Sabtu, 09 April 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (11)




Sebelas


sebelumnya di sini

Mirah menjalani pagi dengan sedikit enggan. Tubuhnya luar biasa letih. Mirah masih ingin bergelung di tempat tidur,namun mengingat statusnya seorang istri sekarang mau tak mau bangun. Sudah menjadi kewajiban mutlak bagi seorang istri untuk melayani suami termasuk menyiapkan sarapan pagi untuk Dae Ho.

“Selamat pagi,” Mirah mendongak. Dae Ho muncul di dapur hanya dengan menggunakan celana pendek selutut. Tanpa atasan. Topless.

Kontan muka Mirah memerah. Ingatannya kembali ke kejadian semalam. Pada akhirnya yang terjadi memang harus terjadi. Mirah tak bisa menolak ketika Dae Ho merengkuh tubuhnya lalu membawanya ke dalam kenikmatan yang sudah lama tak dia rasakan.

Ah, rasanya seperti baru menjadi pengantin saja…
Tiba- tiba Mirah menggeleng. Kesadaran dengan cepat menariknya. Apa sih yang kamu pikirkan, Mir?

“Kamu masak apa?”

Mirah terkesiap. Dae Ho telah berdiri tepat di belakangnya. Jarak mereka sangat dekat, membuat tubuh Mirah menegang seketika.

“Enak baunya,” Lagi- lagi Dae Ho berkomentar. Suaranya pelan. Nyaris berbisik tepat di telinga Mirah. Mirah merasa bulu kuduknya meremang hanya karena ucapan Dae Ho yang terlampau dekat.

Astaga Mir, kamu kenapa sih? Sadar! Sadar!
“Nasi goreng?”

Pada akhirnya Mirah memberanikan diri menganggukkan kepalanya. “I-iiya. Nas-Nasi goreng.” Jawabnya gelagapan.

“Hemm, terlihat enak. Saya tak sabar. Tapi saya harus mandi dulu.”

Mirah bernapas lega saat tubuh Dae Ho menjauh kemudian menghilang masuk kembali ke kamar. Dirinya benar- benar gugup dan kikuk karena perlakuan Dae Ho tadi. Terlalu intim, gumamnya dalam hati.

Tapi kan dia suamimu, Mir… ***

“MIRAH!”

Mirah berjengit kaget saat mendengar Nena memekik menyeru namanya di seberang telepon. Ia meringis membayangkan wanita itu pasti sedikit tak percaya karena dia menghubungi lebih dulu.

Astaghfirullah, Teteh! Bisa kali nggak pake teriak- teriak,”

Nena terkekeh, “Ya abisnya Teteh kaget kamu telepon. Teteh itu cemas mikirin kamu. Ingat perbincangan kita malam kemarin,”

“Eh, i-iya, Teh!” ujar Mirah kemudian, ia merasa tak enak Nena mengkhawatirkan dirinya. Sudah terlalu banyak wanita itu menolongnya. “Mirah baik- baik aja kok.”

“Hemm, kalau mendengar kalimat ini Teteh tebak kalian sudah melakukannya ya?” Mirah mengangguk tanpa sadar, namun tak lama dia tersadar jika Nena tak melihatnya.

“Apakah dia menyakitimu, Mir?” tanya Nena lagi. Bahkan sebelum Nena sempat menjawab pertanyaan yang pertama.

Lagi- lagi Mirah merasakan wajahnya bersemu. Bayangan semalam kembali terlintas di benaknya. Sungguh perlakuan Dae Ho sangat baik dan lembut. Tak sekalipun lelaki itu bersikap kasar. Mirah justru merasa dipuja dan dihargai.

“Mirah!”

“Eh, i-iya, Teh.”

“Ya Tuhan, Mir. Teteh merasa bersalah karena membuatmu menjalani pernikahan kontrak ini. Demi Tuhan, seharusnya kamu…,”

“Teteh- teteh!” Mirah memotong ucapan Nena dengan cepat. Ia menggeleng tak percaya, Nena bisa sedemikian mudah mengambil keputusan sendiri. “Mirah baik- baik saja kok. Dae Ho Oppa memperlakukan Mirah dengan sangat baik,”

“Kamu yakin?”

“Iya, Teh.” kata Mirah tegas.

Terdengar hembusan napas lega di seberang, “Syukurlah kalau begitu. Btw kamu lagi teh apa, Mir?”

“Nggak lagi ngapa- ngapain, Teh. Bosan.” Mirah mengeluh. Terbiasa dengan kesibukan kerja membuatnya bingung di rumah. Menonton TV jelas bukan favoritnya. Yang ada dia bosan. Memasak baru dia lakukan nanti sore. Dae Ho sudah bilang takkan makan siang di rumah. Dan karena hanya dirinya sendiri, Mirah malas merepotkan diri. Nanti sore saja, sekalian.

Nena tertawa, “Jalan- jalan dong, Mir! Duit banyak ini,”

Mirah tersenyum kecut. Ingatannya melayang saat sarapan Dae Ho memberinya sebuah kartu.

“Gunakan untuk keperluanmu juga membeli kebutuhan sehari- hari,”

Mirah hanya mengangguk dan menerima kartu yang disodorkan Dae Ho. “Termasuk juga jika kamu ingin belanja dan shopping. It’s Ok. Pakai saja!”

Sejujurnya kalimat Dae Ho sudah cukup bagi Mirah dapat berbuat sesukanya. Seperti Teh Nena yang pernah dilihatnya membelanjakan apapun dengan kartu tersebut. Kartu kredit kalau Mirah tak salah namanya. Yang pasti the Nena dengan mudah membeli apa saja, meski harganya berlipat sekalipun. Saat itu Mirah iri, tapi sekarang…

Keraguan terbit di dirinya. Dae Ho sudah memberinya uang terlalu banyak.

“Mirah!”

“Eh,”

“Ada apa?”

Mirah terdiam. Ia berpikir sejenak, “Aku pengen kerja lagi, Teh.”

“Kerja?” Nena berseru kencang. “Bukannya kamu udah keluar dari tempat kerja itu ya?”

“Iya,” sahut Mirah, “Tapi kupikir mencari pekerjaan lain tak masalah, Teh. Toh Dae Ho Oppa juga bekerja.”

“Tapi apa dia mengizinkamu?”

Mirah mendesah panjang. Inilah yang sebenarnya menjadi kekhawatirannya. Ide soal bekerja memang baru terlintas beberapa jam lalu, saat dia merasa suntuk setelah kepergian Dae Ho. Pekerjaan rumah tangga sudah selesai dia kerjakan, dan dia bingng harus berbuat apa.

“Bicarakan dengan dia, Mir. Tapi Teteh pesan jangan terlalu berharap. Laki- laki seperti suamimu atau Josh hanya menginginkan diri kita di rumah. Melayani mereka kapan pun dibutuhkan.”

Mirah bungkam. Membenarkan ucapan Nena.

“Oh ya, kamu minum pil yang Teteh kasih kan?”

“Iya, Teh!” tukas Mirah cepat.

“Bagus. Pokoknya jangan sampai hamil ya, Mir! Atau semua akan terasa sulit.”

Mirah bergidik. Kalimat Nena sarat makna tapi dia harus mengakuinya. Perjanjian takkan ada anak diantara mereka salah satunya yang tertulis di kontrak. Mengingat Dae Ho memang bukan warga negara Indonesia, serta pernikahan mereka yang dibawah tangan tentu status anak akan menjadi masalah di kemudian hari.

“Pokoknya jangan dibuat stress, Mir. Nikmati saja tetapi juga kamu harus hati- hati. Jangan pernah pakai hati.”

Dan Mirah hanya mengangguk mendengar kata- kata Nena.

Jangan pakai hati… ***

Mirah membuang napas pendek berulang kali. Dia benar- benar bosan. Sesaat setelah bercengkerama dengan Nena, ia tak tahu harus berbuat apa. Tontonan TV sama sekali tak menarik minatnya. Tayangan sinetron yang tak jelas juga gossip sensasi para selebritis hanya membuatnya jengah. Sinetron dengan jalan cerita yang lebay dan juga aib selebritis yang dijadikan sensasi.

Ah, benar- benar membosankan.

Pandangan Mirah teralihkan pada seluruh sudut ruangan. Saat pertama kali tiba dia memang tak sempat memperhatikan isi keseluruhan apartemen. Ia terlalu gugup saat itu. Bahkan mengangkat kepala saja dia takut- takut.

Secara keseluruhan apartemen tertata sangat rapi. Dominasi warna hitam dan putih banyak digunakan di berbagai perabot. Sepertinya Dae Ho memang menyukai kedua warna itu. Mirah menyadari karena penataan kamar yang juga menggunakan warna yang sama. Beberapa barang pribadi Dae Ho juga lebih banyak berwarna hitam dan putih.

Mirah beringsut dari sofa. Ia melangkah menuju balkon yang berseberangan dengan sofa. Perlahan dibukanya pintu kaca yang memisahkan antara bagian dalam dan luar. Mirah pun tersenyum tipis. Angin yang berhembus seketika membelai wajahnya. Terasa segar. Sayangnya waktunya tidak tepat. Hari menjelang siang dan cuaca sedang panas. Mirah pun berbalik, tapi dia berjanji akan kembali di malam atau pagi hari.

Sepertinya menyenangkan duduk- duduk di sana sambil menikmati semilir angin.

Sesampai di dalam, Mirah melangkah menuju kamar. Namun langkahnya tertahan di depan pintu. Pandangannya mengarah ke pintu yang berada berseberangan dengan kamarnya. Ia pun mengernyit. Tersadar jika ia belum tahu ruangan apa itu. Ragu mengelayut di dirinya. Jelas ia penasaran namun ia belum meminta izin.

Mirah menghela napas berat. Perlahan dibukanya pintu tersebut. Benaknya mengira ruangan ini sama seperti di tempat Teh Nena. Kamar tamu namun kenyataan yang didapatinya membuat matanya terbelalak tak percaya.

Lu--lukisan…
Ruangan tersebut tampak berantakan. Terlihat beberapa lukisan tersebar di berbagai sudut dalam keadaan tidak tersusun rapi. Di tengah- tengah terdapat kanvas kosong dengan berbagai cat air berhamburan, berada di lantai di sekitarnya.

Dae Ho kah yang melukis semua ini? 

Ini berarti ruangan ini ruang pribadi Dae Ho.

Mirah mendesah panjang lalu melangkah mundur. Ditutupnya kembali pintu ruangan tersebut. Tidak seharusnya dia melakukan hal ini. Dia sama sekali belum izin untuk melihat ruangan ini. Bisa saja ini ruangan khusus bagi Dae Ho dan terang ia memaksakan diri membuka pintu ini.

Ah, rasanya bersalah.

***

“Ada apa?”

Eh?

Mirah mengangkat kepalanya perlahan. Ia menatap Dae Ho takut- takut. Sungguh dia tak nyaman karena sebelumnya membuka ruang lukis Dae Ho.

“Aa—aku…. maaf!” Mirah menunduk kembali. “Aku ta—tadi membuka pintu kamar itu. Aku lancang. Maafkan aku, Oppa!”

Sesaat hening.

Mirah semakin mengkeret. Dia ketakutan. Berkali- kali ia meremas jemarinya. Tetapi tak lama dahinya mengerut saat mendengar tawa. Perlahan ia pun mendoangak dan menemukan Dae Ho tengah tertawa dan menatapnya geli.

“Mengapa minta maaf? Tidak ada yang salah jika kamu melihatnya.”

“Eh?”

Dae Ho mengangguk dan terkekeh. “Kamu itu polos sekali,”

Melihat tawa Dae Ho, Mirah dapat bernafas lega. Dia benar- benar takut jika Dae Ho tersinggung karena sikapnya. Mendadak ia merasakan hatinya menghangat.

Dae Ho benar- benar orang baik.

“Sudah jangan dipikirkan!” ujar Dae Ho, “Oh ya apa yang kau lakukan hari ini?”

“Aku…,” Mirah diam sesaat. Ia menimbang- menimbang mengatakan rencananya kembali bekerja pada Dae Ho. Sesaat di tatapnya lelaki itu,

“Bolehkah aku bekerja?” tanyanya ragu.

“Kerja?” Sebelah alis Dae Ho terangkat bingung.

Mirah menggangguk. “Aku bosan, Oppa hanya berdiam diri di rumah.”

“Kenapa tidak jalan- jalan atau belanja. Biasanya banyak wanita melakukannya,”

“Aku tak seperti itu,” geleng Mirah. “Aku lebih suka bekerja.”

Sekilas Mirah menangkap senyum tipis di bibir Dae Ho sebelum lelaki itu bertanya kembali, “Well, tak masalah tetapi kamu mau bekerja apa?”

Mirah tersenyum senang saat mendengar Dae Ho berkata tak masalah. Itu berarti izin sudah diraih. Masalah pekerjaan bisa ia cari melalui lowongan. “Nanti aku cari,”

Dae Ho mengangguk. “It’s Ok. Terserah,” katanya sembari mengendikkan bahu.

“Makasih, Oppa!”

“Aku tak butuh itu,” Mirah mengernyit mendengar kalimat Dae Ho.

“Ayo! Ada hal lain yang bisa kamu lakukan selain berterima kasih,” lanjut Dae Ho yang seketika memerahkan wajah Mirah. Dia paham makasud lelaki itu, apalagi kini Dae Ho sudah beranjak meninggalkan meja makan.

Ya Tuhan, lelaki….

Ah, tapi dia kan suamimu, Mirah…. 


 ***

selanjutnya di sini

Lampung, April 2016




5 komentar: