Yang
Sulit Terlupa
“Oi Ta! Mantan lo nih udah ganti PP
berdua sama cewek nih. Lo kapan?”
Hah?
Aku melongo sesaat. Bingung dengan ucapan Natasya, sahabatku. Sampai akhirnya ketika dia menyodorkan laptopnya ke arahku, aku baru paham.
Deg.
Rasanya
sesak.
“Apaan sih lo?” kataku dengan raut
masam. Kusorongkan kembali laptop ke hadapan Natasya. “Nggak penting tauk!”
lanjutku ketus.
“Yakin nggak penting?” goda Natasya. “Lo
kan produk gagal move on, Ta.” Imbuhnya seraya terkikik geli.
“Sialan lo!” umpatku gusar. “Kayak lo
nggak aja!”
“Gue? Gagal move on? Nggak tuh!”
Aku mencibir. “Buktinya status lo nggak
berubah- berubah juga,” sindirku telak.
“Eits, ini namanya solidaritas
persahabatan, Ta. Lo kan lagi jomblo masa gue tega jadian. Entar yang ada lo
gigit jari lagi pas gue dua- duaan sama pacar.”
Bibirku kembali mencebik. Natasya bohong! Aku sering kok
melihatnya diam- diam membuka profil akun facebook Damar, mantan pacarnya.
Sesekali juga aku juga diajaknya makan siang di kantin Fakultas Pertanian.
Damar memang merupakan mahasiswa Agroteknologi.
Jadi apa namanya kalau bukan gagal move on juga?
“Oh, solidaritas.” ucapku dengan nada
mengejek. “Ya kali gue nggak pernah ngepoin akun medsos mantan. Lagian ya mana
pernah gue maksain diri makan di kantin yang jelas- jelas bukan kantin jurusan
gue,”
Natasya merengut seketika. “Ck, lo ini
nyebelin deh!”
Aku terbahak. “Ya udah lah ya. Akuin deh
lo juga produk gagal move on.”
“Oh ya, sesama produk gagal move on dilarang saling membully,”
tambahku yang berbuah delikan Natasya.
“Gagal move on kok bangga?”
Aku tersenyum getir. Siapa juga yang bangga?
***
Aku menghela napas dalam- dalam sembari
menatap sebuah foto yang tertempel rapi di depan sebuah buku harianku. Tampak
diriku dalam balutan kaos berwarna putih tengah bertatapan dengan laki- laki
yang berpakaian dengan warna senada. Dengan latar putih di belakangnya, kami
sama- sama mengulas senyuman bahagia.
Ah, sangat bahagia tepatnya.
Tapi saat itu…
Sekarang?
Benakku kembali teringat foto yang
kulihat di laptop Natasya tadi siang. Foto yang dijadikan profile picture sebuah akun media sosial miliknya. Natasya memang
kepo. Tak hanya mantan pacarnya tapi juga mantan pacarku selalu menjadi
targetnya. Entah apa yang membuatnya melakukan hal seperti itu, aku tak peduli.
Selama masih dalam tahap wajar, bukan suatu masalah kan?
Senyumnya riang dengan seorang gadis di
sampingnya.
Ah, sial! Foto tadi menguak kembali
kisah lama yang berusaha kulupakan selama beberapa bulan ini. Tak mudah memang,
karena sejatinya dia benar- benar memiliki tempat teristimewa di hatiku. Dan
kalau boleh jujur, aku masih sangat merindukannya.
Benar-
benar rindu…
***
“Nandita!”
Aku menoleh dan terkejut saat mendapati
siapa yang memanggil namaku. Dengan tangan melambai, dia bangkit dari kursi dan
melangkah mendekatiku.
Sial! Dari sekian banyak tempat makan
kenapa aku harus bertemu dengannya di sini sih, rutukku dalam hati.
Dan
tunggu, siapa gadis yang duduk bersamanya itu?
Jangan- jangan gadis kemarin yang ada di
foto lagi…
“Sama siapa, Ndi?”
Mataku terpejam sejenak. Demi Tuhan,
kenapa dia masih memanggilku dengan sebutan itu sih. Nandita. Ndi.
“Hei, Bara!” sapaku basa- basi. Kesepakatan
antara aku dan Bara, meski hubungan berakhir tetapi kami masih bisa berteman.
Jadi dimana pun atau kapanpun bertemu tak boleh membuang muka. Harus saling
sapa.
“Lagi cari makan juga ya?” sambungku
kemudian
Ck,
pertanyaan apa itu, Ta! Ya iyalah inikan tempat makan. Masa iya dia cari angin!
Bara mengangguk. “Kamu sendirian?”
tanyanya lagi.
Kini giliran aku yang mengangguk. “Iya.”
Jawabku pendek.
“Oh ya udah kalau gitu gabung sama aku
aja!”
Gabung?
Aku terbelalak. Yang benar saja!
“Eh, nggak- nggak!” ujarku sambil
menghela napas panjang. “Aku mau pesan dibungkus kok nggak makan sini.”
Bara mengernyit. “Bukannya dulu kamu
bilang ayam bakarnya jauh lebih enak makan di sini ya daripada dibawa pulang.”
Iya
itu dulu! Waktu kita masih pacaran, omelku dalam hati.
Dulu aku sih senang- senang aja menghabiskan waktu berdua sama kamu.
Tapi
sekarang?
Masa iya, aku mau makan bareng pacar
kamu. Ah, sesak sekali rasanya…
“Kok bengong, Ndi?”
“Eh?” Aku gelagapan. Terlalu banyak
monolog dalam kepalaku. Ck, laki- laki ini kenapa nggak bisa peka sih?
Aku kan mantan, masa iya mau gabung sama
dia dan pacar barunya.
Ck…
“Aku nggak papa, Bar. Udah kamu balik
aja ke kursi kamu. Aku cuma pesan dibungkus sih nggak bakal lama.” usirku
halus. Sekilas aku melirik ke dalam dan melihat gadis yang bersama Bara tengah
menatap ke arah kami.
Duh
jadi nggak enak kan?
“Tapi kamu kan…,”
“Udah masuk sana!” aku mendorong tubuh
Bara. “Kasihan tuh cewek kamu manyun sendirian.”
Bara berbalik sekilas. Kulihat ia
tersenyum sesaat sebelum akhirnya berpaling menatapku kembali.
“Ya udah aku masuk ya!”
Aku mengangguk. Bara pun berlalu.
Ya
Tuhan, kenapa rasanya sakit…
***
“Udah
makan belum, Ndi?”
Aku
menggeleng. “Makan yuk!”
“Di
tempat biasa ya,” senyumku sumringah.
“Kamu
suka amat sih di sana?”
“Kan
makanannya enak, “ jawabku jujur.
Bara
menggeleng lalu tersenyum. “Ya udah ayo!”
“Yess!”
sorakku girang. “Pacar aku emang baik deh!”
“Apa
sih yang nggak buat kamu, Ndi.”
***
“Kamu
dimana, Ndi?”
“Di
kost.”
“Jalan
yuk!”
“Kemana?
Males ah. Panas.”
“Ditraktir
es krim mau?”
Aku
nyengir. “Kalau itu sih ayolah! Pantang ditolak.”
“Aku
pacar yang baik kan?”
***
“Selamat
ya, Ndi.”
Aku
mengernyit. “Selamat buat apaan?”
“Loh
kamu belum lihat?”
“Lihat
apa?”
“Astaga,
Ndi. Itu IP kamu semester ini sempurna nggak tahu?”
“Yang
benar?” tanyaku ragu.
“Benar
lah. Kapan sih aku bohong sama kamu, Ndi.”
“Yess!”
aku berseru girang.
Bara
tertawa. “Ndi-ku memang hebat.”
“Pacar
siapa dulu?”
***
“Woi ,Ta!” Aku tersentak. Tersadar dari
lamunan. “Bengong aja sih lo,”
Eh?
“Yaelah pasang muka bego dia,”
Aku merengut seketika. Natasya nyengir.
“Lagian lo dari tadi bukannya makan malah bengong. Lo ada masalah ya?”
“Nggak papa,” jawabku asal.
“Ck, males banget sih. Cewek itu kalau
bilang nggak papa berarti ada apa- apa.”
Dahiku berkerut. Natasya benar tapi apa
dia lupa kalau dia juga seorang perempuan. Jadi seakan- akan perkataannya itu
mengejek gendernya sendiri.
“Tadi gue ketemu Bara, Nat.”
Natasya melotot. “Kapan?”
“Tadi. Pas gue beli makan.”
“Dia sendiri?”
Aku menggeleng. “Dia sama cewek yang di
PP itu,”
“Jadi bener pacarnya?”
Bahuku mengendik. Entah apapun hubungan
keduanya tapi yang pasti gadis itu yang itulah yang kulihat bersama Bara.
“Ta?”
“Hmm,”
“Rasanya gimana ketemu mantan sama pacar
barunya?”
“Emang si Damar masih single?”
Wajah Natasya bertekuk. “Lo doain Damar
punya cewek baru gitu?”
Aku tertawa miris. “Ya iyalah dia juga
kan harus move on,”
“Iya juga sih.” Natasya menyahut lirih.
“Lo sadar nggak sih kita ini jomblo ngenes. Bukannya tepe- tepe nyari cowok
baru malah terus nginget si mantan. Nggak asik banget ya nggak sih?”
“Ya kan lo yang masih demen ngepoin
status Damar?” sindirku.
Natasya merengut. “Kayak lo bisa aja
ngelupain Bara.”
Aku meringis pilu. Emang benar sih! Tapi Bara itu pacar pertamaku. Kami menjalin
hubungan cukup lama. Hampir hariku dihabiskan bersamanya. Jadi wajar kan kalau
aku sulit untuk melupakannya.
“Ah
mengenaskan ya nasib kita,”
“Kita?” aku menggeleng. “Lo aja kali.”
“Natasya berdecak kesal. “Kan lo yang
galau abis ketemu mantan sama cewek barunya.”
Aku meringis. Natasya benar. Memang aku
yang terlihat lebih mengenaskan sepertinya. Mungkin karena akhirnya tadi aku
bertemu dengannya lagi. Kenangan bersamanya masih tersimpan rapi dalam hati.
Ah, semua butuh waktu, Ta!
Aku mendesah panjang. Kalimat itu
terdengar mudah diucapkan, tapi rasanya sulit dilakukan. Teramat sulit untukku.
***
Lampung,
Mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar