Rabu, 27 Mei 2015

ELROY (2)

Bab II

Sebelumnya Disini
Arena balapan liar. Jalanan lengang di pinggiran kota. Namun tidak malam ini, anak- anak muda dalam keriuhan suasana. Beberapa gadis muda terlihat berlenggak- lenggok depan laki- laki yang sibuk menyiapkan motor mereka dengan pakaian super mini dan ketat membungkus tubuh.
Bastian tersenyum lebar. Malam ini jika kemenangan di pihaknya, salah seorang gadis pasti dengan antusias menawarkan dirinya. Dan ia berani bertaruh kalau pihaknya, dalam hal ini Elroy akan memenangkan pertandingan.
“El mana sih?” Kenzi sejak tadi menjulurkan lehernya mencari sosok bertubuh atletis dengan raut wajah dingin. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. “Udah jam 10, ketiduran apa ya?”
“Tidur, heh! Bisa kalah taruhan gue!” Keluh Adit.
“Cih! Mikir duit aja lo!” Sinis Bastian, “Ngapa nggak lo aja yang turun?”
“Alah kayak lo nggak aja, Bas!” Cibir Adit tak mau kalah, “Lo pasang paling gede.”
“Kok jadi kalian yang ribut?” Tama memicingkan matanya. Menatap teman- temannya bergantian. Bastian hanya mendengus gusar lalu mengisap rokoknya dalam- dalam. Benaknya dipenuhi pikiran tentang sahabtnya, Elroy.
Sahabat?
Bastian tersenyum kecut. Pengakuan sepihak. Elroy memang sering bersama mereka, namun jauh di lubuk hatinya Bastian merasa Elroy tak pernah menganggap Bastian dan ketiga sahabat lainnya sebagai sahabat.  Meski mereka sering menghabiskan waktu bersama, Elroy sejatinya tak pernah benar- benar “bersama” mereka.
Ada sisi gelap seorang Elroy yang tak pernah bisa disentuh siapapun.
“Heh Bastian!” Bastian menoleh. Beberapa laki- laki tampak mendekati kelompok kecil mereka. Bastian menduengus. Edgar and the gank. Kumpulan laki- laki yang sok hebat dan sok keren.
“Mana sobat lo, El? Dia takut sama gue, Heh!”
Bastian melengos. Ia tak berminat menanggapi tantangan sekaligus bualan Edgar. Siapapun di arena ini tahu betapa pecundangnya seorang Edgar. Jago ngomong tetapi nol besar. Dia hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya.
Ck, anak manja!
“Nggak salah?” Suara Adit penuh nada sindiran. “Bukannya lo yang takut kalo ada El! Karena bisa dipastikan elo pasti KALAH! BA*CI!”
Sesaat Bastian mengulum senyum tipis. Adit memang bisa diandalkan saat menghadapi Edgar. Pedas dan blak- blakan.
“Bangs*t lo!” Raut wajah Edgar mengeras. Ia menatap tajam Adit.
“APA!” seru Adit tak mau kalah.
“Woy, woy! Sant…,”
Bug.
Bastian mendelik. El berdiri dengan tangan terkepal. Edgar mundur terhuyung- huyung, nyaris jatuh namun berhasil ditahan teman- temannya.
“SIALAN LO!”
Suasana panas tak dapat dihindarkan. Emosi Edgar meledak. Dibantu teman- temannya ia menyerang Elroy. Merangsek membalas dendam atas pukulan sebelumnya. Bastian bergerak cepat. Dibelakangnya Adit, Kenzi ikut membantu. Perkelahian sengit tak dapat terhindarkan. Kedua kubu saling serang, tinju, pukul dan tendang.
“Berhenti! Berhenti!” Masih ada satu orang berpikir waras. Tama. Tetapi apalah arti satu orang jika dibanding banyak orang dengan kepala panas. Percuma!
Keributan jelas memancing banyak orang berkumpul. Dorong- dorongan brutal pun terjadi. Arena balap menjadi ajang adu otot.
DOR
Sebuah tembakan mengagetkan semua pihak. Sontak semua diam dan berhenti mencari arah suara.
“Jangan bergerak. Kami dari kepolisian. Tempat ini sudah dikepung!”
Apa!
Hah!
Whatt!
Spontan kumpulan muda- mudi tersebut terburai. Menyelamatkan diri masing- masing. Pekik teriakan pun terdengar bercampur tembakan peringatan polisi dari polisi. Elroy bergerak ke sisi kiri, mencari motor yang akan membawanya ke luar dari arena.
Ck, siapa pengkhianat disini!
“El, Gue ikut!”
Tama.
Elroy hanya menganggukkan kepala. Bukan saatnya berkomentar. Biarlah Tama mengikutinya.
Di tengah keriuhan suara dan langkah- langkah yang teka beraturan, keduanya bergerak cepat. Tama di belakang Elroy. Memegang erat kaos belakang laki- laki berwajah dingin. Sungguh ia tak ingin berakhir di kantor polisi. Ia tak mau masuk penjara.
Please El, selametin gue! Gue percaya lo.
***
“Muda sia- sia itu ya kalian!” Seorang laki- laki baya berkepala plontos berdiri tegak di halaman kantor polisi. Dihadapannya tampak barisan laki- laki muda dan wanita yang tertangkap pasca penggerebekan balapan liar. Anak- anak yang meresahkan!
“Mau jadi apa kalian ini?” Katanya lagi sembari menggeleng- gelengkan kepala.
“Kami sudah menelepon orang tua kalian semua. Ingat ini peringatan pertama! Jangan sampai kami menemukan kalian kembali. Hukumannya tentu saja menginap di sini.”
Batin Elroy berdecak. Sepertinya malam ini ia yang akan menginap di sini. Di kantor polisi. Anya masih syuting di luar kota, mengharapkan kedua orang tuanya terang tak mungkin. Mau tak mau ia harus menunggu hingga Anya kembali dan menjaminnya.
Argh, gara- gara Tama!
Entah bagaimana awalnya, Tama yang berada di belakangnya tiba- tiba jatuh. Elroy bisa saja berlari meninggalkan Tama, namun entah mengapa sisi hati nya mengingatkan untuk tak meninggalkan Tama. Apalagi melihat wajah meringis Tama, menahan sakit di kakinya.
Cih! Kenapa gue jadi peduli sama dia sih!
“Kenapa?” Bastian menyikut lengan Elroy. “Orang tua lo ya?”
Elroy melengos. Ia membuang muka. “Nggak usah dipikirin. Ntar orang tua gue aja yang jamin lo.”
Poor! Pahlawan kesiangan lagi!
“Nggak perlu!”
Bastian menggeleng. “Terserah lo! Tapi gue pastiin lo dijamin orang tua gue.” Elroy mengendikkan bahunya tak peduli. Dijamin atau tidak sama saja! Tak berpengaruh bagi hidupnya.
“ELROY ADELARD.”
Elroy menaikkan alisnya. Namanya dipanggil?
Sesaat ia menoleh ke Bastian. Bastian hanya mengangkat kedua tangannya. Jelas ia juga tak tahu. Ketiga temannya yang lain pun menatapnya, berarti mereka sama bingung dengan dirinya.
“ELRO…,”
“Ya. Saya pak!” Elroy berdiri. “Ibu kamu sudah datang.”
Butuh beberapa saat bagi Elroy mencerna kata- kata polisi yang memanggil namanya, ia menatap teman- temannya sebentar lalu melangkahkan kaki mengikuti polisi dengan tak percaya.
Benarkah mami?
“Sepertinya bukan gue yang butuh jaminan.” seringainya sebelum menjauh. . Keempat laki- laki itu teman- temannya hanya tersenyum pahit.
Dia memang beruntung.
***
Dalam remang cahaya di dalam mobil, Elroy dapat melihat kerutan halus di samping mata dan bibir ibunya. Meski begitu ibunya masih terlihat cantik meski lebih dari setengah abad. Hanya kurang sedikit senyuman untuk melengkapi keelokan wajahnya.
“Turun di depan!”
Ibunya menoleh, menatapnya sesaat kemudian menghembuskan nafas gusar. “Pulang, El!”
“Pulang?” Elroy mencibir, “Memang El mau pulang.”
“Pulang ke rumah!” Ucapan tegas ibunya sesat membuat Elroy terkesima. Tadi ia cukup terkejut ketika mendapati ibunya di kantor polisi, hingga ia hanya bisa menurut saat ibunya menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Meninggalkan motornya di kantor polisi. Sekarang ia dibuat kaget kedua kali ketika ibunya mengatakan pulang ke rumah.
“Kamu itu anak kurang ajar!”
“Bajin*an cilik!”
“Lebih baik mami tidak melahirkanmu!”
“Jika kamu masih jadi anak liar, lebih baik kamu keluar dari rumah ini!”
Elroy memejamkan matanya sejenak. Benaknya megingat hal yang membuatnya keluar dari rumah. Tinggal di kostan dan mengandalkan biaya hidup dari Anya, kakaknya.  Setahun sudah hidupnya jauh dari kemewahan keluarga, ketidakpedulian orang tuanya. Dan kini ibunya dengan enteng menyuruhnya pulang.
“BERHENTI!”
Ciiiiitttttt.
Ibunya mendelik. Teriakan Elroy menganggu konsentrasi menyetirnya. Tetapi belum sempat ia membuka suara untuk memarahi putranya, Elroy sudah membuka pintu mobil dan berlari ke luar. Ia meninggalkan ibunya sendirian yang teranganga akan sikapnya.
Elroy kabur.

-TBC-
Lampung, Mei 2015


SeLnjutnya Disini

0 komentar:

Posting Komentar