ya, Motornya diambil di rumah Pak Ardi ya, Mbak.”
Gania mengernyit. “Kok di rumah om Ardi?”
“Tadi ibu kesini dengan om Yuda.” Gania mengangguk. Om Yuda, adik bungsu ayahnya memang sudah pulang beberapa jam lalu setelah menyelesaikan urusan rumah sakit. Dia juga butuh istirahat.
“Ya udah, Gania pergi ya, Bu!” Katanya sambil mencium takzim tangan ibunya.
“Hati- hati ya,”
Tantri tersenyum menatap punggung Gania yang mulai menjauh. Putrinya sudah dewasa sekarang, sudah bukan anak- anak lagi.
Mas, kamu lihatkan? Gadis cilikmu sudah tak manja lagi.
-tbc-

Lampung, Mei 2015

Selanjutnya Disini

0 komentar:

Posting Komentar