Minggu, 08 November 2015

Taksi No. 27



*gambar diambil dari http://www.dphotographer.co.uk


Aku terbahak tepat setelah Tasya menyelesaikan ceritanya. Sontak lima kepala menatapku bingung. Tawaku makin menggema saat menyadari ekspresi wajah dari kelimanya. Takut bercampur heran.

“Kok lo ketawa sih?” Tasya tak sabar untuk bertanya. “Emang ada yang lucu dari cerita gue?”

Dari kata- katanya jelas dia merasa tersinggung, tapi aku tak peduli. Toh tertawa juga bukan sebuah kesalahan. Mulut juga mulutku sendiri.

“Lucu! Lucu banget, Sya!” Jawabku santai, “Dan semakin lucu karena kalian semua ketakutan karena cerita itu.” Imbuhku seraya melirik Kiara, Melodi, Anggun dan Rasti.

Aku tersenyum mengejek saat keempatnya mendengus gusar karena kalimatku. “Hari gini kalian percaya sama begituan. Astaga! Helloww guys, ini era modern loh!” Sindirku lagi.


Tasya baru saja menceritakan tentang taksi berhantu. Taksi yang bernomor 27 itu harus kita hindari, katanya. Karena nantinya taksi itu akan membawa kita ke dimensi lain. Aku hanya mencibir saat dia menceritakan itu. Astaga! Era modern seperti ini masih saja percaya dengan mitos, dongeng tak jelas seperti itu.


“Yaudah sih Nat kalau lo nggak percaya tapi juga nggak usah ketawa juga kali.” Aku mencibir. Tasya jelas merasa tersinggung. Sikap judesnya muncul. Tapi sekali lagi kubilang, aku tak peduli. Tak akan pernah. Buat apa peduli pada orang lain, toh mereka juga nyatanya tak peduli pada kita. Kuberitahu satu hal orang lain peduli dengan kita sejujurnya karena dia memang ingin tahu hidup kita lalu selanjutnya menjatuhkan kita baik secara terang- terangan atau diam- diam.


Manusia itu makhluk egois, kawan?

“Udahlah, Sya. Lo kayak nggak tahu Natasha aja!”


See! Kata- kata Melodi juga menghakimiku kan? Oh, aku lupa kalau dia cukup akrab dengan Tasya. Sebelas dua belas sih ya.


“Kalau nggak sombong bukan Natasha namanya!” Keningku mengerut saat mendengar kalimat Kiara. Sombong? Aku? Whatever you say, emang gue pikirin.


“Gue sumpahin lo beneran ketemu sama tuh taksi!” Alisku bertaut. Tasya menyumpahiku. “Biar lo nggak bisa sombong lagi. Lo sadar nggak sih Nat, makin hari gue makin muak kali sama tingkah lo. Ck, sombongnya!”


“Sya!” Kulirik Anggun menyentuh Tasya. Sepertinya untuk menahan kemarahan Tasya kepadaku. Aku berdecak melihat, sok peduli!


“Biarin aja, Nggun. Biar cewek sombong ini tahu kalau sebenarnya kita semua udah sebal lihat tingkah soknya itu. Berasa paling hebat!” Mata Tasya nyalang menatapku. Dia benar- benar terlihat emosi.


Aku menyeringai, “Emang gue hebat kan? Oh ayolah, Guys! Kalian harus akui itu!”


“Lo itu bener- bener sombong ya, Nat?”


Aku menoleh. Melodi memandangku tajam, “Oh bukan itu aja, nyebelin dan merasa paling berkuasa. Ck, ck, ck dan begonya kita guys mau berteman sama dia.”


Seketika aku menggeram kesal, “Kapan gue nggak pernah minta kalian jadi teman gue?”


“Ya Tuhan Nat, lo bener- bener ya!” Kiara bangkit dari kursinya. “Buat apa kita temanan sama orang kayak gini, Guys. Mending cabut aja!”


“Lo benar, Ra. Buat apa temenan sama orang kayak gini!” Melodi pun ikut beranjak menyusul Kiara. Kutarik bibir kebawah. Selanjutnya siapa lagi?


“Gue kasih tahu. Hidup sendiri itu nggak bakal enak, Nat.” Kini giliran Tasya yang berdiri. “Yuk Ras, Nggun! Kita pergi aja!”


Rasti yang dasarnya pendiam dan penurut pun ikut segera berdiri. Berbeda dengan Anggun yang terlihat ragu menyusul keempat temannya. Sesaat ia menatapku lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.


“Lo harus tahu, Nat! Kalau selama ini kita berteman sama lo itu tulus. Kita nggak berniat apa- apa. Selama ini kita bersabar dengan sikap nyebelin lo, tapi lama kelamaan kita juga nggak tahan. Gue minta maaf kalau gue ada salah sama lo!” Anggun pun beringsut dari kursinya.


“Pergi! Pergi sana kalian semua. Gue nggak butuh!” Kataku angkuh saat keempatnya bergerak meninggalkanku.


“Ck, udah sendirian masih aja lo sombong, Nat!” Tasya masih berdiri di tempatnya, padahal yang lain sudah menuju pintu café. “Asal lo tahu cerita gue tadi beneran kisah nyata bukan omong kosong!”


Aku mendelik, “Dan asal lo tahu gue nggak peduli!”


“Baiklah kalau begitu!” Tasya tersenyum miring. Entah mengapa tiba- tiba aku merasa aura berbeda pada dirinya. Misterius dan sedikit menyeramkan. “Sampaikan salamku pada pengemudi taksi nomor dua puluh tujuh.”


***


Aku merengut. Nyaris membanting ponsel karena sejak tadi nomor Pak Harun, sopirku sulit dihubungi. Tidak aktif? Cih, kemana laki- laki tua itu! Awas saja akan kulaporkan pada papi supaya dia segera dipecat.


Papiku merupakan seorang pengusaha sukses. Apapun yang kuminta selalu diberikan. Apapun! Tetapi sayangnya kesibukan beliau membuatnya tak peduli dengan aku, anaknya. Tak hanya papi, mami pun sama sibuknya. Membuatku berpikir buat apa aku lahir ke dunia jika hanya untuk diabaikan. Tapi pada akhirnya aku berpikir jika mereka tak peduli, buat apa akupun bersusah- susah untuk peduli pada orang lain.


Hidup itu ya diriku.


Sebuah cahaya menyorot dari ujung jalan. Sesaat mataku menyipit memastikan jika itu adalah taksi yang bisa membawaku pulang. Kuangkat tangan kananku untuk menghentikannya.


Seraut wajah menyeruak di balik kaca yang diturunkan. Seorang laki- laki dewasa yang kutaksir berumur 30an berada di balik kemudi.


“Jalan Merbabu.” Ia mengangguk dan tak menunggu lama bagiku untuk segera membuka pintu belakang lalu menghempaskan tubuhku di kursi.


Dalam sesaat saja, taksipun melaju meninggalkan café. Sesaat kusandarkan tubuhku ke belakang. Aku berdecih mengingat kejadian sebelumnya. Malam ini malam minggu, seperti biasa aku dan kelima temanku akan menghabiskan waktu untuk nongkrong di café. Sekedar mengobrol, tertawa- tawa atau flirting cowok- cowok yang kami anggap keren. Kegiatan yang tak ada gunanya sebenarnya, tapi biarlah daripada bengong di rumah juga.


Ngomong- ngomong soal teman? Cih! Aku lupa kalau mereka sekarang bukan temanku. Hei, mereka loh yang meninggalkan diriku. Jadi peduli setan, hal itu tentu saja takkan berpengaruh denganku. Lihat saja besok di sekolah, aku takkan kesepian. Masih banyak yang akan mendekatiku.


Tiba- tiba aku merasakan aura dingin menerpa kulitku. Aku pun memajukan sedikit tubuhku. “Pak, matiin aja ACnya dingin!”


Sopir taksi di depanku hanya menganggukkan kepalanya. Tak lama tangannya bergerak menuruti perintahku.


Aneh! Kenapa masih terasa dingin?


“Kok masih dingin sih, Pak?”


Sembari bertanya aku menoleh ke sisi kanan dan kiriku bergantian. Sesaat aku membeku.


Keramaian jalanan tak tampak di mataku. Sepanjang aku melihat hanya keremangan tak jelas. Entah apa.


Ada yang salah! Janggal!

Ini jelas bukan arah rumahku!!

“PAK!” Aku menjerit. Takut jelas! “INI MAU KEMANA? INI BUKAN ARAH RUMAHKU!”


Bau anyir darah mendadak merambati indera penciumanku. Entah dari mana. Aku makin takut.


“PAK IN…!”


Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, lelaki pengemudi taksi itu pun menoleh. Seketika aku menjerit kencang saat tatapannya yang kosong dan wajah yang pucat memutih.


“Selamat datang di duniaku.” Katanya lalu kembali mengarahkan pandangan ke depan.


Refleks aku mundur. Isak tangis sudah tak dapat kubendung. Rasa takut, sedih dan bingung berbaur di kepalaku. Aku mau pulang! Pulang! Pulang!


Aku sudah akan berteriak minta tolong namun seketika terhenti. Pantulan angka 027 yang berada di kaca belakang terbaca olehku. Seketika kesadaranku menyeruak.


Asal lo tahu cerita gue tadi beneran kisah nyata bukan omong kosong!


Sampaikan salamku pada pengemudi taksi nomor dua puluh tujuh.

Tubuhku melemas. Aku terperangkap. Detik kemudian aku merasa menyesal. Sangat menyesal.


-end-

Lampung, September 2015





























0 komentar:

Posting Komentar