Minggu, 17 April 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (12)



Dua Belas
 sebelumnya di sini

Mirah terpekur. Ia menghela napas jengah. Sebulan sudah dirinya berusaha mencari pekerjaan, tapi tak juga membuahkan hasil. Ijazahnya memang sangat sulit digunakan, mengingat kini semua orang telah menyandang gelar sarjana. Sebenarnya ada beberapa lamarannya yang lolos namun terbentur masalah jadwal. Mirah mencari pekerjaan hanya di siang hari, tidak dengan sistem shift karena tak mungkin baginya bekerja di malam hari.

Dae Ho mau bagaimana?

Mirah sadar diri dan sadar akan statusnya.

“Kenapa?”

“Eh?” Mirah mendongak. Dae Ho menggeleng sesaat lalu menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Mirah, membuat Mirah sedikit menggeser tubuhnya untuk memberi ruang pada suaminya.

“Ada masalah?” tanya Dae Ho lagi.

Kepala Mirah menggeleng pelan, “Nggak.”

“Hmm,” Dae Ho menghembuskan napas pendek. Sesaat diraihnya remote televisi, namun gerak tangannya terhenti saat menyadari program yang sedang ditayangkan di televisi.

“Kamu suka menonton seperti ini?” Sebelah alis Dae Ho terangkat kembali menatap Mirah.

Mirah mengernyit. Dia pun mengarahkan pandangan ke layar televisi lalu saat tersadar maksud Dae Ho, bahunya mengendik.

“Nggak,” jawab Mirah pendek.

Dae Ho menatapnya dengan alis terangkat. “Bukankah kalian para wanita Indonesia menyukai drama- drama dari negeriku?”

Mirah mengangkat bahunya. Kepalanya menggeleng. “Tidak semua, Oppa.”

“Oh ya?” Dae Ho masih terlihat penasaran, “Bukankah mereka tampan- tampan?”

“Tampan?” Dahi Mirah berkerut.

Dae Ho mengangguk. “Saya sering mendengar kalian memuji laki- laki bangsa kami. Romantik, hem?”

Senyum terkembang di bibir Mirah. “Romantis, Oppa.”

“Ya ya ya. Romantis.” Dae Ho manggut- manggut. Ia menyandarkan di punggung sofa. “Kalian terlalu membanggakan drama. Padahal tidak juga semua laki- laki bangsa kami seperti itu.”

Mirah diam. Ia memilih mendengarkan Dae Ho berbicara. Selama satu bulan hidup bersama, Mirah mengamati Dae Ho cukup irit berbicara. Lelaki itu selalu berkata langsung ke intinya. Tak suka basa basi. Maka sebenarnya dia sedikit bingung ketika Dae Ho berbicara banyak malam ini.

“Saya dan mereka, tampan siapa?”

Hah?

Mirah bengong sekaligus gugup. Meski sudah berkali- kali berhubungan suami istri, tetap saja berdekatan dengan Dae Ho masih menimbulkan kecanggungan tersendiri bagi Mirah.

Dan tunggu, pertanyaan apa pula yang ditanyakan Dae Ho itu.

“Mira,”

“Tam—tampan…,” bibir Mirah terasa kelu. Wajah Dae Ho makin mendekat membuat kondisinya semakin terjepit.

“Siapa? Saya atau mereka?” tanya Dae Ho tak sabar. Kini wajah mereka nyaris tak berjarak. Bahkan Mirah merasakan dahinya bertaut dengan dahi milik Dae Ho. Aroma parfum yang biasa digunakan Dae Ho menyeruak memenuhi indera penciumannya.

“Saya penasaran. Banyak bertemu wanita bangsamu yang suka menggoda. Mereka bilang saya tampan.”

Eh? Mirah terbelalak.

“Jadi siapa?”

Mirah gelagapan. “O—oppa…,” jawabnya terbata. Dia tak mengerti mereka yang dimaksud mereka oleh Dae Ho. Aktor- aktor itu sungguh tak dikenalnya. Dia hanya sesekali mendengar teman- temannya bercerita tentang kegemaran mereka menonton drama asal negeri gingseng. Tapi tidak dengan Mirah. Hidup terlalu berat dia jalani. Waktu senggang sebisa mungkin ia gunakan untuk beristirahat. Jadi satu- satunya lelaki asal korea yang dikenalnya ya hanya Dae Ho.

“Good job!” Dae Ho menyeringai. Ia pun kembali menegakkan tubuhnya, menjauhi diri dari Mirah. Dengan santai tangannya bergerak meraih remote televisi lalu mengganti tayangan drama menjadi berita. Sikapnya benar- benar santai dan datar. Tak sadar jika di sampingnya, Mirah perlu menarik napas berkali- kali untuk emnormalkan debar jantungnya yang mendadak berdegup sangat kencang. Saking kencangnya Mirah bahkan merasa jantungnya serasa ingin melompat keluar.

Ya Tuhan, kenapa aku?

***

Di setiap senin sore, Mirah terbiasa untuk berjalan- jalan di taman yang berada tak jauh dari apartemennya. Ia sengaja memilih waktu senin, karena pada hari itulah Dae Ho pulang lebih telat, sehingga dia tak buru- buru harus menyiapkan makan malam.

Dan hari ini seperti biasa, sesaat setelah tiba mengelilingi satu putaran taman, Mirah pun menghempaskan tubuhnya di bangku panjang yang berada di sisi paling kiri. Tak lama tangannya merogoh ponsel yang dia letakkan di saku celana lalu meletakkannya di telinga kanan.

“Hmm, seperti biasa. Sore di suatu taman ya, Yuk!” terdengar suara lembut di seberang sesaat setelah Mirah menekan sebuah nama di kontak ponselnya.

Ia tertawa. “Kamu ini! Bukannya jawab salam dulu,”

Kumala diseberang terkekeh. “Ya maaf,” katanya seraya menjawab salam Mirah.

“Gimana di sana?” tanya Mirah kemudian.

Alhamdulillah baik semua. Emak makin sehat. Rania juga makin gede. Makin cerewet, Yuk. Sekarang kalau Mala pulang telat, banyak banget nanyanya.”

Sesaat Mirah merasa hatinya terasa nyeri saat Kumala menyebut nama Rania. Sungguh dia merindukan gadis kecilnya. Entah sudah berapa bulan ia lewati tanpa melihat anaknya tumbuh.

Ah, dia merindukan malam- malam sebelum mereka tidur. Rania pasti akan banyak bercoleteh tentang harinya…

“Yuk!” Mirah tersadar seketika. “Ayuk dengerin aku ngomong nggak sih? Perasaan nggak ada suaranya dari tadi” lanjut Kumala menggerutu.

“De—denger, denger!”

“Oh, Kira….,

Kata- kata Kumala terputus dengan sebuah teriakan yang melengking cukup tinggi. Teriakan yang sangat dia kenali.

“Ibuuuu…,”

“Rania! Nggak teriak- teriak dong! Bikcik kan lagi ngomong,”

“Ya, Rania mau ngomong sama Ibu, Cik.”

“Iya, tapi nggak teriak- teriak.”
Mirah tersenyum tipis mendengar percakapan adik dan anaknya. Benaknya membayangkan keduanya tengah bersitegang di ruang tamu rumahnya. Seperti biasanya.

“Yuk! Nih si bawel mau ngomong,”

Mirah tersenyum lebar, “Iy…,”

“Ibu, kapan pulang? Rania kangen?”

Deg.

Mirah meringis. Pertanyaan ini selalu ditanyakan Rania setiap mereka tersambung via telepon. Meskipun sudah terbiasa tetap saja Mirah merasa terluka setiap Rania menanyakannya.

Ibu, bahkan nggak tahu kapan Ibu bisa pulang, Ran…

“I—ibu…,” Mirah menelan ludah susah payah. Ia menarik napas panjang untuk mengusir sesak yang dia rasakan. “Sabar ya, Ran. Ibu kan lagi nyari uang buat sekolah Rania. Rania bentar lagi mau masuk SD kan?”

“Iya dong! Rania harus masuk SD, Bu. Oh ya Bu sekarang bacanya udah makin lancar. Terus ngajinya udah iqro enam. Rania juga…,”

Selanjutnya Mirah hanya tersenyum mendengar celoteh tak henti dari suara Rania. Walaupun mereka kini tinggal berjauhan, kebiasaan Rania untuk bercerita apapun padanya belum pudar. Mirah pun tak ingin kebiasaan tersebut hilang. Walaupun dia jauh, perkembangan dan pertumbuhan anaknya masih dapat terpantau dengan baik.

Sabar ya, Nak. Bisiknya dalam hati.

Setelah semuanya selesai, kita akan bersama lagi.

***

“Mir! Mirah kan?”

Mirah yang baru saja berjalan meninggalkan taman untuk kembali ke apartemen mengernyit. Sesaat matanya menyipit melihat sosok wanita berdiri di hadapannya. Detik selanjutnya ia ternganga.

“Li—liana?”

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. “Wah, gue pikir lu ngelupain gue.”

Mirah tertawa kecil lalu mendekati Liana. Sesaat mereka bersalaman lalu mencium pipi kanan dan kiri, “Ya nggaklah. Aku masih ingat kok.” sahut Mirah.

“Ya kali, Mir udah lama kagak ketemu kita.” tukas Liana. “Ada kali ya sebulan lu keluar kerja.”

Mirah nyengir. “Ya sekitar itulah.”

“Terus lu gawe dimana sekarang?”

Mirah mengendikkan bahunya. “Belum. Masih nyari nih.”

“Ah, lu sih sok-sokan keluar kerja dulu.” ujar Liana sembari mengibaskan tangan kanannya. “Si bos galak mah biarin aja. Cuekin.”

Sejenak Mirah bengong. Ia bingung dengan maksud Liana. Hingga tak lama dia sadar jika Liana mengira ia keluar karena perlakuan kasar atasan padanya.

Padahal kan bukan karena itu…

“Eh, tapi gue ada kerjaan mau nggak?”

“Hah?”

“Ah lu banyakan bengong. Mau nggak?” tanya Liana tak sabar.

“Kerja apaan?”

“Jadi cleaning service tapi di bar gitu.” Liana membalikkan tubuhnya, “Tuh sekolahnya ada di ujung jalan. Teman gue sebenarnya yang kerja di sono. Cuma dia mau balik kampung.”

“Pake shift ya?” tanya Mirah ragu.

“Ya iyalah, Mir. Emang kenapa? Lu nggak mau kerja dijadwal- jadwal gitu ya? Ya elah Mir, sadar diri aja. Kalau mau model kerja kantoran gitu kita musti punya ijazah sarjana baru deh bisa duduk nyaman di ruang berAC.”

Mirah mengangguk perlahan. Jauh di sudut hatinya mengiyakan kata- kata Liana. Berbekal ijazah sekolah menengah selama ini, dia memang tak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

“Ya dah ah. Gue mau balik udah sore.” Liana berpamitan. Mirah lagi- lagi mengangguk.

“Hati- hati ya, Li. Makasih.”

Liana tertawa. “Makasih apa lagi lu ini. Udah ah balik gue,” katanya sembari celingukan mencari angkutan yang lewat. Namun tiba- tiba pandangannya terhenti. Keningnya mengernyit membuat Mirah heran sendiri.

“Kenapa Li?”

“Eh, Mir lu masih ingat nggak dulu gue pernah bilang ada cowok ganteng yang mirip kayak pemain The Heirs?”

“The Heirs?”

“Astaga gue lupa lo kan nggak tahu drakor,” ujar Liana sambil menggelengkan kepalanya. “Ya itu cowok yang pernah tabrakan sama lu di café.”

“Oh, itu!” Mirah masih mengingat jelas kejadian saat itu. Beruntung lelaki itu berbaik hati tak memarahinya, kalau tidak malu sudah dirinya. Ceroboh sekali.

“Ingat?”

Mirah mengangguk.

“Nah tuh cowok beberapa kali mampir lagi ke café. Sumpah ganteng banget ternyata. Eh siapa sangka sekarang gue tahu ternyata dia tinggal di apartemen itu.” tunjuk Liana pada gedung tinggi yang Mirah kenali.

Mirah terbelalak. “Serius?”

“Iya.” Liana mengangguk cepat. “Bentar dong! Tadi gue lihat dia masuk ke dalam mini market itu. Bentar lagi paling keluar. Lu penasaran kagak? Keknya waktu itu karena ketakutan lu sampai nggak lihat mukanya.”

Mirah hanya diam. Benar yang dikatakan Liana. Dia memang penasaran. Apalagi ternyata mereka tinggal satu apartemen. Ya Tuhan, lelaki baik hati itu…

“Nah, nah tuh dia, Mir orangnya!”

Mirah mengalihkan pandangan. Matanya menyipit sesaat. Detik selanjutnya ia ternganga tak percaya.

Dae Ho Oppa! “Ganteng kan? Makanya lu sayang tahu, Mir udah nggak kerja. Padahal dia sering banget ke café. Tapi sayang dia udah punya pacar,”

“Maksud kamu?” tanya Mirah berpaling cepat. Ia memang kaget karena laki- laki yang dimaksud Liana ada suaminya. Tapi fakta yang barusan diungkap Liana lebih mengejutkannya lagi.

“Ceweknya cantik banget, Mir. Kayak model. Tinggi, putih. Mereka selalu mampir buat makan siang bersama. Ya ampun, Mir kalau…”

Mirah tak lagi mendengar apa yang diucapkan Liana. Yang dia tahu, tiba- tiba dadanya terasa sesak. Nafasnya tercekat membuat dirinya kesulitan bernafas. Ada perasaan tidak terima mendengar semua yang dikatakan Liana.

Ah, siapa wanita itu?

selanjutnya di sini 
 
 ***

Lampung, April 2016



4 komentar: