Kamis, 19 Mei 2016

[Cerpen] Kita Pisah, Kita Beda



Kita Pisah, Kita Beda



 “Mbak Rissa!”
Langkahku yang hendak menuju kamar terhenti. Aku berbalik dan mendapati Bu Ayu, pemilik kostku melangkah terburu- buru menghampiriku.
“Maaf ini, Mbak.” katanya sesaat setelah di hadapanku. “Ibu lupa. Kemarin ada kiriman untuk Mbak Rissa.”
“Kiriman?” Dahiku berkerut. Bu Ayu mengangguk dan menyodorkan amplop coklat yang sedari tadi dipegangnya.
“Iya. Nih!”
Spontan aku membaca nama pengirim dalam amplop. Seketika tubuhku menegang. Nafasku tercekat seketika.
“Aku mau nikah, Ris!”
“Oh,”
“Kamu ikhlas kan?”
“Ya ikhlas lah,” tawaku sumbang. “Ngapain juga aku nggak ikhlas sih.”
“Mbak Rissa!”
Aku terhenyak. Panggilan Bu Ayu menarik kesadaranku. Aku pun mengerjap seraya memamerkan senyuman kepada Bu Ayu.
“Mbak Rissa nggak papa?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak. Aku nggak papa kok, Bu. Makasih ya,” ujarku sembari mengangkat amplop cokelat pemberiannya.
Bu Ayu mengangguk. “Kalau gitu aku masuk dulu, Bu.” Aku berpamitan kemudian.
“Iya. Sekali lagi maaf ya, Mbak baru dikasih sekarang.”
“Nggak papa kok, Bu.” Senyumku terulas. Lagipula nggak dikasih justru lebih baik untukku.
***
Galih Handaru.
Kuhempaskan tubuhku di ranjang seraya menghembuskan nafas dengan kencang. Pada akhirnya kamu meninggalkanku, Ru, bisikku dalam hati.
Aku melirik amplop cokelat yang berada di tangan kananku. Perlahan kuangkat dan kuterawang. Tak nampak apapun, namun aku tahu isinya. Si pengirim sudah meneleponku beberapa hari lalu.
“Bener kamu ikhlas?”
Aku tertawa kembali. “Ya ikhlas lah, Ru. Nikah itu ibadah kan kata kamu? Apa dulu kamu bilang separuh dien.”
“Lagian ya pernikahan itu suatu kabar baik, Ru. Kamu bahagia, aku juga pasti bahagia.”
Munafik!
Aku mencibir dalam hati. Rissa pembohong ulung!
Bahagia?
Ah, kata itu terdengar menyakitkan sekarang.
Tiba- tiba dering ponsel terdengar. Aku tersentak. Perlahan kutegakkan tubuh dan meraih tas kuletakkan di atas nakas. Aku mengernyit saat melihat deretan angka di layar ponsel.
Siapa?
“Kamu sudah terima undanganku?”
Deg.
Jantungku berdegup kencang mengenali suara ini. Galih Handaru. Ndaru.
“Aku kirim pakai paket kilat. Udah sampai belum, Ris?”
“Eh? U—udah, udah.” jawabku gugup.
Ya Tuhan, kenapa dia menghubungi lagi sih?
“Lalu?”
“Hah?” Aku blank. Kerja otakku sedikit melambat karena suara Ndaru. Masih tak percaya sekaligus bingung.
“Kamu datang ke nikahanku kan?”
Aku terbelalak seketika. Bertemu dengannya pasca putus adalah hal yang paling kuhindari. Dan karena hal ini pula aku memutuskan merantau ke ibukota, meninggalkan kampung halaman yang mengingatkan banyak kebersamaan kami. Dan sekarang dengan gampangnya dia berkata agar aku dapat datang ke pernikahannya.
Ya Tuhan, itu sih sama saja aku membuka luka lama.
“Carissa.”
“Eh. A—aku nggak tahu, Ru.” Kuhela napas dalam- dalam sebelum akhirnya melanjutkan bicara, “Kerjaanku kan banyak. Apalagi akhir bulan. Jadi aku nggak yakin kalau bisa pulang.”
“Kamu nggak lagi menghindar kan, Riss!”
Sial, gerutuku dalam hati. Apa dia menyadarinya?
“Nggaklah! Kan aku bilang kalau kamu senang ya aku juga senanglah. Lagian itu juga acara baik jadi kenapa aku harus menghindar,” cerocosku menutupi ketegangan yang terjadi.
Pembohong kamu, Riss!
“Oh kupikir kamu menghindariku?” ucap suara di seberang. Aku memejamkan mata sejenak. Sepertinya dia sudah move on dibanding aku.
Ah, mengapa fakta ini terasa menyesakkan.
“It’ s Ok kalau gitu. Tapi usahakan datang ya, Riss. Aku kan juga pengen kamu datang.”
Aku mengangguk namun detik kemudian tersadar jika dia tak bisa melihatku. “Ok. Kuusahakan tapi nggak janji ya.” Ucapku basa- basi.
“Ok.”
Dan sambungan pun tak lama terputus. Menyisakan diriku yang hanya bisa tersenyum getir. Ck, kapan kamu bisa melupakannya, Riss!
***
“Rissa!
Aku celingukan mencari sumber suara. Detik selanjutnya aku ternganga menemukan Ndaru, laki- laki yang telah setahun kukenal berada di panggung kecil yang berada di sudut café. Ia duduk di atass sebuah kursi dengan tangan memegang sebuah gitar. Wajahnya berbinar menatap ke arahku.
Tunggu apa yang mau dia lakukan?
“Selamat malam semua. Saya Galih Handaru. Malam ini akan bernyanyi khusus untuk seorang gadis yang tengah berdiri di ujung sana.”
Aku dapat merasakan wajahku memanas karena kata- kata Ndaru. Tangannya yang menunjuk ke arahku membuat semua mata kini mengarah hanya kepadaku.
Ndaru sial…
“Rissa, lagu ini buat kamu!”
Lelap haru di taman
Bias makna yang terpendam
Alas tonggak harapan
Dahiku berkerut. Lagu ini kan?
Mendadak jantungku terasa berdegup kencang. Siapapun mengenal baik lagu ini dan Ndaru menyanyikan lagu ini khusus untukku. Jangan- jangan…
Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang, untuk katakan cinta...
Jadikanlah aku pacarmu, kan kubingkai s'lalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu, iringilah kisahku...
Tatapan Ndaru yang tak lepas ke arahku  selama menyanyi membuatku tersipu.Wajahku memerah. Ya Tuhan, lelaki ini…
Aku memilih diam, menikmati alunan suara merdu Ndaru sambil sesekali menarik napas panjang. Untuk apa Ndaru menyanyikan lagu ini?
Tak lama Ndaru mengakhiri suara merdunya lalu tersenyum. Matanya masih menatapku dengan lembut  dan dengan lirih berkata,
“Would be my girlfriend, Riss?”
***
Kuhela napas dalam- dalam saat kakiku melangkah keluar mobil yang kukendarai. Aku menatap lekat- lekat gedung yang sudah dihiasi dekorasi pernikahan. Di sisi kanan berderet bunga papan yang berisi ucapan selamat sukacita.
Selamat menempuh hidup baru Galuh& Hanna
Aku tersenyum tipis. Di suatu masa lalu, aku pernah menginginkan namaku yang bersanding dengan nama Ndaru. Manusia selalu berencana tapi tetap Tuhan yang menentukan. Pada akhirnya bukan namaku yang tertulis di sana.
“Rissa!”
Aku menoleh saat mendengar namaku dipanggil. Tak lama aku tersenyum saat menemukan si pelaku. Anindito, salah seorang sahabatku yang juga telah lama mengenal Ndaru.
“Datang ke nikahan mantan susah kali ya,” Aku mengenal Dito sudah bertahun- tahun dan tahu kalau ia tengah menggodaku.
Aku nyengir. “Gagal move on dong gue kalau nggak datang,”
Ck,bohong lagi, Riss, cibirku dalam hati.
“Well, kalau gitu gue asumsikan lo udah nggak ada perasaan apa- apa nih sama Galuh.” Kekeh Dito.
Bahuku mengendik tak menanggapi ucapannya. Aku memilih mengalihkan topik pembicaraan. “Lo baru datang apa udah mau balik?”
“Baru. Yuk bareng masuknya!”
Aku mengangguk dengan bibir mencebik. “Aelah jomblo ni ye!”
“Sialan lo, Ris!” umpat Dito sambil menyeringai. “Lo harusnya bersyukur karena gue lo nanti di dalam nggak salting- salting amat.”
Aku mendelik. “Ck, rusuh lo, Dit!”
Tapi harus kuakui kebenaran kata- kata Dito. Memang karena keberadaannya aku bisa bersikap lebih rileks dan santai. Pun saat menyalami kedua mempelai, canda Dito dapat mengurangi ketegangan yang ada dalam diriku.
“Selamat ya, Ru.” Senyumku saat menyalami Ndaru.
Thanks ya Riss, udah mau datang.”
Aku tersenyum dan mengangguk, lalu bergegas menyalami istrinya. Tak perlu basa- basi dan banyak bicara, karena memang sudah tak ada hubungan apa- apa lagi diantara kami. Hanya ucapan selamat serta doa tulus untuk kebahagiaannya.
Ya, kebahagiaannya. Kebahagiaan Ndaru dan istrinya, karena selamanya aku takkan pernah bisa mendampinginya. Kami berbeda. Keyakinan tak sama. Dan takkan pernah sama. Aku menghormati Ndaru pun dengan dirinya. Jadi berakhir adalah keputusan terbaik.
“Galau, Riss?”
Aku menoleh lalu menggeleng. “Jujur ya, Dit. Awalnya pasti berat tapi entah kenapa gue sekarang lebih lega,”
Dito mengernyit. “Wajah Ndaru terlihat lebih bahagia. Bukan gue bilang pas sama gue nggak bahagia ya, tapi sekarang Ndaru nggak harus konfrontasi sama keluarganya kan?” sambungku yang membuat Dito manggut- manggut.
“Well, dia bahagia masa gue kalah sih,”
Dito tertawa. “Jadi ikhlas nih?”
Aku mengangguk perlahan. “Harus dong!”
“Oke kalau gitu, nih kan banyak cowok cakep ya. Kayaknya ada beberapa gue lihat klien gue deh. Mau gue kenalin?”
Aku terbahak. “Boleh. Siapa takut?”
Dan tak lama tawa kami berdua terdengar. Waktu takkan mampu membuatmu melupakan seseorang namun waktu mampu membuatmu mengikhlaskannya.
***
Lampung, Mei 2016

2 komentar: