Sembilan
Sebelumnya Gendis (8)
Kantin sudah ramai ketika Gendis tiba. Ia sedikit terlambat karena masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda karena kedatangan Marvin.
Ck, kenapa lelaki itu masih ngotot mendekatinya sih? Gendis menggerutu dalam hati.
Apa tadi katanya?
“Sebelum janur kuning melambai, tak ada halangan untukkku untuk mendekatimu.”
Yak, dia kira masalah pernikahan masalah main- main. Dasar sinting!
bodoh!
“NDIS!”
Kepala Gendis terangkat. Ia menemukan Kinar berada di deretan tengah kantin. Tangan gadis itu melambai ke arahnya. Gendis mengangguk lalu melangkah mendekati sahabatnya.
“Udah gue pesenin.” Ucap Kinar sesaat setelah ia duduk di kursi yang berada di depan Kinar. “Daripada lama.”
Gendis mengernyit, “Segitu niatnya lo, sampai pesenin gue makan!”
Kinar nyengir. “Udah ah buruan cerita!” Buru Kinar tak sabar. Gendis terkekeh sekilas namun tak lama ia menceritakan tentang kejadian yang sebenarnya terjadi di lobby kemarin sore. Ada Marvin yang bermaksud mengantarnya pulang, kedatangan Elroy, 2 kalimat yang tak diduga hingga ditutup perjalanan mereka berakhir di nasi goreng kaki lima tanpa penjelasan lebih lanjut. Ceritanya cukup singkat, karena Gendis tak suka bertele- tele.
“Wohooo… cool amat El itu,” Gendis mendelik. Jadi dari tadi cerita, justru itu tanggapan Kinar pertama kali. Ck,
“Iya kul. Kulkas!” Sungutnya kesal. “Please deh Nar! Yang serius ngapa nanggepinnya. Pusing neh gue! Mana si Marvin juga berulah lagi.”
“Wow! Pak Marvin, Ndis.” Ralat Kinar, “Dia masih klien kantor kita loh!”
Gendis mengendikkan bahunya. “Tau ah!”
Obrolan mereka terputus karena seorang pelayan datang mengantarkan pesanan makanan. Gendis tersenyum tipis saat menyadari makanan yang dipesan Kinar untuknya. Semangkuk soto betawi dan segelas es teh manis, benar- benar menggugah selera.
“Gue tahu kalau makan di kantin lo paling doyan sama soto.” Ucapan Kinar menyadari perubahan mimik Gendis. “Ck, udah kayak nggak ada yang lain aja keleus!”
“Ish, berisik! Mending makan ah. Laper gue.”
Kinar terbahak. “Memang makan adalah obat stress terbaik.”
Gendis tertawa. Kepalanya manggut- manggut, namun ia tak membalas ucapan Kinar. Ia memilih menikmati makan siangnya. Mengabaikan sejenak permasalahan di hidupnya.
Selang beberapa menit, Kinar telah menyelesaikan makannya terlebih dulu. Ia menatap sahabatnya intens lalu menghembuskan nafas berulang kali. Gendis terlihat lelah, lingkaran hitam di bawah matanya. Kinar yakin semalam gadis itu tak bisa tidur nyenyak.
Seharusnya dia bahagia?
“Lo harusnya to the point langsung deh, Ndis sama El.”
“Hmm,” Gendis mendongak. Kinar mengangguk. “Kalau dia nggak ngejelasin lo yang nanya duluan. Nggak usah gengsi. Hak orang untuk berbicara kok! Apalagi ini sangkutannya sama masa depan lo. El nggak bisa asal ngeklaim gitu,”
Gendis mengerjap- ngerjapkan kedua matanya tak percaya. Sungguh dia mengenal karakter Kinar yang biasa konyol dan ngawur, tapi kali ini dia berbicara serius. Astaga!
“Aish, nggak usah gitu juga ekspresi lo!”
Gendis terkekeh. Ia meneguk minumannya dulu baru berkata, “Iye. Gue ngerti. ”
Kinar manggut- manggut, “Eh terus Marvin?”
“Buat lo aja. Ikhlas lahir batin gue.”Kelakar Gendis yang kontan membuat Kinar bergidik.
“Player? Ogah ah! Mending tawarin sama Vania aja.”
Dahi Gendis mengerut. “Kok Vania?”
“Ai, lo nggak sadar ya pas kita lunch kemarin sama tingkah Vania ke Marvin. Apalagi waktu di mobil, pas lo pergi sama El itu. Haduh, pusing pala baby lihatnya.”
“Masa?”
Selanjutnya topic pembicaraan berganti dengan cepat. Sesaat keduanya lupa akan permasalahan utama. Tapi mungkin sebaiknya begitu, ada hal lain yang bisa membuat Gendis tak melulu memikirkan persoalannya. Hingga akhirnya jam istirahat berakhir, keduanya pun pergi meninggalkan kantin untuk melanjutkan pekerjaan kembali.
***
Gendis menghela nafas berat. Sejak pagi konsentrasinya sudah pecah. Meskipun tadi, saat makan siang ia sempat larut dalam obrolan dengan Kinar tetap saja ketika kembali ke mejanya, kepalanya dilanda pusing karena memikirkan banyak hal.
Gendis tak menyangka dalam kurun waktu beberapa hari hidupnya berubah menjadi tak tenang. Dulu ia tak seperti ini. Menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, menikmati tidurnya dengan nyenyak walaupun sesekali pikiran tentang Elroy melintas namun ia memilih melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Ia bisa membaca buku, mencoba resep, atau hang out bersama Kinar atau teman- temannya yang lain.
Tapi sekarang?
Kepalanya mendadak ingin pecah karena ulah Elroy dan Marvin.
Ngomong deh lo sama El, Ndis.
Tiba- tiba Gendis teringat saran Kinar. Sebenarnya solusi masalahnya mudah, berbicara langsung dengan lelaki itu. Kalau memang benar, seharusnya mereka mulai memikirkan rencana pernikahan dari mulai tanggal, busana, EO yang akan digunakan. Dan kalau ia sudah menikah bukankah Marvin akan mundur dalam hidupnya.
Good idea! Gendis tersenyum puas.
Ck, pede sekali! Gimana kalau nggak?
Eh?
Iya. Gimana kalau nggak? Gimana kalau itu cuma lelucon Elroy. Kebetulan saja lelaki itu hendak menolongnya lepas dari Marvin. Dan Demi Tuhan, mereka sudah berpisah sekian tahun masihkan perasaan itu ada…
Seharusnya itu pertanyaan untukmu sendiri, Ndis!
Gendis meringis. Ia melupakan fakta yang paling penting. Perasaannya. Soal hati. Tentang cinta itu sendiri.
Masihkah?
***
“Lo dimana?”
“Udah di depan kantor lo nih! Buruan turun, gue males parkir!”
“Iya iya. Gue juga udah keluar ruangan.”
Gendis melangkah buru- buru. Sesaat diputuskannya panggilan lalu bergerak cepat memasuki lift. Sore ini bagaimanapun caranya dia tak ingin berurusan baik Elroy maupun Marvin. Lagipula dia perlu berbicara dengan seseorang.
Seseorang yang paling mengerti dirinya juga Elroy.
Saat sudah berada di depan kantor, Gendis celingukan. Mencari sosok yang baru beberapa menit dihubunginya. Dan ia tersenyum lebar saat menemukan sedan hitam melaju lambat di depannya. Dari balik kaca ia sudah tahu siapa pengemudinya.
“Buruan masuk!” Pintu sisi penumpang terbuka. Gendis buru- buru masuk. Senyum tersungging di bibirnya.
“Thanks ya, Ba..!”
“Hai, Ndis!”
Kepala Gendis memutar dan ia terbelalak saat mendapati penumpang di kursi belakang. “TAMA!” Pekik Gendis riang. “Udah lama banget ya nggak ketemu?”
Tama tertawa, kepalanya mengangguk. “Lo sih sibuk mulu.”
Gendis mengernyit, “Nggak kebalik?”
Kekehan terdengar dari mulut Tama. “Ya deh next time kita janjian ketemuan. Tapi Cuma berdua ya?”
“Hei, kenapa gue ngerasa itu ajakan kencan ya.”
“Ya itung- itung sebelum lo merit, Ndis!”
Hah! Apa Tama tau?
Gendis melongo. Tama terbahak. “Nggak sadar umur lo, Ndis? Kita- kita ini kan udah saatnya memikirkan rumah tangga. Masa iya lo ngejomblo terus.”
“Oh.” Mulut Gendis membulat. Ia manggut- manggut. Tama hanya asal berbicara, tidak mengarah ke persoalannya. Gendis pun memutar tubuhnya menghadap ke depan. Ia melirik Bastian, mulutnya gatal ingin berbicara tapi ada Tama di kursi belakang.
Gendis masih belum ingin semua orang tahu. Dirinya pun akhirnya memilih mengalihkan pembicaraan.
“Kenzi, Adit nggak ikut?”
“Kenzi lagi di luar kota. Adit balik lah.” Sahut Bastian di sebelahnya, “Eh lo tahu nggak Adit mau merit?”
“Ohya? Serius?”
Gendis dapat melihat anggukan kepala Bastian. “Dua bulan lagi. Eh tanggal berapa, Tam?”
“Tiga puluh.” Tama menjawab pendek.
“Wah nggak nyangka Adit duluan. Gue pikir lo, Tam?” Ujar Gendis seraya melihat Tama dari kaca yang berada di atas dashboard.
“Gue kan nungguin lo, Ndis kapan siapnya.” Canda Tama yang sontak membuat Gendis tergelak.
“Tama jago ngegombal nih sekarang.” Kata Gendis di sela tawanya, “Ck, nggak ingat waktu kuliah. CUPU!”
“Aish lo Ndis!” Gerutu Tama kemudian, “Masa lalu… biarlah masa lalu… Jangan kau ungkit jangan kau ingat lagi…”
Sontak tawa pecah. Tama mendendangkan sebuah lagu dangdut yang cukup populer untuk melengkapi kata- katanya. Bahkan Bastian pun ikut terbahak di balik kemudi.
“Ck, lo tuh ya masih aja bisa ngebanyol!”
“Ya kalau gitu nggak Tama namanya.” Ujar Tama bangga seraya meneruskan bernyanyi. Gendis menggeleng geli melihatnya. Tak lama Gendis merasa laju mobil melambat lalu berhenti tepat di sebuah rumah makan yang cukup dikenal.
“Yuk turun!” Ajak Bastian yang dibalas anggukan oleh Gendis. Dia baru saja keluar mobil Bastian saat sebuah suara menyapa.
“Hai, Ndis!”
Gendis terbelalak kaget. Belum sempat dia berucap, suara Bastian terdengar. “Baru juga dateng lo, El!”
Yak, apa-apaan ini!
“Pas tadi lo nelepon mau ngajakin ketemuan, ada Elroy di kantor gue. Dia juga yang inisiatif ngajak yang lain. Udah lama banget kita nggak ngumpul rame- rame. Walaupun sayang sih Kenzi sama Adit nggak ikut.”
Gendis terdiam. Dia mencoba mencerna ucapan Bastian. Argh, ini sih sama aja bohong. Mau menghindar yang ada dia menyodorkan diri sendiri.
Sial, Bastian!!
=tbc=
Selanjutnya Gendis (10)
good post mbak
BalasHapustengkyuuuw Pak
HapusGendis dikeroyok.... Wkwkekwk... El nya tuh banyak temen sih....
BalasHapusyuhuwww Mbak. Maksih udah terus ngikutin
HapusEeeeeaaaaaa dia dtg! Dia ikutan dtg!!!!
BalasHapusNi emput yg komen yah kk bkn Pap :p