Kamis, 03 Desember 2015

GENDIS (10)



Sepuluh

Sebelumnya Gendis (9)


“Kita harus bicara!”

Gendis sudah tak dapat menahan diri. Sejak awal sikap Elroy yang kelewat santai serta terlihat tak ada masalah membuat Gendis kesal bukan main. Harusnya El menjelaskan yang terjadi kemarin, tetapi ini yang ada dia asyik bersenda gurau dengan sahabat- sahabatnya. Lalu saat mengantarnya pulang, Elroy sama sekali tak membuka topic pembicaraan. Gendis jengah sendiri.

“Udah malam, Ndis. Kamu perlu istirahat!”

Gendis merengut. “Besok lagi kan bisa, Ndis. Sudah sana masuk!” Sambung Elroy yang membuat wajah Gendis makin bertekuk.

“Besok- besok kapan! Dari kemarin lo nggak ngomong- ngomong kok!” Ucap Gendis ketus. Sebelah alis Elroy terangkat mendengar kata- kata Gendis, tak lama ia pun terkekeh lalu menggelengkan kepala berkali- kali.

“El, serius ah!” Pekik Gendis gusar. “Nggak lucu tau!”

“Ok! Ok!” Elroy manggut- manggut dengan tangan terangkat. Sesaat ia menatap lekat- lekat Gendis sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya. “Kamu lagi PMS, Ndis?”

Gendis melotot tajam. “Ya dari tadi aku perhatiin kamu nggak nyaman.”

Sebagian hati Gendis menghangat mendengar kalimat Elroy barusan. Perhatiin? Ah, jarang- jarang Elroy mengungkapkan apa yang dilakukannya. Lelaki itu keburu cuek, dingin dan tak peduli. Jadi Gendis sedikit takjub jika memang lelaki itu berkata jujur.

Sedikit!

Karena sisanya dia masih kesal.

Elroy menarik nafas sejenak lalu menghembuskannya perlahan, “Mau bicara apa?”

Gendis melengos. Banyak, banyak yang sejujurnya ingin dia tanyakan. Tak hanya tragedy “calon istri” tetapi juga tentang Elroy sendiri. Sejak kembali, Elroy tak pernah bercerita apapun padanya. Bagaimana dia selama ini di negeri asing? Mengapa tiba- tiba dia menghilang sampai apa penyebab kematian tante Astrid.

Elroy dingin tapi dia tidak bisu kan?

Sebenarnya bagaimana sih dirinya di mata lelaki itu?

Ck, Ndis apa sih yang kamu pikirkan?
Tegur Gendis dalam hati. Sejak awal ia dan Elroy tak ada ikatan sama sekali. Bahkan ketika lelaki itu pergi, tak ada kata- kata manis cinta atau apapun yang terucap di bibir Elroy. Hanya perjanjian jangan saling melupakan yang terjalin saat itu.

Dan kini, entah mengapa semakin runyam?

“Kita ini apa?” Tanya Gendis seraya menoleh menatap Elroy. Ia menghela nafas dalam- dalam. “Tujuh tahun kita hilang kontak. Sama sekali nggak ada komunikasi. Gue nggak pernah tahu apa yang lo lakuin di sana, lo lagi happy atau sedih, keadaan tante pun gue sama sekali nggak tahu. Dan sekarang tiba- tiba lo pulang. Kita ketemu kemarin, dan lo bilang gue calon istri lo. Ck, gue nggak ngerti, El. Nggak tahu sama sekali apa maksud lo.”

“lo tuh ya emang manusia es, tapi lo nggak punya masalah dengan itu mulutkan?” Ujar Gendis dengan nada tajam, “Kenapa sih dari dulu sampai sekarang lo nggak coba belajar dewasa. Apa- apa itu diomongin bukan asal diucapin.”

Sesaat hening.

Gendis memilih memandangi teras rumahnya dari balik kaca mobil. Sepi, tak seorang pun terlihat. Mungkin karena ini sudah malam, tetapi itu lebih baik daripada jikaada orang rumah terutama ayahnya memergoki dirinya sudah pulang, maka pembicaraan ini takkan terjadi. Gendis mendengus, bahkan ketika dirinya telah berhasil mengatakan apa isi hatinya tak ada kata apapun yang meluncur dari bibir Elroy.

Argh, Gendis menggeram dalam hati. Diliriknya Elroy yang hanya terdiam dibalik kemudi. Gendis mendesah pasrah, lelaki ini sama sekali tak berniatkah menjelaskan semuanya? Entah sampai kapan mereka diam- diaman.

“Kalau lo nggak ngom…,”

“Aku serius.”

Gendis menoleh cepat. Lalu menemukan manik mata hitam beradu pandang dengan kedua bola mata miliknya. “Aku selalu serius dengan kata- kata calon istri kemarin.”

Ada aura asing yang tak dimengerti Gendis yang membuatnya sedikit bergidik. Elroy menatapnya intens, tidak tajam tetapi mampu melelehkan hatinya. Kejujuran jelas terpancar di sana, membuat Gendis sedikit bersorak senang.

“Nggak lo nggak serius, El.” Ujar Gendis ragu.

“Di bagian mana aku nggak serius?”

“Demi Tuhan, Elroy Adelard! Ada banyak cara laki- laki melamar wanita untuk dijadikan istrinya dan lo! Ck, kapan lo ngelamar gue emangnya? Ngaku- ngaku depan Marvin, astaga…”

“Jadi kalau aku lamar kamu secara langsung kamu baru anggap serius?”

Eh?

Gendis melongo. Elroy menggeleng- geleng geli melihatnya. Mendadak wajah Gendis memerah menyadari kesalahan ucapannya. Terkesan dia yang meminta dilamar.

Ehm, kenapa jadi seperti dia yang memint, gerutu Gendis dalam hati. Lagian tadi kan bukan ini saja yang diomongin, kenapa jadi begini sih! “Well, Gendis Amelia, will you marry me?” Mata Gendis terbelalak tak percaya. Ia tak menduga secepat ini. Alih- alih bahagia yang ada dia semakin bingung.

“Oke! Sekarang kamu tahu kan aku serius?”

Aish, apa- apaan sih ini!

“El!” Gendis menelan ludah pahit lalu menggeleng lemah. “Sepertinya kamu butuh waktu untuk benar- benar mencerna kata- kataku tadi. Nggak segampang itu,”

“Aku serius, Ndis soal lamaran ini.”

Gendis lagi- lagi menggeleng. “Ini bukan sekedar lamaran, El!”

Keduanya terdiam. Gendis mendengus gusar. Bukan, bukan itu masalah besar mereka tetapi sikap Elroy yang masih sangat tertutup bagi Gendis. Lalu perasaan apa yang dimiliki Elroy sebenarnya? Pernikahan yang kuat butuh dilandasi cinta, kejujuran dan kepercayaan dan Gendis belum mendapatkannya dari laki- laki yang ada di sebelahnya.

“Sebaiknya aku masuk. Permisi dan selamat malam.” Ujar Gendis lelah. Dibuka sisi kiri mobil lalu keluar dan melangkah menuju rumahnya tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.

Kalau kamu masih tidak mengerti, lupakan saja, El! ***

“Jadi dia ngambek, heh!”

Elroy tak menjawab, namun Bastian yang duduk di depannya sudah tahu jika pertanyaannya mengandung kebenaran. Dia baru saja tiba ketika Elroy menelepon dan mengatakan akan datang ke apartemennya. Padahal baru beberapa jam lalu keduanya asyik bersenda gurau sembari menikmati makan malam di sebuah restoran bersama Tama dan Gendis.

Gendis?

Bastian menyeringai. Pesona gadis itu melampaui ekspektasinya selama ini. Dulu ia mengira baik Elroy maupun Gendis takkan pernah terjalin sebuah hubungan istimewa. Tetapi nyatanya bertahun- tahun lewat, ia menyadari keduanya sudah terjebak dalam pesona masing- masing. Bahkan 7 tahun menghilangnya El pun tak mengubah perasaan Gendis.

“Gue mau numpang tidur. Bukan mau diceramahi.”

Bastian terbahak. “Lo itu bego banget sih, El. Jauh- jauh tinggal di eropa nggak ngerti cara memahami wanita.”

Elroy mencibir. Ia menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Sesaat matanya terpejam, tetapi Bastian yakin Elroy tidak akan bisa tidur malam ini.

“Cewek itu butuh penjelasan, El. Nggak pakai bahasa isyarat kayak kita. Dan yang lo mesti jelasin ada perasaan lo yang sebenarnya sama Gendis. “

“Selain itu lo memang pernah cerita sama dia soal keadaan lo tujuh tahun terakhir, soal Anya, soal tante Astrid, soal bokap lo. Ck, wajar aja Gendis bete sama lo.” Lanjut Bastian gemas.

Hening. Elroy masih tak bersuara tetapi tak lantas membuat Bastian berhenti bicara.

“Lo bukan remaja lagi, boy! Bersikaplah dewasa. Buatlah dia nyaman sama lo. Ish, baru juga ketemu, emang lo yakin dia masih cinta sama lo. Pede amat lo!” Kali ini Bastian berbicara dengan nada mengejek.

“Gendis itu gadis menarik. Seharusnya lo paham itu. Gue rasa yang naksir dia banyak, jadi lo…”

“Nggak usah ngomong sembarangan!”

Bastian tersenyum geli mendengar Elroy memotong ucapannya. “Well, masalah kelar! Sana lo pergi jelasin sama Gendis!”

Mata Elroy terbuka, lalu menyipit sejenak. “Harus sekarang?”

Bastian manggut- manggut. “Ini udah malam, Bas! Dia juga perlu istirahat.”

Bastian refleks menepuk jidatnya, namun detik selanjutnya seringai tercipta di wajahnya. “Wow! Perhatian nih ye…,”

Dahi Elroy mengerut, ia beringsut dari sofa. “Perhatian sama calon istri itu penting.” Ujarnya santai sembari melangkah menuju salah satu pintu kamar yang tertutup. Meninggalkan Bastian yang ternganga mendengar ucapannya.

Calon istri???? ***

Selanjutnya Gendis (11)


1 komentar: