Selasa, 19 Mei 2015

Cinta Skuter (6)


sebelumnya Cinta Skuter 5


“APA- APAAN INI!” Bimo membanting tabloid yang berada di tangannya. Tabloid malang. Hanya berisi lembaran kertas, tetapi kali ini menjadi korban kemarahan Bimo.
Wajah Bimo mengeras menahan emosi yang menggelegak. Tangannya mengepal keras. Matanya nyalang siap menerkam siapapun yang lewat dihadapannya.
“SH*T!” Selanjutnya umpatan dan isi kebun binatang tak henti mengalir dari bibir Bimo. Ia lupa ajaran orang tuanya. Tetapi begitulah  manusia. Kemarahan membuatnya melupakan etika berbahasa yang baik.
Geri, asistennya berdiri dengan lutut gemetar di sudut ruangan. Hampir dua tahun ia bekerja dengan Bimo, namun baru sekarang ia melihat Bimo marah. Marah dalam artian sesungguhnya. Selama ini jika ia melakukan kesalahan, Bimo hanya mengomel. Itupun sesaat selanjutnya semua akan kembali normal. Tetapi hari ini ia menyadari bosnya memiliki sisi lain yang membuatnya gemetaran sejak tadi. Tak sekalipun ia berani bersuara. Bahkan bergerak. Ia benar- benar takut.
Sejenak ia berpikir apa gerangan yang membuat bosnya marah tak keruan? Memang kalau diperhatikan beberapa minggu ini mood Bimo sedang buruk tetapi tak pernah marah hingga mengeluarkan sumpah serapah yang memanaskan telinganya.

Kenapa? Siapa?
Suara dering telepon mengagetkan keduanya. Bimo mendengus saat menyadari nama Aldi terpampang di layar. Dengan kasar ia mengangkat panggilan tersebut. Dia tahu bagaimana sahabatnya itu, karena jika tak ia angkat maka tak butuh waktu lama Aldi akan muncul di depan pintu apartemennya.
“APA?” Ucapnya membuka pembicaraan dengan nada bicara yang cukup ketus. Dia bukan orang yang suka basa- basi. Apalagi ini Aldi. Ia sudah hafal sekali jika Aldi meneleponnya karena hal yang baru saja dibacanya.
“…,”
Rahang  Bimo mengeras. Di ujung seberang telepon Aldi dengan serapahnya memakinya tak henti. Pedas. Sejujurnya ia sudah hafal khas seorang Aldi tapi kali ini bukan waktu yang tepat. Amarah masih menggelegak di dirinya terang umpatan Aldi makin mendidihkan emosinya.
“GUE NGGAK TAHU, BRENGS*K!” Lagi- lagi Bimo mengabaikan etika berbahasanya. “ELO DIAM. NGGAK USAH IKUT CAMPUR. PAHAM!”
Tak menunggu lama baginya untuk mendengarkan ucapan Aldi. Selanjutnya dengan cepat tangannya melayang melempar benda berbentuk segiempat tersebut. Geri  ternganga melihatnya. Itu… smartphone mahal, daripada dilempar buat gue aja!
Bel berbunyi. Geri tersentak. Sesaat ia bingung. Buka apa nggak ya? Sekilas ia melirik bosnya yang terlihat menyedihkan. Ia takut salah. Bukan tak mungkin ia akan menjadi korban pelampiasan selanjutnya.
“NGAPAIN LO BERDIRI DISITU?” Geri meneguk ludahnya susah payah. Benarkan dugaannya. Korban selanjutnya. “GUE BAYAR LO BUAT KERJA SAMA GUE BUKAN CUMA BERDIRI DISANA!”
Geri cepat- cepat melangkah menuju pintu. Ia berharap dalam hati orang dibalik pintu akan menyelamatkan hidupnya hari ini. Jangan sampai hari ini ia menjadi bulan- bulanan sang bos.
Geri boleh bernafas lega karena di depan pintu tampak sosok Indira, manajer Bimo. Mak Indi, begitu semua orang memanggilnya sosok yang cukup dihormati Bimo.
“Kalau lihat tampang lo kayaknya ada yang lagi ngamuk!”
Geri meringis. Ia memilih mengatupkan bibirnya rapat- rapat. Jarak pintu dengan sofa yang diduduki Bimo masih memungkinkan Bimo mendengar kata- katanya. Diam pilihan yang bijak, bukan?
“Ya udah sono balik!” Mak Indi tersenyum lebar, “Bimo urusan gue!”
Geri manggut- manggut. Kata- kata mak Indi menyejukkan perasaannya maka tak menunggu lama ia melesat meninggalkan ruangan tersebut sesaat sebelum mengucapkan terima kasih dengan suara lirih.
“So…” Mak Indi menghampiri Bimo, “Skandal apa yang lo lakuin kali ini, Bim?”
Bimo mendongak. Ia mendengus kesal. Indi sudah disini, sepertinya ia takkan bisa lepas. Mau tidak mau apa yang terjadi sebenarnya harus ia ceritakan. Apalagi mengingat sikap protektif Indi.
Huh, kenapa mereka sangat menyebalkan sekali!
-tbc-
Lampung, Mei 2015

selanjutnya Cinta Skuter 7

0 komentar:

Posting Komentar