Jumat, 04 Maret 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (8)

Delapan

Sebelumnya Di sini

“Kamu yakin, Mir?”

Mirah mengangguk cepat. “Saya yakin, Teh.”

“Ta-tapi, Mir ini…,”

Dengan cepat Mirah meraih tangan Nena yang duduk di hadapannya lalu menumpukan dengan kedua tangannya. “Teteh nggak usah khawatir. Saya akan baik- baik saja. Lagian ini nggak lama kan? Toh selama ini teteh baik- baik saja melakukannya kan?”

“Iya. Tapi kamu kan beda, Mir. Kalau teteh…,”

“Percaya sama Mirah, Teh! Mirah akan baik- baik saja.” Potong Mirah cepat membuat Nena menggelengkan kepalanya berulang kali. Tak lama wanita itu menghela nafas berat.

“Ya sudah kalau itu keputusan kamu. Teteh teh nggak bisa bilang apa- apa lagi.”

Mirah tersenyum tipis. “Makasih, Teh!”

Nena mengangguk lemah. “Kalau begitu besok kita langsung menemui Pak Bandi. Dia yang akan mengurus semuanya. Yang penting kamu siapin semua berkasnya.”

Mirah pun manggut- manggut. “Tapi ingat satu hal, Mir?” Lanjut Nena yang seketika membuat Mirah mengernyit heran.

“Sekalipun jangan pernah gunakan hatimu!”

Mirah mengangguk paham. Tekadnya sudah bulat ketika mengatakan keinginannya pada Nena. Mengingat keluhan Kumala setiap kali meneleponnya, ia sudah diambang keputusasaan. Adiknya mengatakan keuangan mereka sudah menipis. Keadaan emak belum kunjung membaik yang ada semakin memburuk tetapi kebutuhan hidup semakin meningkat. Alih- alih utang berkurang, yang ada utang makin bertambah karena sistem riba yang masih kental di daerah. Sekali tak membayar tepat waktu, maka selanjutnya pembayaran akan terhitung berlipat ganda.

Kumala frustasi.

Wajarlah, dia masih remaja. Menghadapi bertubi- tubi masalah sungguh tak mudah. Mirah bahkan bisa menduga kehadiran Alvina dan kedua anaknya pun membuat kepala Kumala makin pusing. Dan semua permasalahan yang dihadapi berpangkal dari uang.

Jika saja uang mereka banyak… Hingga akhirnya kemaren ia tanpa sengaja mendengar percakapan Nena dengan orang yang disebut Pak Bandi. Sepertinya Pak Bandi menanyakan Nena akan wanita yang siap dinikahi. Mirah menebak Pak Bandi seorang calo. Dan setelah berpikir semalaman, akhirnya Mirah pun memutuskan untuk mengikuti jejak Nena. Istri kontrak.

Kehidupan Nena yang mewah dan nyaman menjadi salah satu pertimbangannya. Ketika menikah, dia akan mendapatkan jumlah uang dalam nominal yang tentu saja bisa digunakan untuk kehidupan keluarganya selain masih banyak lagi keuntungan yang Nena dapatkan. Mirah iri!

Yang penting tetap ada pernikahan, bisiknya dalam hati. Meski siri! Bukan sekedar wanita panggilan atau simpanan.

***

Pernikahan berlangsung tiga hari kemudian. Mirah diajak Nena ke sebuah desa yang berada cukup jauh dari pusat kota. Nena tak paham nama tempatnya, namun yang pasti tempat tersebut dilalui dalam waktu lebih dari satu jam. Sesampai di sana, mobil yang Nena kendarai masuk di dalam rumah berlantai dua yang terlihat cukup megah untuk ukuran orang desa.

“Kamu emang cantik, Mir.” Puji Nena sesaat setelah Mirah didandani. Riasannya sederhana namun semakin memperlihatkan kecantikan alami. Apalagi dipadu kebaya putih bermotif simple serta kain jarik yang digunakan sebagai bawahan. Takkan ada yang menyangka jika ia seorang ibu beranak satu.

“Ingat ya Mir, kata- kata Teteh!”

Mirah mengangguk. Semalam Nena banyak memberi wejangan padanya sekaligus bercerita banyak pengalamannya yang sudah dialami. Mirah paham, Nena masih berkeberatan dengan keputusannya.

“Yuk keluar!” Nena menuntunnya. Di ruang tengah sudah tampak beberapa orang. Mirah tak sempat menghitung, yang dia tahu jantungnya tiba- tiba berdegup tak beraturan. Tangannya terasa dingin padahal hujan belum juga turun.

Aroma aftershave seketika menggelitik indera penciumannya. Sesaat setelah ia didudukkan Nena tepat di tengah ruangan yang sudah diset untuk tempat pembacaan ijab kabul. Mirah menunduk, ia tak berani menatap lelaki di sebelahnya.

Benar-benar takut.

Proses pun berjalan lancar. Tak butuh lama karena memang semua sudah dipersiapkan. Sudah diatur. Termasuk aturan- aturan yang memang telah biasa terjadi dalam perjanjian termasuk soal kurun waktu pernikahan, tempat tinggal serta larangan memiliki anak.

Tiba- tiba Mirah terhenyak. Sebuah tangan terulur padanya. Proses telah usai dan saatnya melakukan kewajiban. Yang pertama menyalami suami. Bersikap hormat.

“Kamu cantik. Jadi jangan sembunyikan kecantikanmu, Sayang!”

Deg!

Degup jantung Mirah makin tak keruan. Tunggu sepertinya ia familiar dengan suara ini. Perlahan dia mengangkat kepalanya dan sontak ia terbelalak.

Kebetulan yang mustahil! ***

“Saya pilih apartemen supaya tak ada yang mengganggu kita punya privacy.”

Aksennya aneh tapi Mirah masih harus bersyukur. Lelaki di hadapannya yang telah menjadi suaminya masih bisa berbahasa Indonesia. Kalau dia menggunakan bahasa ibunya atau bahasa inggris bisa dipastikan hanya akan ada gelengan yang ditunjukkan dirinya.

“Malam ini kita pesan makanan saja. Kamu lapar kan?” Mirah hanya menganggukkan kepalanya.

“Kamu bisa berbicara kan? Dari tadi kamu diam saja.”

Bingung. Takut. Kombinasi yang pas yang dirasakan Mirah. Selepas pernikahan yang hanya menghabiskan waktu tak sampai dua jam, lelaki di hadapannya ini membawanya kembali ke kota. Kali ini hanya berdua, karena Nena pun pulang sendiri. Dan sekarang di sini dia, di sebuah apartemen milik lelaki yang belum lama ini menikahinya.

“Sa—saya bingung, Mister.”

Mister?” Lelaki itu mengernyitkan dahi. “No, no, no! Kamu panggil saya Oppa. “

O—Oppa?” Mirah dengan mengulang kata itu.

Lelaki tubuh jangkung itu mengangguk. “Ya. Saya Kim Dae Ho. Dae Ho Oppa.”

selanjutnya di sini

=tbc=








1 komentar: