![]() |
Cerita diikutkan pada event horor dan misteri yang diadakan Fiksiana Community Kompasiana |
Dia mati.
Lelaki itu pasti
mati.
Ck, ini gila!
“Gu—gue mua…,”
“Gue juga pergi
ajalah.” Susul Dewantara, rekanku yang lain.
Mataku terpejam
sesaat sebelum kemudian memandang ngeri ke depan. Tepat di tengah-tengah
lapangan yang penuh kerumunan warga. Tampak seorang pemuda dengan pakain lusuh
dan memar di seluruh tubuh, terikat tanpa daya di sebuah tiang. Ia dikelilingi
kayu yang sudah tersulut api.
Pembakaran
manusia hidup-hidup.
Aku menghela
napas panjang. Api mulai menjilat kakinya. Ia diam, namun terlihat menahan
kesakitan. Sungguh, aku ngilu melihatnya.
Tak lama aku pun berbalik. Tak tega!
Namun baru
beberapa langkah, aku mendengar sebuah teriakan kencang. “Dengar hai warga
kampung! Saya takkan menyerah. Saya akan
mencari pembunuh dan pemerkosa yang sesungguhnya. Ingat itu! Saya akan
menemukannya. Dan kaliaaaan! Kalian takkan pernah tidur nyenyak selamanya.”
***
Namanya Kemala
Sari. Bunga desa yang menjadi pujaan banyak pemuda desa. Bukan hanya wajahnya
yang ayu tapi juga tutur katanya yang lembut dan sopan yang kemudian mampu
menarik perhatian seluruh laki-laki. Sayang, si kembang desa yang tengah ranum
bernasib tak secantik wajahnya. Seminggu lalu ia menghilang, dan ditemukan tiga
hari setelahnya dalam keadaan tewas tanpa busana. Ia diperkosa lalu dibunuh.
Warga desa meradang. Ternyata kasus seperti ini tak sekali terjadi. Dalam kurun
waktu tiga bulan, sudah ada dua gadis menghilang.
Kami, aku dan
kesembilan rekanku baru tiba dua minggu lalu di desa ini. Kami sedang melakukan
praktik KKN sebagai salah satu mata kuliah akhir. Entah kesialan apa yang kami
dapat, hingga harus mengetahui satu demi satu kejadian mencekam di desa.
Tadi pagi warga
beramai-ramai mengarak seorang pemuda yang diketahui bernama Samsir. Lelaki itu
dituduh menjadi pemerkosa sekaligus pembunuh Kemala. Sejujurnya aku sangsi.
Meski belum lama tinggal di desa, aku mengenal sosok Samsir. Mas Samsir,
demikian aku dan teman-teman memanggilnya. Dia lelaki pendiam, jarang tersenyum
tetapi ramah. Aku beberapa kali bertegur sapa dengannya. Kami bahkan sempat
mengobrol beberapa hari sebelum ia ditangkap warga.
Entah bagaimana
bisa warga menuduh lelaki itu. Aku sendiri bingung. Yang kudengar, terakhir
kali Samsir sempat pergi dengan Kemala. Tak hanya itu, wanita korban sebelumnya
juga diketahui bercakap dengan Samsir terakhir kali sebelum kemudian
menghilang. Samsir tak membela diri. Dia bahkan tak berkata apapun, membuat
warga makin meradang dan gelap mata.
Malang tak dapat
ditolak, Samsir dihakimi untuk kemudian dibakar hidup-hidup.
Bukti tak kuat,
saksi tak ada.
Sungguh, itu
penghakiman yang semena-mena. Jujur, aku dan teman-teman ingin membela. Tapi
melihat beringasnya warga, kami sendiri ketakutan. Aku sudah mencoba
menghubungi polisi, tapi hingga eksekusi berlangsung tak ada kehadiran mereka. Kalau sudah begitu, kami bisa apa. Kami hanya
mahasiswa yang sedang ‘numpang’.
Sungguh, kami ingin pulang hidup-hidup.
***
“Aaaaaaaaarrrrrggggghhhhhh!”
Sejenak aku dan
Dewantara berpandangan, sebelum kemudian kami berlari cepat menuju sumber
suara. Tampak Mili, salah satu rekan wanitaku terduduk lemas di depan pintu
dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya bergetar, air matanya berlinang. Ia terlihat
begitu ketakutan.
“Mili, kenapa?”
“Ada apa, Mil?”
“Ya Tuhan, Mili!”
Semua orang
keluar. “Mili kenapa?”
“Ha—hantu!”
pekik Mili. “A—ada hantu!”
Natasha dan
Winda bergerak membantu Mili berdiri. Aku dibelakangnya berinisiatif menutup
pintu. Hari mulai berganti. Jalanan tampak gelap, karena memang hanya ada beberapa warga yang membuat
penerangan di depan rumahnya. Tiba-tiba mataku menangkap sekelebat bayangan.
Aku mengerjap. Tak ada apa-apa.
Aneh!
Bulu kudukku
meremang seketika.
“Gu—gue mau pu—lang,
Yon! Gu—e mau pu—lang!”
Seketika
kepalaku berputar. Mili tampak sangat kacau. Kuhela napas sebelum menutup pintu dan duduk di sampingnya.
“Sekarang! Gue
mau pu—lang se—karang, Yon! Gu—gue mau
pu—lang po—pokoknya.” Lanjutnya lagi.
“Mili! Mili!
Tenang dulu!”
“Nggak! Gue eng—nggak
tenang! Gu—gue mau pu—lang, hiks!”
Semua orang di
ruangan berpandangan. Tak mengerti apa yang terjadi dengan Mili. Sungguh,
perasaanku makin tak enak. Ada apa ini?
“Mil, minum
dulu!” Bastian mengulurkan segelas air putih pada Mili yang sayangnya ditolak
gadis itu. Ia menatapku lekat-lekat sebelum kemudian kembali meracau, memaksa ingin
pulang.
“Mil, lo jelasin
dulu bisa?” kataku akhirnya. “Kalau tiba-tiba lo mau pulang, kan gue bingung.
Mana ini udah malam, mau naik apa juga.”
Sejurus kemudian
Mili terdiam. Ia terisak. “Gu—gue lihat ha—hantu?”
“HANTU? Maksud
lo?”
“La—laki –laki itu.
Ma—mas Sam—sir. Di—a datang. Dia—dia barusan ke—sini. Pada—hal dia ud—udah mati
kan? Ka—lian bilang ta—di siang d—dia dibakar kan?”
Aku terbeliak.
Meski terbata-bata, aku bisa menangkap omongan Mili. “Serius lo, Mil?”
Mili mengangguk.
Spontan aku memandang teman-temanku yang lain. Semua terlihat kaget, tak
percaya. Baru saja aku hendak bertanya, sebuah ketukan di pintu terdengar.
“Mas! Mas—mas!
Mas Dion! Mas!”
Aku menatap
teman-temanku dulu sebelum kemudian beranjak dari kursi dan membuka pintu.
Tampak lelaki baya yang kukenali sebagai Pak RT berdiri di depan pintu bersama
tiga lelaki baya lainnya.
“Oh, Pak RT!”
sapaku ramah. “Masuk, Pak!”
“Ndak! Ndak usah,
Mas. Saya buru-buru.”
“Kok buru-buru,
Pak. Emang ada apa?” Tanya Bastian yang sudah berada di sampingku.
“Ini saya kemari
Cuma mau kasih tau. Mas-mas sama Mbak-mbaknya jangan keluar malam-malam. Kunci
pintu semuanya. Pokoknya jangan kemana-mana.”
“Memangnya ada
apa, Pak.”
“Ehmm,” Pak RT
terlihat ragu. Namun tak lama ia menghela napas. “Mayat Samsir menghilang, Mas.”
“Apa?”
“What!”
Aku dan Bastian
berpandangan ngeri. Namun hanya beberapa detik sebelum terdengar teriakan. Aku
memutar tubuh.
Mili pingsan.
***
Malam itu
suasana begitu mencekam. Penduduk merasakan kengerian. Ternyata polisi tiba,
namun terlambat. Samsir sudah mati. Tubuhnya sudah gosong terbakar. Bermaksud
dikebumikan keesokan harinya, nyatanya menghilang. Benar-benar menyeramkan.
Tak ada yang
bisa tidur nyenyak malam itu. Bahkan
berhari-hari selanjutnya. Samsir muncul di rumah-rumah warga. Dengan
tubuh gosong terbakar, ia mengetuk pintu rumah. Jika tak dibuka, ia akan
membuka paksa. Tak ada yang dilakukannya. Hanya menatap dengan sorot dingin,
begitu yang kudengar.
Benar-benar aneh!
“Kita pulang!”
“Harus!
“Tentu saja!”
“Gue nggak mau.
Gue justru mau tahu gimana kelanjutannya,”
“Ya udah lo
tinggal sendiri aja. Gue pokoknya mau pulang.”
“Gue yakin, itu
hantu nggak ganggu. Pasti ada yang dicari.”
“Pelaku
sebenarnyalah siapa lagi?”
“Nah makanya
kita tunggu dulu.”
“Nggak. Pokoknya
gue mau pulang.”
Teman-temanku
berdebat. Ada yang ingin pulang, ada yang ingin bertahan. Aku pun menarik napas
gusar. “Sudah! Sudah!” kataku menengahi. “Kita pulang!”
“Yah, tapi Yon…,”
“Nggak ada
tapi-tapian. Gue nggak mau juga ada kenapa-napa,” potongku pada protes
Dewantara. Ia memang begitu bernafsu mengetahui siapa pelaku yang sebenarnya, “Lagian
gue udah bilang ke Pak Amrul. Beliau bilang sebaiknya kita kembali. “ sambungku
seraya menyebutkan nama dosen pembimbing.
“Ck, Bapak itu
bukannya ke sini,” cibir Utari.
“Sibuk kali,”
“Sibuk atau
ketakutan.”
“Sudah! Sudah!”
Aku menggeleng. “Kita mulai berkemas. Besok kita beritahu pak kades dulu.
Pamitan. Lusa pagi kita semua pulang.”
Pagi hari,
sesuai rencana kami berniat berpamitan pada kepala desa. Namun langkah kami
sempat terhenti . Terdengar raungan histeris terdengar. Kami saling
berpandangan sebelum kemudian bergegas menuju ke dalam rumah. Ternyata sudah
ada beberapa orang di dalam rumah.
Tampak sosok tubuh
tambun terbujur kaku di lantai dengan mata terbelalak. Di sampingnya seorang
perempuan menangis meraung tak henti.
Pak kades!
Kami terbeliak. “Dia
mati ketakutan.” Seseorang lelaki berujar pelan. Aku menoleh sekilas sebelum kemudian
kembali menatap ke depan. Benarlah, tak ada luka atau darah yang terlihat.
Ghadi, salah
satu rekanku menyenggolku. Ia berbisik. “Sumpah Samsir.”
***
Ternyata Ghadi
benar. Sumpah Samsir di detik akhir hidupnya terjadi. Setelah diusut, Pak Kades lah pelaku yang
sebenarnya. Samsir yang muncul di depan rumahnya, membuatnya ketakutan. Benar-benar
ketakutan, hingga membuatnya terkena serangan jantung lalu mati. Itulah cerita
yang kudengar dari warga sekitar.
Meskipun masalah
selesai, namun suasana masih terasa mencekam. Aku bisa merasakannya. Entah
mengapa terasa begitu menakutkan.
“Walaupun udah
ketahuan pelakunya, kenapa gue ngerasa desa ini masih suram ya?” celetuk
Bastian.
“Iya sama. Auranya
nggak enak.” Timpal Natasha.
“Asli. Dengar
nggak sih tiap malam ada longlongan panjang?”
“Kadang-kadang
jeritan,”
“Duh, untungnya
besok kita pulang.”
Aku hanya diam
mendengarkan obrolan teman-temanku. Pada akhirnya kami memang memutuskan untuk
pulang. Persetan dengan KKN, kami ingin tidur nyenyak dan juga perasaan yang
tenang. Sumpah Samsir benar-benar terjadi.
“Eh,
ngomong-ngomong gue masih penasaran kemana mayatnya si Samsir ya?”
***
Lampung,
September 2016
0 komentar:
Posting Komentar