sebelumnya di sini
“Dia tuh cowok baek-baek tau, Ni.
Nggak banyak tingkah,”
Agni mendengus. Meliana menyejajari
langkahnya yang hendak masuk ke rumah. Tantra sudah pulang daritadi, tapi
namanya serta kelebihannya terus disebut Meliana tanpa henti.
“Ya kalau gitu kenapa lo nggak sama
dia aja,” sahut Agni jutek katanya sambil membuka pintu pagar.
Meliana nyengir. “Nggak asik! Nggak
bisa diajak dugem.” Katanya. “Makanya gue bilang lebih pas sama lo yang anak
rumahan.”
“Ya elah,” desis Agni. “Cuma
gara-gara itu,”
Agni menggeleng, “Please dong, Mel. Gue nggak kenal-kenal dia. Lagian tadi kebetulan
dia nawarin tumpangan karena kita searah. Udah gitu doang. Nggak lebih.”
katanya menjelaskan.
“Tuh kan gue bilang apa, dia baik.”
“Mel, lo tahu nggak sih?” Langkah
Agni terhenti. Kini keduanya berada di beranda rumah.
“Ini itu pertama kalinya gue ketemu ama dia.
Jadi gue mana ngerti dia aslinya kayak mana. Lagian belum tentu juga kan gue
ketemu dia lagi.”
“Oh ya?”
“Iyalah. Kemungkinan ketemu juga
kecil. Sekantor aja kagak. Pokoknya nggak seperti yang ada di kepala lo.”
“Terus ngapain dia di kantor lo? Kan
tadi lo bilang ketemu di kantor.”
“Mana gue tahu,” Bahu Agni terangkat.
“Tadi bosnya ada urusan sama bos gue.”
“NAH ITU!” seru Meliana tiba-tiba
yang membuat Agni nyaris terlonjak. Bikin
kaget aja!
“Nah, si bos punya proyek. Bukan
nggak mungkin kan dia bakal sering ketemu lo.”
Agni mendelik. Kenapa Meliana segitu
semangatnya sih menyangkut dirinya dan Tantra?
“FYI, kerjaan gue banyak di lapangan
atau ruang siaran, Mel. Udah ah, ini kenapa jadi ngebahas dia sih? Nggak
penting tahu!" ujarnya seraya mengucap salam dan membuka pintu rumah.
“Udah gue mau masuk. Lo sono balik!
Rumah di sebelah juga, kenapa ngintil ke
sini?”
Meliana tergelak. “Siapa yang ngintilin lo, orang gue kangen Tante.”
“Kangen emak gue apa lapar lo?” cibir
Agni yang hanya ditanggapi tawa Meliana. Tak lama gadis itu melangkah lebih
dulu masuk ke dalam rumah, melewati Agni yang hanya bisa menggelengkan
kepalanya.
“Eh, Ni!” Agni mendongak. Meliana
yang sudah cukup jauh di depannya berbalik menatapnya. “Taruhan yuk!”
“Taruhan? Maksud lo?”
“Kurang dari tiga hari, lo pasti
bakal ketemu sama Tantra.”
Agni mendelik. Masih juga dibahas!
“Astaga, Mel lo masih juga
ngomongin…,”
“Entah kenapa gue ngerasa kalian
jodoh sih!” potong Meliana yang beroleh pelototan Agni. Ck, kenapa hari ini semua orang di sekitarnya bersikap sangat
menyebalkan…
***
Tantra baru saja membuka laptopnya,
ketika pintu rumah terbuka dan memunculkan sosok Gerry, sahabatnya. Keningnya
mengerut untuk beberapa saat sebelum matanya melirik jam di dinding.
“Tumben,” gumamnya pelan namun masih
bisa didengar.
Gerry terkekeh. “Emangnya nggak boleh
pulang sore,”
Bahu Tantra terangkat. Bibirnya
tersenyum miring. “Kamu tahu maksud aku, Ger!”
“Ya ya ya!” angguk Gerry seraya
menghempaskan diri di sofa samping Tantra. “Lagi bosen. Suntuk.”
Tantra mencibir. “Bilang aja putus
cinta,” ujarnya. “Atau ditolak cewek.”
“Tau aja sih lo,”
“Ya tau lah,” jawab Tantra. “Kayak
baru sehari aja kita kenal. Tapi tumben, biasanya alkohol pelarian atau
ngedugem nggak jelas.”
“Udah dibilang bosan.” Sahut Gerry
seraya melirik layar laptop milik Tantra. Tak lama ia berdecak. “Kerjaan itu
dikerjain di kantor, bro. Bukan di
rumah,” lanjutnya menyindir.
“Akhir bulan.” Tukas Tantra pendek.
Gerry mendesah sebelum kemudian
menggeleng. Harus diakui, Tantra itu pekerja keras. Ia selalu totalitas dalam
bekerja. Makanya wajar jika kemudian seorang Askar Adinata begitu
mempercayainya.
“Eh, ngomong-ngomong tadi gue lihat
Salsa,”
Refleks Tantra menoleh membuat Gerry
terbahak seketika. “Ck, kalau suka bilang kali. Jangan cuma dipendam itu
perasaan,”
“Bisa busuk lama kelamaan,”
Tantra meringis. Ia mengedik. “Kan
butuh proses.”
“Proses juga perlu eksekusi, Bro.”
“Emang lihatnya dimana?” tanya Tantra
mengabaikan ucapan Gerry sebelumnya.
“Di depan rumahnya.”
“Sial!” umpat Tantra mendelik. Tawa Gerry makin kencang. Dikerjai ternyata dirinya…
“Oh ya, gue tadi ketemu Meliana,”
Gerry berhenti tertawa. “Meliana
mantan gue,”
Tantra mengangguk. “Iya.”
“Di mana?”
“Di depan rumahnya.”
“Shit!
Ngerjain gue lo ini,”
Tantra menggeleng. “Nggak. Aku
serius.”
“Maksud lo?”
“Meliana itu tetanggaan sama Agni.
Tadi pas aku nganter Agni ke rumah, pas kebetulan Meliana ada di depa…,”
“Tunggu-tunggu,” Gerry mengerut. “Who’s Agni?”
“Oh,” Mulut Tantra membulat.
“Temannya bos.”
“Teman?” kerutan di dahi Gerry
bertambah dalam. Tantra bukan tak paham, tapi ia memilih mengabaikan.
“Meliana titip salam.”
Gerry menarik lurus bibirnya. “Makin
cantik nggak dia?”
Tantra menggeleng geli. Tepatlah
julukan playboy disandang Gerry.
“Seksi?”
“Ketemu sendiri aja,”
“Udah lama gue kehilangan kontaknya.”
Kepala Tantra sedikit terangkat. Ia
menunjuk meja dengan dagunya. “Cari di HP,”
“Yess!”
Gerry bersorak girang. Tak lama tangannya sudah memegang ponsel Tantra. Melihat
Gerry seperti itu, Tantra hanya bisa menggeleng geli.
“Eh, gue baru ingat. Agni-Agni yang
lo bilang itu tetangga Mel yang dulu mau dikenalin Mel ke lo kan?”
Tantra terdiam beberapa saat sebelum
kepalanya mengangguk.
“Shit!
Dia sih cantik abis,” gumam Gerry. “
Tajir pula.”
Tantra menggeleng. Sayang, judes!
***
“Gini aja, itukan tim produksi baru
dibentuk. Konsep acaranya juga belum dibahas sama anak-anak. Nah selama waktu
itu, mending lo manfaatin untuk cari calon istri.”
“Gitu ya, Mas.”
“Usaha dulu! Ya siapa tahu berhasil.”
“Ok. Thank you, Mas.”
“Ok.”
Askar menarik napas sesaat setelah ia
memutus sambungan teleponnya pada Azka. Sungguh, otaknya mendadak kosong.
Bingung berbuat apa. Ayahnya jelas-jelas tak mempercayai dirinya. Namun,
memaksakan tetap menggelar sayembara sama saja bunuh diri.
Mau ditaruh dimana harga diri gue!
“Bokap lo beneran sinting, Kar!”
Askar menoleh lalu mengangguk
mengiyakan ucapan Kent. Kini keduanya sedang menghabiskan waktu di private room
salah satu bar ternama di Ibukota.
“Bukan sinting lagi tapi nggak
waras.”
“Cih! Sama aja.”
Seketika suara tawa terdengar dari
bibir keduanya. Kent menertawakan nasib Askar. Askar menertawakan dirinya yang
terlahir menjadi anak Bram Adinata.
“Daripada lo pusing dengan ide konyol
bokap lo. Mending kita senang-senang,” Ujar Kent dengan mata berkedip.
Askar manggut-manggut. Ibu jarinya
terangkat ke atas. “Panggil mereka. Siapin yang terbaik.”
“Of
course,”
“Service?”
“Harus,” jawab Askar. “Penat nih
gue,”
Sedetik kemudian Kent menghubungi
seseorang melalui ponselnya. Hanya selang beberapa menit setelah sambungan
terputus, pintu terbuka. Tampak lima gadis bertubuh langsing dalam balutan baju
super mini masuk dengan senyum menggoda.
Seketika Kent memandang Askar. “It’s show time!”
Askar hanya terbahak sebelum kemudian
kedua tangannya terentang menyambut
kedatangan gadis-gadis itu.
Saatnya bersenang-senang!
***
Hari masih pagi, saat Agni menemukan
keberadaan Tantra di lobbi kantornya. Seketika matanya melebar. Meliana menang?
Sial!
Bahkan tak butuh dua hari untuk
dirinya bertemu lagi dengan Tantra.
“Ha—hai, Ni!”
Tantra awalnya ragu menyapa Agni.
Tapi mau bagaimana lagi, mereka berpapasan di lobbi gedung. Tak menyapa kok rasanya
seperti sombong, padahal baru kemarin keduanya berada dalam satu mobil.
“Hai!” Agni menarik senyuman tipis.
Senyuman yang sedikit dipaksakan. Entah mengapa, emosinya menjadi meningkat
begitu berhadapan dengan Tantra. Bukan, bukan karena persoalan tabrak menabrak
kemarin atau perjodohan ala Meliana, tapi lebih ke…
Dia orang Askar.
Asisten kepercayaan lelaki itu.
“Pulang?”
“Ada kerjaan di luar. Lo ke sini?”
“Ehm itu…,” Tantra sedikit gugup.
“Mau ketemu orang,”
“Siapa? Mas Aksa?”
Tantra terdiam sejenak. Ia tadi pagi
ditelepon Pak Indra untuk mendatangi stasiun TV. Pagi ini, Pak Indra mengatakan
akan meeting membahas konsep acara dengan tim produksi. Dirinya sebagai orang
yang paling dekat dengan Askar diharapkan dapat memberikan saran serta masukan.
“Tantra!”
Eh?
“Kok bengong lo?”
“Nggak—nggak…” Askar menggeleng. Ia
baru saja hendak menjawab ketika mendengar namanya dipanggil. Seketika tubuhnya
pun berbalik. Sosok Indra, tangan kanan Bram muncul.
Fiuh, untung Pak Indra datang,
bisiknya lega.
“Pak,”
“Baru datang?”
Tantra mengangguk. “Ya sudah
sama-sama saja.” lanjut Pak Indra sebelum kemudian menganggukkan sedikit
kepalanya ke Agni.
“Iya, Pak.” Tukas Tantra seraya
memutar kepala menatap Agni. “Saya duluan ya!”
Kepala Agni mengangguk, namun matanya
tak lekang menatap kepergian Tantra juga lelaki baya di depannya. Meski tak
mengenal, Agni tahu jika orang tersebut salah satu orang kepercayaan Bram. Dulu
saat masih bekerja di kantor kakaknya, Agni pernah sekali melihat kedatangan
laki-laki itu bersama Bram Adinata.
Ngomong-ngomong, sayembara itu jadi dibuat?
***
“Darimana lo jam segini baru nongol?
Kenapa juga itu ponsel pakai nggak aktif,”
Tantra meringis. Ia baru saja kembali,
duduk asaja belum tapi sudah harus mendapati gerutuan dan omelan Askar.
“Dari stasiun TV, Mas. Sorry Hp nya
lowbatt.”
“Ngapain?”
“Di suruh Pak Indra,” jawab Tantra.
“Tadi pagi saya sudah kasih tahu Mas Askar ya.”
“Kok gue nggak tahu,”
Tantra mengedik. “Kalau pas telepon
yang angkat cewek, Mas. Tapi saya juga sudah kirim pesan loh.”
“Cewek?”
Tantra mengangguk perlahan. Sejurus
kemudian terdengar umpatan dari bibir Askar.
“Shit!
Sial tuh cewek!” makinya. “Berani angkat telepon gue. Pasti pas gue lagi di
kamar mandi. Pantas aja…”
Askar terus menggerutu. Tantra
memilih mengabaikan. Sungguh, ia tak menyukai kebiasaan Askar yang suka tidur
dengan wanita yang bukan pasangan resmi. Tapi mau gimana, Askar memang penganut
gaya hidup bebas. Toh, ia juga memiliki segalanya. Jadi terserah dia mau
berbuat apapun juga.
“Terus gimana?”
Tantra mendongak. “Apa, Mas?”
“Acara itu lah? Masih tetap akan
dibuat?”
“Masih, Mas.” Jawab Tantra. “Konsepnya lagi dirembugin gimana baiknya,”
Askar berdecih. “Mau sebegimana
baiknya juga, harga diri gue jatoh.”
Tantra meringis. Tak berucap apapun. Itu sih pasti!
“Terus ceweknya?”
“Cewek?”
Askar menggeram. “Astaga Tantra!
Jangan bilang lo lupa suruhan gue. Baru juga kemarin gue suruh kan?”
“Oh,” Mulut Tantra membulat. Ia mulai
paham. Tak lama senyum di bibirnya mengembang. “Kan baru kemarin, Mas bilangnya.
Saya belum sempat cari-cari lah.”
Bibir Askar mencibir. “Jangan ngeles
lo!”
Tantra menggeleng. Askar mendesah
panjang. “Ya udah kalau gitu, lo kerja lagi.”
Tantra tahu diri. Tak lama ia
berpamitan dan pergi meninggalkan ruang kerja Askar. Sepeninggal Tantra, Askar
pun menghela napas dalam-dalam.
Papa itu benar-benar menyebalkan!
Lampung, Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar