Sabtu, 14 Mei 2016

[Cerpen Kolab] Kupu- Kupu Malam



Kupu- kupu Malam

Oleh : Imas Siti Liawati dan Putri Apriani


"Bu, apa di sini ada surga?" tanya anakku, menggenggam kedua kakiku. 
Anakku semakin besar. Usianya kini menginjak angka lima. Pertanyaan demi pertanyaan ia lontarkan begitu saja, beberapa bisa kujawab, beberapa lagi tidak. Ada satu pertanyaan yang menjadi favoritnya, hampir setiap hari ia lemparkan pertanyaan itu padaku. Aku hanya dilempar pertanyaan, tapi rasanya mungkin hampir sama ketika aku dilempar dinamit berkekuatan tinggi.

"Bu, Ayah di mana? Apa aku punya Ayah?"
Jurus andalanku ketika pertanyaan itu keluar adalah mengatakan bahwa Ayahnya sedang bekerja di kota yang sangat jauh. Dan seketika ia mengangguk percaya padaku. Tapi anehnya, keesokan harinya ia seakan tak memercayaiku dengan menanyakan pertanyaan yang sama.
Ah, bahkan aku tak tahu Ayahmu yang mana, Nak, batinku.

Setiap malam, ketika anakku tertidur pulas. Aku beranjak pergi mencari uang, menguras kantong pria-pria hidung belang yang haus akan nafsu. Yang rindu belaian wanita jalang karena tak puas hidup dengan satu istri.
Yah, sementara hanya itu yang mampu aku lakukan, agar aku dan anakku dapat terus menjalani hidup.

"Bu, apa di sini ada surga?" tanya anakku  dengan menggenggam kedua kakiku. Aku terkesiap seketika. Tanpa sadar kutepis tangan anakku. Ia menatapku bingung. Cepat- cepat kuulas senyuman dan menariknya untuk duduk di sebelahku.

“Maafkan Ibu. Tadi Ibu sedikit kaget,” kataku pelan.

Anakku mengangguk dan tersenyum cerah. “Bu guru pernah bilang kalau surga itu tempat yang indah. Dan tadi  aku lihat tadi di TV kalau surge itu ada di telapak kaki Ibu.” Ucap anakku panjang lebar yang seketika membuatku tertegun.

“Su—surga…”

Anakku mengangguk kembali. Ia menatapku lekat- lekat. Aku meringis sedih.  Sungguh, aku tahu kata- kata itu. Aku pun paham maksudnya. Tapi mungkinkah surga benar- benar ada di wanita kotor seperti itu.  Sungguh, surga untuk mereka yang menjalankan perintah Tuhan sedangkan aku?

“Bu,”

Kesadaranku kembali. Kucoba kembali menyunggingkan senyum. Perlahan kuusap puncak kepalanya. “Surga memang ada di telapak kaki Ibu,” ujarku dengan nafas tercekat. “Tapi maksudnya bukan di kaki Ibu. Tetapi ada di sikap dan perilakumu kepada Ibu. Berbakti dan mendengarkan kata- kata Ibu. Nurut dan tidak suka membantah. Jadi pahala yang baik akan membawamu ke surga.”

“Oh, jadi aku harus selalu nurut sama omongan Ibu ya?”

Aku tersenyum dan mengangguk. “Anak pintar!” pujiku dengan senyum miris.

“Oke. Kalau gitu aku janji akan selalu jadi anak yang baik. Nggak akan nakal lagi.” Senyumnya melebar tetapi justru membuat hatiku teriris pilu. Sesak.
Ah, kalau saja dia tahu yang sebenarnya apakah dia masih bisa menjadi anak baik.

“Kalau gitu sekarang pergi tidur, sudah malam!” perintahku cepat- cepat. Kulirik jam di dinding, sudah waktunya pula bagiku pun untuk ‘bekerja’.

“Ibu akan pergi?”

Aku mengangguk dan tersenyum tipis. “Ibu harus bekerja, Kak. Kamu malam ini sama Mbak Ning ya.” kataku menyebut nama keponakanku yang ikut tinggal bersama kami.

Anakku mengangguk cepat. “Iya. Tenang aja Ibu bisa pergi. Aku nggak akan cengeng. Kan aku udah janji jadi anak baik.”

Anak baik? Ah, rasanya dada ini semakin sesak.
***

“Baru pulang, Bu?”

Aku terlonjak saat mendapati lampu ruang tamu hidup secara tiba- tiba. Padahal aku sudah berusaha membuka pintu sepelan mungkin untuk tak membangunkan siapapun. Tapi sepertinya dugaanku salah, karena kini kulihat tubuh anakku sudah berdiri tak jauh dariku dengan tangan bersidekap di dada.

“Kamu ini, Kak ngagetin Ibu aja!” kataku sembari menghempaskan diri di atas sofa. Lelah.

“Tadi aku di sekolah belajar tentang hormat kepada orangtua.”

Aku diam. Berpura- pura tak mendengarkan. Anakku kini berusia tiga belas tahun. Dia sudah tahu profesiku. Entah darimana ia tahu, ia tak pernah mengatakannya. Namun aku sudah bisa menduga jika ia terbiasa mendengar gunjingan para tetangga- tetangga. Ah, siapa peduli dengan mereka.

“Sebagai anak, kita wajib hormat dengan orangtua apalagi Ibu. Karena Ibu yang sudah mengandung, melahirkan dan mengurus kita dari kecil. Durhaka namanya kalau kita melawan dengan orang tua. Tak peduli seburuk apapun mereka, kita sebagai anak harus tetap bersikap baik.”

Hatiku terasa mencelos. Nyeri. Anakku terlalu cerdas. Dia selalu tahu bagaimana membuatku bersalah dengannya. Pekerjaan ini seharusnya sudah dihentikan. Tapi aku masih melakukannya. Kebutuhan yang semakin mahal serta biaya hidup yang terus membengkak, membuatku tak bisa keluar dari profesi ini. Aku tak punya gelar apapun, pendidikanku hanya sebatas SD. Jadi hanya ini yang bisa kulakukan.

“Ibu masih ingat soal surga di telapak kaki Ibu?”

Tubuhku membeku seketika. Aku kehabisan kata- kata. 

Depok- Lampung, Mei 2016
Posted Kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar