Jumat, 30 September 2016

[Cerpen] Sumpah Samsir




Cerita diikutkan pada event horor dan misteri yang diadakan Fiksiana Community Kompasiana


Dia mati.
Lelaki itu pasti mati.
Ck, ini gila!
 “Gu—gue mua…,”
Bastian, salah seorang rekanku berlari pergi. Meskipun kalimatnya belum selesai, aku tahu apa yang akan dikatakannya. Apalagi kalau bukan dirinya yang juga merasakan perut bergejolak. Mual.
“Gue juga pergi ajalah.” Susul Dewantara, rekanku yang lain.
Mataku terpejam sesaat sebelum kemudian memandang ngeri ke depan. Tepat di tengah-tengah lapangan yang penuh kerumunan warga. Tampak seorang pemuda dengan pakain lusuh dan memar di seluruh tubuh, terikat tanpa daya di sebuah tiang. Ia dikelilingi kayu yang sudah tersulut api.
Pembakaran manusia hidup-hidup.
Aku menghela napas panjang. Api mulai menjilat kakinya. Ia diam, namun terlihat menahan kesakitan.  Sungguh, aku ngilu melihatnya. Tak lama aku pun berbalik. Tak tega!
Namun baru beberapa langkah, aku mendengar sebuah teriakan kencang. “Dengar hai warga kampung!  Saya takkan menyerah. Saya akan mencari pembunuh dan pemerkosa yang sesungguhnya. Ingat itu! Saya akan menemukannya. Dan kaliaaaan! Kalian takkan pernah tidur nyenyak selamanya.”
***
Namanya Kemala Sari. Bunga desa yang menjadi pujaan banyak pemuda desa. Bukan hanya wajahnya yang ayu tapi juga tutur katanya yang lembut dan sopan yang kemudian mampu menarik perhatian seluruh laki-laki. Sayang, si kembang desa yang tengah ranum bernasib tak secantik wajahnya. Seminggu lalu ia menghilang, dan ditemukan tiga hari setelahnya dalam keadaan tewas tanpa busana. Ia diperkosa lalu dibunuh. Warga desa meradang. Ternyata kasus seperti ini tak sekali terjadi. Dalam kurun waktu tiga bulan, sudah ada dua gadis menghilang.
Kami, aku dan kesembilan rekanku baru tiba dua minggu lalu di desa ini. Kami sedang melakukan praktik KKN sebagai salah satu mata kuliah akhir. Entah kesialan apa yang kami dapat, hingga harus mengetahui satu demi satu kejadian mencekam di desa.
Tadi pagi warga beramai-ramai mengarak seorang pemuda yang diketahui bernama Samsir. Lelaki itu dituduh menjadi pemerkosa sekaligus pembunuh Kemala. Sejujurnya aku sangsi. Meski belum lama tinggal di desa, aku mengenal sosok Samsir. Mas Samsir, demikian aku dan teman-teman memanggilnya. Dia lelaki pendiam, jarang tersenyum tetapi ramah. Aku beberapa kali bertegur sapa dengannya. Kami bahkan sempat mengobrol beberapa hari sebelum ia ditangkap warga.
Entah bagaimana bisa warga menuduh lelaki itu. Aku sendiri bingung. Yang kudengar, terakhir kali Samsir sempat pergi dengan Kemala. Tak hanya itu, wanita korban sebelumnya juga diketahui bercakap dengan Samsir terakhir kali sebelum kemudian menghilang. Samsir tak membela diri. Dia bahkan tak berkata apapun, membuat warga makin meradang dan gelap mata.
Malang tak dapat ditolak, Samsir dihakimi untuk kemudian dibakar hidup-hidup.
Bukti tak kuat, saksi tak ada.
Sungguh, itu penghakiman yang semena-mena. Jujur, aku dan teman-teman ingin membela. Tapi melihat beringasnya warga, kami sendiri ketakutan. Aku sudah mencoba menghubungi polisi, tapi hingga eksekusi berlangsung tak ada kehadiran mereka.  Kalau sudah begitu, kami bisa apa. Kami hanya mahasiswa yang sedang ‘numpang’.
 Sungguh, kami ingin pulang hidup-hidup.
***
“Aaaaaaaaarrrrrggggghhhhhh!”
Sejenak aku dan Dewantara berpandangan, sebelum kemudian kami berlari cepat menuju sumber suara. Tampak Mili, salah satu rekan wanitaku terduduk lemas di depan pintu dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya bergetar, air matanya berlinang. Ia terlihat begitu ketakutan.
“Mili, kenapa?”
“Ada apa, Mil?”
“Ya Tuhan, Mili!”
Semua orang keluar.  “Mili kenapa?”
“Ha—hantu!” pekik Mili. “A—ada hantu!”
Natasha dan Winda bergerak membantu Mili berdiri. Aku dibelakangnya berinisiatif menutup pintu. Hari mulai berganti. Jalanan tampak gelap, karena  memang hanya ada beberapa warga yang membuat penerangan di depan rumahnya. Tiba-tiba mataku menangkap sekelebat bayangan. Aku mengerjap. Tak ada apa-apa.
Aneh!
Bulu kudukku meremang seketika.
“Gu—gue mau pu—lang, Yon! Gu—e mau pu—lang!”
Seketika kepalaku berputar. Mili tampak sangat kacau. Kuhela napas sebelum  menutup pintu dan duduk di sampingnya.
“Sekarang! Gue mau pu—lang se—karang,  Yon! Gu—gue mau pu—lang po—pokoknya.” Lanjutnya lagi.
“Mili! Mili! Tenang dulu!”
“Nggak! Gue eng—nggak tenang! Gu—gue mau pu—lang, hiks!”
Semua orang di ruangan berpandangan. Tak mengerti apa yang terjadi dengan Mili. Sungguh, perasaanku makin tak enak. Ada apa ini?
“Mil, minum dulu!” Bastian mengulurkan segelas air putih pada Mili yang sayangnya ditolak gadis itu. Ia menatapku lekat-lekat sebelum kemudian kembali meracau, memaksa ingin pulang.
“Mil, lo jelasin dulu bisa?” kataku akhirnya. “Kalau tiba-tiba lo mau pulang, kan gue bingung. Mana ini udah malam, mau naik apa juga.”
Sejurus kemudian Mili terdiam. Ia terisak. “Gu—gue lihat ha—hantu?”
“HANTU? Maksud lo?”
“La—laki –laki itu. Ma—mas Sam—sir. Di—a datang. Dia—dia barusan ke—sini. Pada—hal dia ud—udah mati kan? Ka—lian bilang ta—di siang d—dia dibakar kan?”
Aku terbeliak. Meski terbata-bata, aku bisa menangkap omongan Mili. “Serius lo, Mil?”
Mili mengangguk. Spontan aku memandang teman-temanku yang lain. Semua terlihat kaget, tak percaya. Baru saja aku hendak bertanya, sebuah ketukan di pintu terdengar.
“Mas! Mas—mas! Mas Dion! Mas!”
Aku menatap teman-temanku dulu sebelum kemudian beranjak dari kursi dan membuka pintu. Tampak lelaki baya yang kukenali sebagai Pak RT berdiri di depan pintu bersama tiga lelaki baya lainnya.
“Oh, Pak RT!” sapaku ramah. “Masuk, Pak!”
“Ndak! Ndak usah, Mas. Saya buru-buru.”
“Kok buru-buru, Pak. Emang ada apa?” Tanya Bastian yang sudah berada di sampingku.
“Ini saya kemari Cuma mau kasih tau. Mas-mas sama Mbak-mbaknya jangan keluar malam-malam. Kunci pintu semuanya. Pokoknya jangan kemana-mana.”
“Memangnya ada apa, Pak.”
“Ehmm,” Pak RT terlihat ragu. Namun tak lama ia menghela napas. “Mayat Samsir menghilang, Mas.”
“Apa?”
What!”
Aku dan Bastian berpandangan ngeri. Namun hanya beberapa detik sebelum terdengar teriakan. Aku memutar tubuh.
Mili pingsan.
***
Malam itu suasana begitu mencekam. Penduduk merasakan kengerian. Ternyata polisi tiba, namun terlambat. Samsir sudah mati. Tubuhnya sudah gosong terbakar. Bermaksud dikebumikan keesokan harinya, nyatanya menghilang. Benar-benar menyeramkan.
Tak ada yang bisa tidur nyenyak malam itu. Bahkan  berhari-hari selanjutnya. Samsir muncul di rumah-rumah warga. Dengan tubuh gosong terbakar, ia mengetuk pintu rumah. Jika tak dibuka, ia akan membuka paksa. Tak ada yang dilakukannya. Hanya menatap dengan sorot dingin, begitu yang kudengar.
Benar-benar aneh!
“Kita pulang!”
“Harus!
“Tentu saja!”
“Gue nggak mau. Gue justru mau tahu gimana kelanjutannya,”
“Ya udah lo tinggal sendiri aja. Gue pokoknya mau pulang.”
“Gue yakin, itu hantu nggak ganggu. Pasti ada yang dicari.”
“Pelaku sebenarnyalah siapa lagi?”
“Nah makanya kita tunggu dulu.”
“Nggak. Pokoknya gue mau pulang.”
Teman-temanku berdebat. Ada yang ingin pulang, ada yang ingin bertahan. Aku pun menarik napas gusar. “Sudah! Sudah!” kataku menengahi. “Kita pulang!”
“Yah, tapi Yon…,”
“Nggak ada tapi-tapian. Gue nggak mau juga ada kenapa-napa,” potongku pada protes Dewantara. Ia memang begitu bernafsu mengetahui siapa pelaku yang sebenarnya, “Lagian gue udah bilang ke Pak Amrul. Beliau bilang sebaiknya kita kembali. “ sambungku seraya menyebutkan nama dosen pembimbing.
“Ck, Bapak itu bukannya ke sini,” cibir Utari.
“Sibuk kali,”
“Sibuk atau ketakutan.”
“Sudah! Sudah!” Aku menggeleng. “Kita mulai berkemas. Besok kita beritahu pak kades dulu. Pamitan. Lusa pagi kita semua pulang.”
Pagi hari, sesuai rencana kami berniat berpamitan pada kepala desa. Namun langkah kami sempat terhenti . Terdengar raungan histeris terdengar. Kami saling berpandangan sebelum kemudian bergegas menuju ke dalam rumah. Ternyata sudah ada beberapa orang di dalam rumah.
Tampak sosok tubuh tambun terbujur kaku di lantai dengan mata terbelalak. Di sampingnya seorang perempuan menangis meraung tak henti.
Pak kades!
Kami terbeliak. “Dia mati ketakutan.” Seseorang lelaki berujar pelan. Aku menoleh sekilas sebelum kemudian kembali menatap ke depan. Benarlah, tak ada luka atau darah yang terlihat.
Ghadi, salah satu rekanku menyenggolku. Ia berbisik. “Sumpah Samsir.”
***
Ternyata Ghadi benar. Sumpah Samsir di detik akhir hidupnya terjadi.  Setelah diusut, Pak Kades lah pelaku yang sebenarnya. Samsir yang muncul di depan rumahnya, membuatnya ketakutan. Benar-benar ketakutan, hingga membuatnya terkena serangan jantung lalu mati. Itulah cerita yang kudengar dari warga sekitar.
Meskipun masalah selesai, namun suasana masih terasa mencekam. Aku bisa merasakannya. Entah mengapa terasa begitu menakutkan.
“Walaupun udah ketahuan pelakunya, kenapa gue ngerasa desa ini masih suram ya?” celetuk Bastian.
“Iya sama. Auranya nggak enak.” Timpal Natasha.
“Asli. Dengar nggak sih tiap malam ada longlongan panjang?”
“Kadang-kadang jeritan,”
“Duh, untungnya besok kita pulang.”
Aku hanya diam mendengarkan obrolan teman-temanku. Pada akhirnya kami memang memutuskan untuk pulang. Persetan dengan KKN, kami ingin tidur nyenyak dan juga perasaan yang tenang. Sumpah Samsir benar-benar terjadi.
“Eh, ngomong-ngomong gue masih penasaran kemana mayatnya si Samsir ya?”
***
Lampung, September 2016

0 komentar:

Posting Komentar