Jumat, 22 Januari 2016

[Cerpen] SASLANG



Senyum tak henti  terkulum dari bibir tipisnya. Sedari tadi. Sejak sebaris kalimat dikirimkan dari handphonenya. Sungguh ia tak sabar bertemu si
penerima. Akhirnya saat ini tiba juga, gumamnya dalam hati.
***

Sasti mengernyitkan dahi sejenak.  Suara Lira yang didaulat sebagai MC acara menarik perhatiannya. Bukan, bukan karena suara Lira yang memang terkenal merdu, namun karena kata- kata yang diucapkannya. Lira mengatakan performance selanjutnya adalah Elang, siswa kelas XII IPA2.  Elang?  Kak Elang tampil? Tak salahkah kan pendengarannya. Dalam sepanjang pertemanannya dengan seniornya itu, tak pernah sekalipun ia tahu kalau kakak tingkatnya itu bisa menyanyi.

“Sas, buruan!” Sasti terkesiap kaget karena mendadak ia merasakan tangannya ditarik oleh Kanya dengan cepat. Langkah sahabatnya yang  panjang dan tergesa- gesa membuatnya mengikuti dengan setengah berlari.

“Mau kemana sih, Nya?” Protes Sasti kemudian. System kerja otaknya mulai bekerja. Ia tadi masih belum tersadar dari pikirannya saat Kanya tiba- tiba menariknya untuk mengikutinya.

“Ke Aula lah,”

“Ngapain?”

“Udah ih, ikut aja!”

Sasti manyun. Sebenarnya ia tak menyukai gagasan Kanya. Sungguh ia menghindari keramaian. Di aula sekolah kini sedang berlangsung acara perpisahan kelas XII. Walaupun ia termasuk bagian dari pengurus OSIS yang memang dilibatkan sebagai panitia acara, namun ia sudah cukup sibuk mempersiapkan acara sejak awal. Dan kini ketika hari H berlangsungnya acara, teman- teman sudah cukup banyak terlibat, hingga ia cukup hanya mengawasi dari jauh saja.

Dan saat ini Kanya menariknya ke aula. Untuk apa sih, keluhnya dalam hati. Menyebalkan.

“Ayo masuk!”

Hah. Sasti melongo. Ternyata kini ia sudah berada di depan aula. Sasti menatap Kanya yang kini tengah tersenyum menatapnya. Dagu Kanya menunjuk ke dalam gedung menyuruh Sasti masuk. Sasti mendengus sebal namun tak berminat masuk. Baginya ini acara untuk kakak kelasnya bukan dirinya yang hanya seorang adik kelas.

Kau begitu sempurna

Sasti tersentak. Suara ini?
Refleks kakinya melangkah memasuki gedung. Matanya tak lepas dari objek yang kini berada di atas panggung.  Sosok itu?

Dimataku kau begitu indah
Kau membuat diriku
Akan selalu memujamu

Dalam balutan jas hitam yang membungkus tubuhnya, ia terlihat menawan. Ia terlihat semakin bersinar saat bernyanyi dengan iringan gitar yang dipetiknya sendiri. Alunan irama yang telah digubah menjadi lebih jazzy serta suaranya yang ternyata merdu membuatku terhanyut sejenak. Satu kata untuknya, mempesona.

Di setiap langkahku
Ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa kubayangkan
Hidupku tanpa cintamu

Tiba- tiba Sasti kegugupan melingkupinya. Perutnya mendadak terasa mulas. Tepat saat pemilik mata hitam dan tajam itu menatapnya. Keduanya beradu pandang.  

Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa

Sosok itu menyunggingkan senyuman. Senyum tipis nan misterius, namun mampu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Tak hanya ritme jantungnya yang berantakan, hatinya pun terasa menghangat. Sesaat ia tersipu.

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku
Oh sayangku, kau begitu sempurna, sempurna

Hening. Sepi. Sepertinya tak hanya Sasti yang terpaku pada alunan nada dan petikan irama gitar, tetapi juga seluruh orang yang berada di ruangan. Lagu ini benar- benar membius mereka.

Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata
Dan hapus semua sesalku

Sasti ternganga. Tak menyangka. Seingat ia sosok laki- laki itu tak ada di dalam random acara, tapi kenapa bisa? Dan sialnya penampilannya sangat keren. 

Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa
Oh sayangku, kau begitu sempurna, sempurna

Sasti tersenyum. Ini kejutan. Sepertinya ia harus mengucapkan terima kasih pada Kanya yang menariknya kemari. Kapan lagi melihat penampilan laki- laki itu. Belum tentu seumur hidup sekali. Bukankah laki- laki itu pun akan lulus dan meninggalkan sekolah. Sasti menghela nafas panjang, mengingat bahwa lelaki itu akan meninggalkan sekolah entah mengapa membuat perasaannya tak nyaman.
Tepukan keras dan membahana menyentakkan kesadaran Sasti. Ternyata sosok itu mencuri perhatian teman- temannya. Penampilannya benar- benar mempesona, bukan?

Keluar sekarang!

Sasti mengernyit saat mendapati SMS di handphonenya. Ini kan?

Tatapannya diarahkan pada sosok yang kini tengah membungkukkan badan di panggung. Ia menatap layar handphone dan laki- laki itu bergantian. Hingga tak lama matanya bersirobok dengan mata hitam itu. Si pemilik mata hanya mengulas senyum tipis padanya dan menganggukkan kepalanya sesaat. Detik kemudian Sasti menyadari bahwa pesan itu tak main- main.

“Heh Sas, bengong lagi?” Suara Kanya menyentakkan kesadarannya, “Terpukau ya sama Kak Elang?”

“Hah? Apa? Eh,” Sasti gelagapan membuat Kanya mengulum senyum.

“Udah sih kalau suka bilang sono!”

Sasti mendelik, “Apaan sih!”

“Alah, keburu diambil orang loh!” ledek Kanya kemudian. “Apalagi udah lulus ya dia. Nanti kuliah ketemu banyak cewek cantik. Eh dia diterima di
Bandung kan ya? Duh ceweknya cantik- cantik kan?” Cerocos Kanya.

“Berisik sih, Nya!” Ujar Sasti menghentikan kata- kata Kanya. Bukan waktunya mendengar celoteh sahabatnya ini,  “Eh, gue tinggal dulu ya! Kalian nggak papa kan?”

Tangan Kanya terangkat, telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf o dan ia memamerkan senyum lebarnya. Semua cukup bagi Sasti, karena tak lama kemudian kakinya dengan setengah berlari mengarah ke arah parkiran sekolah.

Tak butuh lama baginya mencari keberadaan Honda City hitam, karena mobil itu terparkir ditempat biasanya. Di ujung sudut paling kanan. Tanpa menunggu lama Sasti mengarahkan langkahnya menghampirinya.

“Masuk,”

Sasti mengangguk lalu menghempaskan tubuhnya di kursi samping pengemudi. Tak lama mobil meluncur meninggalkan sekolah. Ok, ini bukan bolos ya, gumam Sasti dalam hati. Hari ini mereka bebas dari belajar di kelas karena memang sekolah baru saja melaksanakan ujian kenaikan. Toh, hari ini juga acara perpisahan kakak kelas, bukan?

“Keren juga, Kak!”

Elang menoleh sejenak.  “Penampilannya, “ Lanjut  Sasti yang hanya ditanggapi senyum tipis Elang.

Sasti mencibir. Tak berubah. Datar dan cuek. Khas seorang Elang. Bagaimana ia justru bisa dekat dengan orang seperti ini selama ini. Uh, lebih baik diam, dirinya memperingatkan dalam hati.

Tiba- tiba Sasti merasakan gerakan mobil mulai melambat lalu terhenti seketika. Matanya menangkap Elang yang mematikan mesin mobil perlahan. Taman?

“Keluar, yuk!”

Sasti hanya mengangguk. Kan sejak tadi ia hanya mengikuti Elang jadi ketika lelaki itu mengajaknya keluar ia pun hanya menurut.  Ia mengikuti langkah Elang yang mendekati kursi panjang yang berada tepat di danau buatan yang berada di taman. Mau ngapain sih sebenarnya?

Hening. Tak ada yang bersuara diantara keduanya. Sasti sendiri sudah beberapa kali menarik nafas dan menghembuskannya dengan gusar, tetapi Elang masih tak bergeming. Sesekali Sasti melirik ke samping, memastikan makhluk  yang berada di sampingnya masih bernafas. Namun hingga beberapa menit berlalu, Elang masih diam dengan pandangn menerawang.

“Apakah cinta itu harus diungkapkan?”

Hah. Sasti melongo. Kenapa sekalinya bertanya justru pertanyaan yang “aneh” yang keluar dari bibir Elang.

“Jawab aja sih, Sas! Nggak pake bengong!”

Sasti manyun. Tangannya bersidekap di dada. Kebiasaan. Nyuruh jawab kok maksa?

“Harus,” Akhirnya ia memilih menjawab pertanyaan Elang, “Cewek itu butuh kepastian, Kak. Bukan hanya bahasa tubuh atau kode sandi yang terkadang sulit dipahami. Kalau kata aku loh ya,”

“Bahasa verbal?”

Sasti mengendikkan bahunya, “Kurang lebih ya gitu,”

“Hmm, harusnya dengan kata- kata?”

“Kalau kakak mau bilang kakak suka aku, thanks ya kak. Sungguh aku tersanjung. Tapi ya aku kasih tahu aja untuk saat ini menjalin hubungan bukan tujuan hidup. Belum penting.”

Elang ternganga mendengar penuturan gadis disampingnya. Terlalu blak- blakan. Sasti sendiri hanya bisa nyengir. Merutuki ucapannya yang baru saja terlontar dari bibirnya. Sumpah dia  terlalu pede! Kelewat malah! Parah!

“Geer!”

Sasti meringis. Tapi entah kenapa ia memang yakin kalau Elang menyukainya. Bukan hanya karena sahabat Elang yang pernah mengatakan langsung padanya, tetapi memang perhatian yang ditunjukkan Elang padanya berbeda.

“Lo juga suka sama gue kan?”

Sasti terbelalak. Ia tak meyangka kata- katanya berbalik kini. Ia berdecak sebal, “Ck, kelewat pede!”

“Tapi bener kan?”

Sasti mendelik, namun tak dapat menyembunyikan semburat merah di pipinya. Elang menyadari hal itu. Senyumpun tersungging di bibirnya.

“Apaan sih, Kak?” Tanya Sasti gusar.

Elang hanya mengendikkan kedua bahunya seakan tak peduli, namun senyum masih terkulum di bibirnya membuat Sasti melengos kesal.

“Gue terima di Bandung,”

“Udah tahu,” Sahut Sasti enteng yang membuat dahi Elang berkerut sejenak.

“Kak, kita itu masih muda. Masih banyak cita- cita dan mimpi yang harus digapai. Makanya aku bilang belum penting untuk sebuah hubungan. Ah, nggak asyik saatnya masih main- main terikat sama kakak doang. Nggak seru!”

Elang tersenyum tipis mendengar penuturan Sasti. Jauh di dalam lubuk hatinya mengakui kebenaran kata- kata Sasti. Ia sendiri masih memiliki keinginan melanjutkan pendidikan di luar negeri suatu saat nanti dan kembali membangun negerinya untuk lebih maju.

“Aku nggak mau ya, Kak gara- gara aku kakak nggak jadi ngelanjut di Bandung karena nggak mau jauh dariku. Aku nggak maul oh jadi penyebab kegagalan kakak menggapai masa depan,”

“Sok tahu gue bakal gagal di masa depan,”

Sasti terkikik geli lalu mengulas senyum lebar. Elang memang menarik dan mempesona. Wajarlah karena ia juga sang idola sekolah. Ia sendiri tak menyangka bisa dekat dengan Elang. Keberuntungan sedang dipihaknya saat setahun lalu ia memutuskan bergabung di OSIS. Siapa sangka keterlibatannya di organisasi sekolah membuatnya mengenal dekat sosok Elang.

Harus diakui ia pun terpesona dengan Elang. Sosok itu diam- diam menelusup menempati salah satu sudut di hatinya. Namun semua tak semudah 
yang dikatakan, ada banyak hal yang harus dipikirkannya. Seperti yang ia katakan, usianya yang masih muda serta masih banyaknya mimpi yang ingin diraihnya membuatnya memikirkan ulang urusan hatinya. Belum saatnya.

 “Berjanjilah Sas!”

Hah.

“Kalau saatnya tiba, kamu tidak lagi menolakku!”

Sasti mengulum senyum mendengar kata- kata Elang. Ia mengendikkan bahu. Ia sendiri tak dapat menjamin apa yang terjadi dengan hari esok.

”Kita lihat seberapa kaya kakak saat itu!” Selorohnya kemudian.

“Dasar matre!”

Keduanya tertawa bersama. Lebih baik begini. Tak ada sakit hati, tak ada luka, tak ada perih juga tak ada dilemma kegalauan. Semua biarkan mengalir, hingga saat yang tepat dan indah.
***

So?”

“Apa?”

“Tak ada penolakan!” Katanya tegas dan yakin. Gadis di hadapannya hanya melongo tak percaya. Ini sih bukan lamaran tapi pemaksaan.

“Sok yakin sih, Kak!” Kali ini bibir gadis ini mencebik membuat laki- laki itu  terkekeh.

“Aku udah pernah bilang kan Sas, kalau saatnya tiba tak ada penolakan!” Ujar laki- laki yang ternyata Elang itu dengan yakin, “Toh, aku tahu kamu sampai sekarang juga masih menyukaiku!”

Sasti ternganga tak percaya. Kurun waktu lima tahun ternyata masih belum mengubah laki- laki ini. Masih terlalu pede. Over!

“Buktinya kamu masih single kan sampai sekarang!”

Ok. Fix. Ini lamaran atau buka- bukaan privacy. Sial, rutukku Sasti dalam hati. Double sial karena nyatanya ia memang masih menyukai laki- laki yang berada di hadapannya.

-END-

(ISL) Lampung, Januari 2015

Ps. NO JIPLAK. NO COPAS. NO PLAGIAT Yeeeee.....
#

5 komentar: