Selasa, 09 Juni 2015

Romansa Puber Kedua (6)


Romansa Puber Kedua (6)

Sebelumnya Disini

Tantri menghela nafas berat. Ia mengusap wajahnya dengan gusar. Kembalinya Haris benar- benar mengusik hidupnya. Perlahan, kebaikan dan kepedulian lelaki itu membuka kembali romansa kisah mereka. Dan tak dapat dipungkiri Tantri menikmatinya. Apalagi disaat ini dirinya sedang mengalami banyak masalah pasca kecelakaan Galang. Sejujurnya Tantri sangat membutuhkan tempat bersandar atau sekedar bercerita.
“Bu,”
Tantri mendongak. Beberapa saat kemudian ia tersenyum. Gania muncul di depan pintu kamarnya. Sejak kecelakaan adiknya,  Gania memang selalu menyempatkan pulang ke rumah setiap weekend.
“Loh kapan datang, Mbak?”
“Barusan kok, Bu.” Jawab Gania. Dengan takzim, ia mencium punggung tangan ibunya lalu mendudukkan tubuhnya di sebelah ibunya yang juga tengah duduk di tepi ranjang.
“Ya udah makan dulu sana!”
Gania tersenyum samar. Sesaat mulutnya membuka namun menutup kembali. Tantri mengernyit melihatnya. Anak ini pasti ada yang ingin dikatakan.
Apa ada biaya yang dibutuhkannya?
Tantri mendesah. Gania kini duduk semester akhir, terang anaknya sedang membutuhkan banyak biaya untuk PKL serta skripsinya. Biaya yang tak sedikit tentunya apalagi ia baru saja menghabiskan banyak biaya untuk perawatan Galang. Meski terdapat asuransi kesehatan untuk Galang, tetap saja ia harus mengeluarkan biaya untuk hal- hal yang tak masuk dalam asuransi. Dan hal- hal itu nyaris menguras isi tabungannya.
“Kenapa, Mbak?” Tanya Tantri lembut. “Butuh biaya lagi?”
“Ehmmm,” Wajah gelisah Gania sudah merupakan bukti jelas bagi Tantri.
“Berapa?”
Gania menghela nafas dalam. Dengan takut- takut ia menyebutkan jumlah uang yang dibutuhkannya, “Ssa..satu juta setengah, Bu.”
Tantri mengangguk- anggukkan kepalanya. Satu juta lima ratus ribu, nominal besar untuk kondisi keuangannya saat ini. Tetapi bagaimanapun juga ia tak mungkin mengatakan hal itu kepada anaknya. Bagaimanapun caranya ia harus mencari uang tersebut. “Ya udah nanti ibu cari dulu uangnya ya, Mbak. Kapan terakhir,”
“Dua minggu lagi, Bu.”
“Ya udah, nggak usah dibuat pusing. Insyaallah ada,” Ujar Tantri seraya mengusap- usap lengan Gania. Ia tahu putrinya tak enak hati mengatakan kebutuhannya, tetapi juga gadis ini bisa apa.
“Tttaapi uangnya ibu bukannya udah habis buat Galang…,”
Tantri tersenyum tipis. Benar dugaannya. Gania cukup sensitive dan memahami kondisi keluarga. “Sssttt… rezeki udah diatur. Mbak tenang aja. Insyaallah pasti ada aja, Mbak.”
Gania manggut- manggut. “Makasih ya, Bu.”
“Ya udah yuk akan dulu. Kamu baru nyampe kan pasti belum makan,” Tantri berdiri menarik tangan putrinya untuk mengikutinya, “Tadi dikirimin bude Ria soto ayam loh!”
Gania sumringah, “Soto? Ada apaan emangnya di rumah bude?”
“Mau pengajian nanti malam,”
Gania beroh ria. Tiba- tiba ia ingat sesuatu, “Oh iya Bu, tadi ada om Haris di depan?”
Langkah Tantri mendadak berhenti. “Mas Haris?”
Lagi!!

Selanjutnya Disini

3 komentar: