Tiga
Sebelumnya Gendis (2)
Malam sudah semakin larut, namun mata Gendis masih belum terpejam. Pikirannya sibuk mengelana ke sosok yang hampir bertahun- tahun tidak ditemuinya. Kabar yang disampaikan Bastian benar- benar merusak konsentrasi serta pola tidurnya.
Ck, tidur Ndis! Tidur! Teriak Gendis dalam hati. Ia berusaha menutup matanya rapat- rapat. Ingat besok kerja!
Lagian kenapa pula sih kamu masih mikirin dia?
Dia kan sudah melupakanmu. Omong kosong semua janji- janjinya sebelum berangkat.
Jadi buat apa pula kamu repot memikirkannya.
Arrrggh, Gendis mengerang frustasi. Batinnya berperang. Sejujurnya dia memang sudah membuang semua harapan pada Elroy sejak lelaki itu menghilang. Meski lelaki itu pernah memiliki tempat sendiri di hatinya tetapi dia berusaha realistis. Siapa dia? Toh, mereka saat itu hanya sepasang remaja yang terjebak dalam romansa masa muda. Saling simpati, mendukung dan mengagumi. Tak ada ikatan dan hubungan yang jelas.
Tetapi kini tujuh tahun telah berlalu. Berita kepulangan lelaki itu benar- benar membuyarkan segala pendiriannya selama ini. Merontokkan tembok yang susah payah dia bangun. Jauh di dalam lubuk hatinya Gendis sadar ia rindu lelaki itu. Keinginannya bertemu menjadi lebih besar. Mengingat keadaan keluarga Elroy yang berantakan, bukan tak mungkin lelaki itu didera permasalahan yang sama di negeri sana hingga membuatnya tak diketahui keberadaannya.
How are you, El?
***
“MBAK! Woy!” Gendis terkesiap kaget. Ia bahkan nyaris menumpahkan gelas minuman yang berada di atas mejanya, tetapi beruntungnya tangannya masih refleks menahan gelas itu. Hingga tak berakibat fatal pada keadaan meja kerjanya. Sesaat ia menghela nafas lalu mendongak. Matanya mendelik pada sosok Vania yang berada di depan mejanya.
“Nggak usah teriak- teriak bisa kali.” Semprotnya kesal yang hanya disambut cengiran Vania. Gadis itu malah mencibir.
“Salah siapa ngelamun?” Gendis makin melotot, “Gue sampe udah bosen manggilin lo tau, Mbak!”
Kening Gendis mengerut. Masa iya sampai segitunya?
“Lo itu mikirin apa sih mbak seharian gue lihat bengong aja. Ngelamun mulu! Ck, nggak asik ah!”
“Eng..nggak! Nggak ada apa- apa.” Jawab Gendis cepat. Sialan gara- gara mikirin Elroy yang mau balik ke Indonesia, konsentrasi Gendis bubar. Jika semalaman ia tak bisa tidur, sekarang seharian di kantor dihabiskan dengan melamun.
Astaga, Ndis! Wake up, Girl…
“Udah ah sana! Anak kecil mau tahu aja.” Lanjut Gendis yang membuat Vania merengut seketika.
“Ish, pelit sih lo, Mbak!”
“Gue bukan artis ya. Jadi privacy harus dilindungi.” Balas Gendis sedikit jutek. Alih- alih tersinggung Vania justru tertawa terbahak- bahak.
“Lagi M ya lo, Mbak? SENSI!” Gendis mengendikkan kedua bahunya acuh. “Nih! Gue kasih obat galau.”
Gendis mengernyit saat sebuket bunga disodorkan Vania. Ia baru sadar teryata sejak tadi Vania membawa bunga di tangannya. “Bunga?”
Vania mengangguk lalu nyengir, “Bukan dari gue kok, Mbak.”
“Ck, nggak mungkin juga. Lo kan kere!” cibir Gendis seraya meraih bunga tersebut. Matanya mencari kartu pengirim yang biasa ada di dalam bunga. Dan keningnya mengerut saat membaca nama sang pengirim.
“Marvin?” Ucapnya pelan. Sesaat otaknya bekerja, berusaha mengingat sosok yang bernama Marvin dalam list orang- orang yang dikenalnya.
“PAK MARVIN!!” Gendis terlonjak saat Vania memekik heboh. Ia melotot. Ternyata gadis itu masih berada di ruangannya. “ASTAGA, PAK MARVIN ARSENO, MBAK!” Lanjut Vania saat menyadari kebingungan Gendis.
“Ck, lo nggak lupa kan mbak pesta ulang tahun perusahaan tiga hari lalu. Itu ada cowok kece yang nyamperin kita pas ngobrol sama Pak Rama.”
Ultah perusahaan? Dan cow…
Mendadak ingatan Gendis mengarah pada sosok seorang laki- laki yang tiba- tiba datang menghampiri dirinya dan beberapa teman yang sedang mengobrol dengan Pak Rama, wakil direktur perusahaan. Malam itu ulang tahun perusahaan sehingga mewajibkan seluruh karyawan hadir dan dirinya yang tidak terlalu menyukai acara- acara pesta mau tak mau pun harus hadir. Apalagi Kinar juga turut heboh. Dan kembali ke laki- laki yang sejujurnya harus diakui Gendis tampan dan punya pesona lebih. Wajahnya sedikit mirip dengan Densu, pembasket nasional yang juga seorang aktor. Maskulin, macho dan laki banget.
Ngomong- ngomong ngapain dia kirim bunga? Seingat Gendis malam itu dia tak berbicara banyak dengan Pak Marvin. Karakter lelaki yang terlalu banyak bicara dan merayu di depan wanita- wanita tidak menarik perhatiannya. Terlihat jelas playboy ulung! Hanya menghormati lelaki itu klien sekaligus sahabat pak Rama saja dia tak beranjak segera beranjak pergi.
Have a nice day, Cantik!
Marvin Arseno
Ck, manis sekali, cibir Gendis dalam hati. Playboy, huh!
“Nih, buat lo aja!”
“Loh kok?” Vania bingung. Gendis melengos.
“Nggak bikin kenyang.” Jawab Gendis asal. “Udah sana bawa!”
Meski sempat terlihat bingung akhirnya gadis itu tersenyum sumringah. “Beneran ya, Mbak?” Gendis mengangguk, “Thank youuu,” imbuhnya sembari ngeloyor pergi meninggalkan Gendis yang menggeleng geli.
Ck, dasar Vania.
Tak lama telepon di ruangan Gendis berdering. Dengan cepat gadis itu mengangkatnya. “Hai cantik, sudah terima bunganya?”
Gendis mendengus. Kenapa harus dia sih yang berurusan dengan orang seperti ini!
***
“Jadi bagaimana?”
“Sepertinya dipercepat.”
“What!”
“Dia sudah dalam perjalanan kembali ke Indonesia.”
“APAAA!”
“Kemungkinan esok pagi sudah tiba.”
“Argh! Benar- benar masih sama. Menyebalkan.”
=TBC=
Selanjutnya Gendis (4)
Lampung, Nov 2015
Ohoho...masih nunggu besok...
BalasHapushahaha.. tergantung mood aku ni budeee... :p
Hapustrims pak :p
BalasHapus