Jumat, 06 Mei 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (14)



Empat Belas
sebelumnya di sini

Hari menjelang malam. Pemandangan tepi pantai terlihat lebih cantik di saat matahari hendak kembali ke peraduannya. Semburat jingga menghias langit, semilir angin yang bertiup serta deru ombak yang memecah karang menambah pesona alam yang tersaji di hadapan Mirah. Dan semua terasa lebih lengkap dengan tangan Dae Ho yang melingkari pinggangnya. Memeluk tubuhnya dari belakang.

“Kamu suka, Mira?” bisik Dae Ho lembut ditelinganya. Lelaki itu meletakkan kepalanya di bahu kanan Mirah. Tubuh Mirah meremang dibuatnya. Ini bukan sentuhan Dae Ho yang pertama, tapi tetap saja Mirah selalu bersikap malu- malu bak gadis remaja yang baru menjalin hubungan pertama kali.

“Kamu senang?” tanya Dae Ho lagi.

Tentu saja!

Mirah mengangguk antusias. Diabaikanya geliat aneh yang menjalar dihatinya. Untuk saat ini nikmati saja.

“Terima kasih, Oppa.”

Dae Ho menepati janjinya. Dua hari mereka habiskan dengan berkeliling pulau Bali. Tidak semua, karena Bali menawarkan banyak objek wisata yang menarik. Tetapi mengingat waktu mereka yang terbatas, Dae Ho hanya mengajaknya ke destinasi populer. Dan esok pagi- pagi mereka harus kembali.

Sedikit perasaan sedih merayapi hati Mirah. Sungguh, dia tak ingin kebahagiaan ini berlalu…

“Mira,”

“Ya,”

“Kamu tahu kamu cantik?”

Senyum pun terbit di wajah Mirah. Hatinya menghangat. Sudah banyak orang memuji kecantikannya. Gen berbeda yang diturunkan kedua orangtuanya memang menjadikannya cantik. Tak hanya dia sebenarnya, kedua adiknya pun sama cantiknya. Pujian itu memang sudah biasa terdengar di telinganya, tapi sepertinya kali ini berbeda. Entah karena Dae Ho yang mengucapkan atau karena gejolak bahagia yang memenuhi hatinya.

Ah, bukan hanya sekedar gejolak bahagia. Ada perasaan aneh yang semakin lama semakin tumbuh di hatinya. Mirah sadar seharusnya dia menghentikan laju perasaan itu. Nena sudah memperingatkannya. Tapi kalau dia boleh jujur, Mirah tak ingin perasaan tersebut berhenti.

Tak bisakah dia berharap lebih pada Dae Ho.

***

Kembali ke apartemen, Mirah tak dapat menghilangkan binar senang di wajahnya. Bali mungkin tempat yang menarik dan membuat dirinya berpikir untuk tinggal lebih lama. Tetapi nyatanya ketika ia masuk kembali ke apartemennya, dia juga tak dapat menutupi kerinduan akan tempat tinggalnya selama ini.

Aku pulang.

“Sepertinya wajah kamu senang sekali?”

Mirah menoleh dan tersenyum. Kepalanya mengangguk. “Aku kira aku lebih suka tempat ini,”

Dae Ho terkekeh. “Tapi bukannya Bali menyenangkan.”

“Untuk liburan, Oppa. Tapi aku lebih suka di rumah.”

“Gadis aneh.” Gumam Dae Ho seraya masuk ke dalam kamar. “Saya akan bersiap- siap kembali ke kantor.”

Mirah terkejut. Mereka baru tiba dan Dae Ho akan pergi lagi. Ya Tuhan, betapa sibuknya lelaki ini.

“Ada apa, Mira?” Dae Ho mengernyit menatapnya.

Mirah meringis. “Kita baru sampai, Oppa. Bukannya lebih baik Oppa istirahat dulu.” Mirah sedikit geli dengan nada bicaranya. Mengapa ia terdengar seperti merajuk.

“Hanya sebentar untuk mengecek kantor.”

“Oh.” Mulut Mirah membulat. Bergegas ia pun mengikuti Dae Ho masuk ke kamar. Dipersiapkannya kebutuhan lelaki itu seperti biasa. Walaupun sejujurnya dia masih tak terima.

Begitu pentingkah pekerjaan?

Bukannya lebih baik istirahat di rumah?

Apa Dae Ho tak ingin bersama dengannya?

Mirah tersentak seketika. Ia tanpa sadar memukul kepalanya. Bagaimana bisa pikiran aneh itu memenuhi kepalanya. Sepertinya kebersamaan mereka di Bali membuatnya nyaris lupa diri. Ah, bukan hanya Bali tapi lebih ke perasaannya.

Jangan berharap lebih, Mir, peringatnya dalam hati.

Kelak jika kontrak kalian habis, kamu mau tidak mau harus pergi. Perjanjian selesai, kalian berpisah, itu aturannya.

Sadarlah, Mir…

***

“Bagaimana Bali?”

“Eh?”

“Kamu melamun, Mir?” Alis Nena bertaut memandang Mirah. Sejenak digelengkan kepalanya gusar. “Jadi dari tadi Teteh cerita kamu nggak dengar ya?”

“Hah?

Mirah terkesiap. Ia meringis kemudian. Sebersit perasaan bersalah merayapi hatinya. “Maaf, Teh!”katanya tak enak.

Nena menggeleng. Sejak awal kedatangan Mira, dia memang merasa ada yang tak beres dengan gadis itu. Mereka memang belum lama kena, tapi Mirah sudah dianggap adik oleh Nena. Garis hidup mereka sebenarnya tak berbeda jauh, namun mungkin usia serta pengalaman menjadikan Nena berada di depan Mirah.

“Ada sesuatu sama suami kamu?”

“Eng—nggak, Teh.” Jawab Mirah gugup.

“Yakin, Mir?”

“I—iya, Teh.”

Tak ada guna Nena tahu karena Mirah sudah dapat menebak apa yang akan wanita itu katakan.

“Ya udah kalau nggak ada apa- apa!” Nena mengalah. Mengorek lebih jauh pun, Mirah bungkam. Jadi lebih baik dia mengabaikan. “Tapi kalau kamu mau cerita teteh siap dengerin.”

Mirah tersenyum. “Iya, Teh. Makasih.”katanya sembari melanjutkan makan.

“Oh ya soal pekerjaan bagaimana, Mir?”

Wajah Mirah bertekuk. “Susah ya, Teh. Kalau modal ijazah SMA doang, pekerjaannya kebanyakan pake shift. Jadi susah.”

“Eh iya. Kemarin kenalan Teteh ada yang lagi nyari orang untuk bantu admin sekolahnya gitu. TK sih. Jadi jam kerjanya pasti nggak berat.”

“Dimana, Teh?” Tanya Mirah antusias.

“Kalau dari apart kamu, mungkin sekitar sekali naik angkotlah. Tapi gajinya nggak seberapa lo, Mir. Namanya sekolah TK.”

“Nggak masalah, Teh. “

“Ok.” Nena mengangguk. “Kalau sekarang ketemu dia kamu mau nggak? Sekalian kita pulang?”

“Boleh. Siapa tahu cocok.” Angguk Mirah penuh semangat. “Makasih ya, Teh.”

Nena mengangguk dan keduanya tak lama bergegas meninggalkan café tempat mereka menghabiskan waktu.

***

Raut wajah girang tak dapat ditutupi Mirah saat Kanaya menerimanya bekerja di sekolah miliknya. Meskipun Kanaya tak bisa menjanjikan memberi gaji besar, Mirah tak masalah. Karena memang bukan uang yang dibutuhkannya, hanya menghilangkan suntuk serta bosan yang mendera selama Dae Ho bekerja.

“Kapan kamu bisa ke sekolah?” tanya kanaya kemudian.

“Kapan aja siap, Mbak.” sahut Mirah cepat.

“Besok gimana?”

Mirah mengangguk. “Ok, Mbak.”

Senyum Kanaya mengembang. Wanita berhijab itu berbinar antusias. “Aku butuhnya emang cepat karena pegawai yang sebelumnya mau resign akhir bulan ini buat ngelahirin. Jadi kalau kamu masuk sekarang, kamu bisa belajar banyak sama dia.”

Mirah manggut- manggut. “Iya, Mbak.”

Kanaya tersenyum lagi lalu beralih pandang ke Nena. “Makasih ya, Mbak. Nggak tahu bisa dapat secepat ini.”

Nena tersenyum balik. “Kebetulan aja, Nay. Mirah ini kan udah gue anggap adik sendiri. Dari kemarin dia pengen cari kesibukan.”

“Oh gitu. Kamu kenal Mirah di mana?”

“Dia ini sahabatnya sepupu gue.”

“Syukurlah.” Mirah dapat melihat Kanaya menghembuskan nafas lega. “Berarti gue bisa percaya,”

Nena mengangguk. “Gue jaminannya.” Senyumnya lebar lalu menatap Mirah. “Kanaya ini pemilik butik langganan aku, Mir. Jadi kami cukup lama kenal.”

Kanaya terkekeh. “Lebih tepatnya Nena yang sering menghabiskan uang di tempatku. Ck, susah sih ya kalau punya suami kaya.”

Mirah tersedak seketika. Dia melotot. Kanaya tahu? Sesaat diliriknya Nena yang samar menggelengkan kepala.

“Apaan sih, Nay. Biasa aja kali.” Nena tersenyum tipis. “Ya udah ah. Udah mau sore nih. Gue harus balik nih. Yuk Mir!”

“Ok.” Kanaya berdiri mengikuti Nena sudah beranjak dari kursi. Mirah pun mengikuti keduanya. “Thanks ya. Dan Mir, besok pastikan kamu datang.”

“Sama- sama.”

“Iya, Mbak.”

Keduanya pun berpamitan pulang. Dan tak lama setelah mobil yang dikendarai Nena melaju meninggalkan rumah Kanaya, Nena berucap lirih, “Dia itu wanita baik- baik dan terpandang, Mir. Jadi jangan sekali- kali ceritakan tentang kehidupan kita. Kita jauh berbeda dengannya.”

“Bukannya Teh Nena akrab dengannya?”

“Akrab bukan berarti harus mengetahui semua kehidupan kita kan? Aku dekat hanya sebatas pelanggan saja. Selanjutnya privacy masing- masing.”

Mirah mengangguk. Ditilik sekilas kehidupan Kanaya jelas jauh berbeda dengan kehidupannya. Berkecukupan, karier cemerlang, serta pendidikan yang tinggi. Paket lengkap yang membuat orang- orang sepertinya iri.

“Kamu jangan sekali- kali mengungkit soal nikah kontrak. Kalaupun bilang bersuami tak masalah, tapi hindari orang lain tau tentang suamimu.”

“Iya, Teh.”

Nena menghela napas dalam- dalam lalu menatap Mirah sekilas, “Hidup itu kadang nggak adil kan, Mir?”


selanjutnya di sini


Lampung, Mei 2016



2 komentar: