Enam
Sebelumnya Gendis (5)
Gendis duduk dengah gelisah. Hampir dua puluh menit berlalu, ia dan manusia di hadapannya masih bergeming. Diam, tak bersuara membuat Gendis menggeram kesal. Sungguh ini membuang- buang waktu. Padahal pekerjaan di kantor masing menunggu untuk diselesaikan. Gendis bisa membayangkan bagaimana orang- orang kantor kelabakan mencarinya.
Orang kantor?
Sial, Gendis mengumpat dalam hati. Ia belum menghubungi siapapun, termasuk Kinar. Dia yakin sahabatnya menanti kabar darinya. Sesaat Gendis menghela nafas berat, sebenarnya buat apa dirinya mengiyakan ajakan Elroy pergi kalau akhirnya seperti ini. Tak ada percakapan. Hening.
Lebih baik kembali ke kantor saja!
“Mau kemana?”
Gendis yang baru saja bangkit dari kursi menoleh. Elroy menatapnya tajam. “Balik ke kantor.” Jawab Gendis pendek. Ia memang menampilkan sikap tenang dan santai, padahal jauh di dalam hatinya ia gugup. Sangat gugup. Bahkan ia merasa jantungnya seakan mau meloncat dari tempatnya.
“Duduk!”
Eh!
“Duduk Ndis, atau kamu mau aku pangku.”
Mata Gendis melebar seketika. Rona merah tak dapat ditutupi dari wajahnya. Ia malu dan marah secara bersamaan. Apa- apaan dia?
“Ya terus ngapain gue di sini kalau cuma jadi patung.” Balas Gendis ketus. “Mending gue kerja. Dapet duit jelas.”
“Lo tuh masih sama ya. GALAK!”
Wajah Gendis bertekuk. Dia tak suka disebut galak. Terkesan seperti ibu tiri Cinderella. Lebih baik disebut tegas daripada galak.
“Udah ah gue balik. “ Ucapnya sembari membalikkan tubuh. Ia berencana pergi secepatnya dari hadapan Elroy namun sayangnya geraknya tertahan karena cekalan tangan Elroy.
“Duduk, Ndis! Duduk!” Gerutu Elroy seraya mendudukkan Gendis di tempatnya semula. “Susah amat sih dibilangin. Atau emang mau kamu duduk di pangku…,”
Refleks Gendis menutup mulut Elroy. Mereka kini berada di sebuah café yang cukup ramai pengunjung. Gendis tentu tak ingin kalimat yang diucapkan Elroy mengundang perhatian banyak orang.
“Ya udah buruah ah mau ngomong apa!” gendis menglah. Ia kembali ke kursinya. Detak jantungnya makin berirama tak menentu membuatnya berulang kali menghela nafas panjang.
“Kamu nggak kangen aku?”
Hah!
Gendis melongo. Pertanyaan macam apa itu?
“NGGAK.” Bohong! Gendis mencibir dalam hati. Mulutnya jelas tidak sinkron dengan apa yang sebenarnya dirasakan. Jelas dia kangen. Rindu setengah hidup. Tetapi mengingat tujuh tahun tak ada kabar berita mendadak emosinya meluap.
Gue nggak peduli!
“Kamu bohong?”
Gendis mendelik. Sekilas ia menemukan binar geli di mata Elroy. Ck, seberapa tahu sih dia tentang diriku?
“Ada yang mau lo jelasin ke gue?” Gendis tak sabar. Bila Elroy tak bercerita lebih baik dia sendiri yang menanyai.
“Tentang?”
“Tujuh tahun yang telah lewat.” Sahut Gendis dingin. Ia harus mengingatkan Elroy sudah bertahun- tahun lamanya terlewati dari janji yang dulu terucap.
“Ada yang pernah janji sama gue nggak bakal ngelupain gue meski dia pergi jauh.” Lanjut Gendis lagi.
Elroy menggeleng, “Ck, nggak ada yang berubah dari kamu. Masih menyebalkan.”
Gendis melotot. Nggak kebalik? Bukannya dia yang nyebelin! Dan apa maksudnya? Pertanyaan apa dijawab apa, gerutu Gendis.
“Ck, yang nyebelin dari dulu itu lo, El!”
“Akhirnya..,”
Sebuah kerutan tercetak di dahi Gendis. “Akhirnya apa?” Tanyanya bingung.
“Akhirnya kamu sebut juga namaku. Kamu sadar nggak sih dari tadi kita duduk, kamu sama sekali nggak panggil namaku. Cuma lo lo aja! Kukira kamu lupa namaku.”
Gendis ternganga. Di satu sisi dia tak menyangka hanya karena sebuah sebutan, Elroy begitu memperhatikan dan di sisi lain ia juga takjub, dulu lelaki dihadapannya dikenal datar, dingin dan irit bicara. Dan tadi kalimat yang diucapkannya cukup panjang bahkan terdengar merajuk.
Ck, bukan El banget!
“Ndis!”
“Heh,” Gendis terkesiap.
“Kenapa?”
“Nggak.”Ia menggeleng, “Nggak papa.”
Sesaat hening. Gendis bingung mau berbicara apa, sedangkan Elroy masih berdebat dalam hati akankah ia mengatakan semuanya sekarang.
“El!”
“Ndis!”
Sejenak keduanya berpandangan. Namun tak lama tawa mengalir dari bibir masing- masing. Tawa yang memecah kekakuan diantara keduanya.
“Lomau ngomong apa?”
Elroy melirik jam di pergelangan tangannya. “Lo mau balik ke kantor nggak?”
HAH!
“Gue anter!”
Apa! Ck, Pertanyaanku…
“Ayo, Ndis! Atau lo lebih senang diomelin bos lo!”
Gendis membuang nafas gusar. Ia tahu tak mudah bertanya dengan seorang Elroy Adelard. Bertahun- tahun lalu ia pernah mengalaminya. Elroy cukup pandai untuk menutupi semuanya sendiri. Seperti tak pernah ada yang terjadi. Padahal kenyataanya belum tentu seperti itu. Dihelanya nafas panjang, mungkin belum sekarang.
“Yaudah yuk!” Gendis meraih tasnya lalu bangkit ikut menyusul langkah Elroy. Sesaat ia tersadar.
“Jadi tante Astrid apa kabar?
“Baik. Teramat baik malah.”
“Syukurlah.” Ucap Gendis dengan senyum lebar terulas di bibirnya. Ingatannya kembali pada sosok Astrid, mami Elroy. Wanita itu masih cantik bahkan diusianya yang sudah tidak muda. Kira- kira bagaimana dia sekarang ya?, bisiknya dalam hati.
“Tante Astrid ikut pulang kan?”
“Nggak.” Elroy menggeleng perlahan. “Selamanya dia nggak akan pulang ke sini. Beliau sudah sangat tenang di sana.”
Perlu beberapa detik untuk Gendis mencerna kata- kata yang diucapka Elroy. “Ma..maksud e..elo?”
“Mama sudah meninggal, Ndis.”
Dan tubuh Gendis membeku mendengarnya.
=tbc=
Selanjutnya Gendis (6)
Lampung, November 2015
Aaah... Astrid udah meninggal? Sedih banget...
BalasHapus:((
BalasHapusnice post mbak.
BalasHapus