Senin, 01 Juni 2015

ELROY (3)

Bab III
Sebelumnya Disini

“Maaaamiiiiiiii!”
Perempuan itu tersenyum saat melihat seorang bocah laki- laki yang berlari menerobos pintu kamarnya dengan teriakan yang cukup nyaring. Masing dengan seragam yang melekat di tubuhnya juga sepatu belum terlepas, bocah itu langsung memeluk dirinya yang masih berada diatas ranjang.
“Hati- hati, Sayang!”
Bocah laki- laki itu nyengir lebar. Ia mengurai pelukan lalu menatap perempuan itu. “El sayang mami,”

“Mami juga sayang El!” sahutnya seraya mengecup kening anak lelakinya.
“Huh! Kalau udah sama mami, Papi dilupain!”
Sontak kedua ibu dan anak itu menoleh. Di depan pintu kamar sosok laki- laki dewasa bertubuh tegap sedang bersandar di pintu dengan tangan bersidekap di dada.
“Jadi nggak sayang papi, hem?” Laki- laki itu mendekat. Lalu duduk di tepi ranjang, masih dengan tangan bersidekap di dada.
“Nggak, El juga sayang papi!” Bocah lelaki itu melepaskan diri dari ibunya lalu merengkuh dada bidang ayahnya. “Pokoknya El sayang semuanya!”
Laki- laki itu tergelak. Sesaat diciumnya puncak kepala bocah laki- laki yang wajahnya sangat menyerupai dirinya. “Papi juga sayang El.”
***
Sh*t!
Sialan!
Anj*ing!
Ngapain sih dia nyelametin gue?
Buat apa?
Nggak penting banget!
Elroy terus memaki dalam hati. Ia masih gusar karena melihat ibunya. Entah sudah berapa bulan ia tak bertemu wanita itu. Wanita yang tak ingin lagi ia temui. Wanita yang kini sangat dibencinya.
Kenapa gue lahir dari perempuan itu?
Argh, erangnya frustasi. 
Ugh! Gara- gara Anya ini! Entah kemana perempuan itu?
“El,”
Ck, panjang umur dia!
Elroy melengos. Anya sudah berada di kamar kostnya. Elroy tak heran karena Anya pernah menduplikat kunci kamarnya. Tapi kini ia tak peduli. Ia masih kesal karena bukan kakaknya yang datang tetapi perempuan lain.
“El,”
Elroy tak bergeming. Ia memilih merebahkan tubuhnya ke ranjang. Mengabaikan Anya, seolah- olah tak ada siapapun di kamarnya.
“Gue tadi ke kantor polisi tapi katanya lo udah dijemput sama…,” Anya berkata lirih, mami.”
Elroy memejamkan matanya rapat- rapat. Berharap kesadarannya hilang dengan cepat. Ia lelah teramat lelah. Tetapi kinerja tubuhnya melambat. Buktinya telinga masih mampu mendengar kata- kata Anya.
Sorry El, gue udah ngusahain secepat mungkin balik.”
Terserah! Gue nggak peduli!
“El!”
Anya mendesah kecewa. Keras kepal! “Lo kenapa nggak balik aja sih, El?”
“Kalau lo di rumah kan gue juga lebih tenang!” Tambah Anya lagi. Ia tak peduli jika mata Elroy terpejam. Bahkan pemuda itu menggerakkan tubuh menghadap dinding, memunggunginya. Jelas- jelas Elroy menghindari topic pembicaraan itu.
“Gue capek, El!” Bisiknya pelan. “Gue pengen kayak dulu lagi.”
“LO PIKIR LO AJA YANG CAPEK! GUE JUGA!”
Sesaat Anya terkejut. Elroy sudah menegakkan tubuhnya. Menatap Anya tajam. “TAPI APA MEREKA SADAR?”
“NGGAK! GUE YAKIN PASTI MEREKA MASIH SAMA! MASIH SIBUK SALING MENYAKITI!”
“EL!” Suara Anya meninggi menegur Elroy. “Sopanlah sedikit. Mereka itu orang tua kita juga.”
“Orang tua! Cih!” Elroy berdecih, “Mereka aja nggak mau punya anak kayak gue!”
Anya menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia merasa tak becus menjadi kakak karena mengingatkan hal yang menyakitkan adiknya.
“Please Kak, tinggalin gue!”
Anya tersentak. Dipandanginya sosok Elroy yang menundukkan kepala dalam- dalam. Hati Anya merasa dicubit.  Sudah hampir dua tahun adiknya meninggalkan rumah. Memilih menjauhkan diri dari kekisruhan keluarga. Mencoba hidup tenang jauh dari keributan. Ia pikir Sedikit banyak Elroy sudah dapat menikmati hidup meski kenakalan- kenakalan kecil dibuatnya, Anya tak pernah mempermasalahkan. Ia membiarkan adiknya menikmati masa remajanya dengan sukacita, tetapi sepertinya ia salah. Kesakitan itu masih ada. Luka itu terlalu dalam.
Siapapun tak ada yang dapat menyentuh luka itu karena Elroy memilih menguncinya rapat- rapat tanpa berniat mengobatinya.
Anya bangkit. Ia mendekati Elroy mengusap lembut kepala sang adik. “Gue pergi. Ada apa- apa hubungi gue. Lo tahu kalau gue sayang banget sama lo, El!” Katanya sembari mengecup kepala Elroy.
Dan tak lama Elroy merasa pintu kamarnya tertutup menyisakan dirinya seorang diri.
Gue juga sayang lo, Nya.
***
“AW!”
“HEH! Kalau buang botol jangan sem…, LO!”
Mata Elroy terbelalak. Didepannya berdiri gadis yang sama yang pernah bertabrakan dengannya beberapa hari lalu. Mimik wajah kesal terpancar di wajahnya yang putih. Memerah menahan marah. Dan kini bukan buku yang ada di genggamannya tetapi…
Elroy mendelik. Botol minum yang gue buang tadi!
“LO ITU BENER- BENER NGGAK PUNYA MATA YA?”
Ck! Elroy berdecak dalam hati. Telinganya masih normal.
“ITU TEMPAT SAMPAH!” Telunjuk kanan gadis itu mengarah ke sisi kanan. “DIBELAKANG LO JUGA ADA. MATA LO MASIH BISA LIHAT KAN!”
Cih! Sialan nih cewek!
“Bisa nggak sih lo ngomong biasa aja!” Elroy berusaha bersikap tenang. Lawannya bukan laki- laki yang dengan mudahnya ia bisa hajar karena berteriak- teriak kencang. Elroy memiliki prinsip seorang laki- laki yang memukul perempuan tak lebihnya dari seorang banci.
Sesaat Elroy tersenyum kecut. Dan banci itu mengingatkannya pada seseorang.
“Ada yang lucu?”
Elroy mengerjap. Memasang kembali ekpresi datarnya. “Nggak.”
“Terus ngapa lo senyum gitu? Narik perhatian gue biar bisa maafin lo gitu?”
Elroy mendengus. “Nggak usah GR! Gue  nggak minat dengan gadis tepos kayak lo!” Katanya dengan pandangan mengejek pada gadis itu.
“Apa lo bilang?” Gadis itu mendelik kesal, “Lo bilang gue tepos?”
“Iya. Kenapa?”
“Lo!”
“AW!” Spontan Elroy mengangkat kaki kanannya. Untuk kedua kalinya ia harus diinjak oleh perempuan. Dan sialnya perempuan yang sama. Mata Elroy pun menatap tajam gadis yang kini mengembangkan senyumnya dengan lebar.
“Satu sama! Botol lo ngenain kepala gue, sepatu gue ngenain kaki lo. Jadi kita IMPAS!” Ucapnya ketus sesaat sebelum meninggalkan Elroy.
Cewek sialan! Awas kalau ketemu!
***
Selanjutnya Disini

Lampung, Juni 2015

0 komentar:

Posting Komentar