Minggu, 15 Mei 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (15)

Lima Belas

sebelumnya di sini

Senyum berkembang di bibir Mirah sepeninggal Dae Ho berangkat kerja. Ia harus bersiap pergi. Sudah nyaris dua minggu, ia bekerja di sekolah TK milik Kanaya. Rasanya begitu menyenangkan. Entah karena memang pekerjaannya yang tidak terlalu berat atau dirinya yang memang menyukai tempatnya bekerja. Lingkungan kerjanya kini memang dirasakan cukup nyaman bagi Mirah. Selain Kanaya yang sejak awal memang sudah bersikap baik, para pengajar pun tak kalah ramah. Mirah senang bergaul dengan mereka. Orang- orang yang berpendidikan tetapi tidak sombong.

“Pagi, Mbak Mir!”

“Eh Mbak Mirah, selamat pagi.“

Mirah tersenyum dengan sapaan dua pengajar saat ia tiba di sekolah. Kepalanya pun mengangguk sekilas, “Pagi Miss Mina, Miss Lilian.”

Ada enam pengajar yang bekerja di sekolah milik Kanaya. Keenamnya masih terbilang muda. Mirah menebak usia mereka mungkin hanya terpaut beberapa tahun, bisa lebih tua atau lebih muda. Mirah tidak tahu, karena itu bukanlah hal penting. Cukup baginya dia dihargai meski bukan seorang pengajar.

“Mbak Mirah ini rajin banget datang pagi, itu suami nggak masalah Mbak?”

Eh?

Mirah yang hendak meletakkan tas di atas meja menoleh. Statusnya yang sudah menikah memang pernah dikatakan saat seorang pengajar bertanya. Ia tak mungkin berbohong, tetapi mengingat ucapan Nena, Mirah pun berusaha menyembunyikan jati diri Dae Ho yang sebenarnya.

“Kan dia juga kerja,” jawab Mirah lirih.

“Berangkatnya lebih pagi ya, Mbak?”

Mirah mengangguk perlahan. “Iya.” sahutnya pendek.

“Berarti Mbak Mirah bangunnya pagi banget dong ya buat nyiapin keperluan suami,”

Mirah lagi- lagi mengangguk. Ia kini duduk dengan gelisah. Membicarakan tentang suami membuatnya tak nyaman. Sekali berbohong akan ada banyak kebohongan lain yang mengikuti.

“Jangan kaget ya Mbak kalau Lilian ini nanya- nanya suami udah kebelet nikah sih dia,” celetuk Mina, pengajar lain.

“Ya siapa sih nggak mau nikah, Miss. Miss Mina juga kan?” Lilian terkikik geli. “Eh kapan akhir tahun ya?”

Mina tertawa dan mengangguk. “Insyaallah. Rencananya begitu.”

“Ya mudah- mudahan dilancarkan acaranya. Tapi abis itu Miss Mina nggak ngajar lagi dong,”

“Nggak. Calon suami aku maunya setelah nikah aku di rumah aja. Full jadi Ibu rumah tangga,”

“Emang nggak sayang, Miss?”

“Ya sayang sih, tapi sebagai istri kan kita wajib patuh sama suami. Ya udah lagian nggak masalah juga buatku.”

“Laki- laki ya! Macem- macam. Tapi aku mau deh suamiku nanti kayak suami Mbak Mirah. Nggak masalah kalau istrinya kerja. Iya kan Mbak?”

“Eh?” Sejak tadi Mirah diam sembari mempersiapkan lembar absen yang akan digunakan oleh pengajar hari ini. Ia mendengar percakapan antara kedua pengajar, tetapi memilih bungkam karena memang ia enggan terlibat lebih jauh. Cukup tahu saja. Maka ketika Lilian menyebut dirinya, ia agak sedikit bingung.

“Mbak itu loh enak punya suami yang ngerti kalau istrinya mau kerja. Kan ada banyak laki- laki yang mau istrinya dirumah aja. Lah aku tuh senang banget ngajar di sini. Kan sayang kalau nikah disuruh berhenti.” Cerocos Lilian kembali.

Mirah manggut- manggut. Ia mendesah karena topic suami belum juga berganti. “Kan orang beda- beda, Miss. Laki- laki juga pasti ada alasan melarang istrinya kerja. Mungkin supaya lebih fokus dalam mengurus anak- anak.“

“Iya sih,” Lilian mengangguk. “Eh ngomong- ngomong suami Mbak kerja apa?”

“Di—dia…,” Mirah terdiam sesaat untuk berpikir. “Di ka—kantor, Miss.”

“Kantor? Karyawan gitu, Mbak.”

Mirah menelan ludah susah payah. Tak mungkin mengatakan jika Dae Ho memiliki jabatan cukup tinggi di kantornya. Mirah pernah bekerja beberapa tahun di pabrik, jadi sedikit banyak dia tahu kedudukan dae Ho di kantornya cukup penting.

“Cu—ma pega—pegawai biasa, Mbak.”

“Oh,”Lilian manggut- manggut. Berbeda dengan Mirah yang harus mengatur detak jantungnya yang berpacu demikian cepat. Berbohong jelas bukan keahliannya.

“Pagi semua!” sebuah suara muncul dari balik pintu diikuti beberapa wajah yang cukup dikenal Mirah. Para pengajar lain sudah tiba. Diliriknya Lilian yang kini mengalihkan pandangan ke rekan- rekan kerjanya. Mirah menghembuskan nafas lega.

Sungguh, ia harus berhati- hati.

***

“Jadi gimana, Mir? Sudah bisa adaptasi kan tanpa Rani?”

Mirah mengangguk menjawab pertanyaan Kanaya. Rani itu pegawai yang mengurusi administrasi sebelum dirinya. Beberapa hari lalu, wanita itu memang masih bekerja dan membantunya memberitahu apa saja yang menjadi pekerjaannya namun mulai hari ini Rani tak lagi ada di sekolah.

“Well, kalau gitu bisa aku tinggal juga ya. Beberapa minggu ke depan, aku sibuk ngurusin buat pagelaran fashion week. Nggak masalah kan kamu ngelakuinnya sendiri?”

“Nggak masalah, Mbak.” senyum Mirah. “Mbak Kanaya bisa percaya sama aku,”

“Good!” Kanaya tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya. “Aku suka yang seperti ini. Percaya diri dan nggak ragu. Thanks ya.”

Mirah merasa kebanggaan luar biasa menyelimuti dirinya. Dipuji itu menyenangkan. Apalagi jika pujian itu tulus. Mirah merasa dihargai sekaligus dianggap keberadaannya. Terkadang orang- orang yang dengan kedudukan tinggi merasa angkuh dan sombong pada orang- orang yang berada di bawahnya. Jangankan memuji dengan tulus, berucap terima kasih saja sulit. Ah, bahkan tak jarang orang- orang yang mengatakan bermartabat tinggi berlaku kasar bawahannya. Merasa memiliki segalanya, huh? Padahal siapa manusia dibanding dengan kekuasaan Tuhan tanpa batas.

“Eh Mir, kok ngelamun? Mau pulang nggak? Atau mau minep di sini?”

Mirah nyengir. Bergegas diraihnya tas lalu mengikuti langkah Kanaya keluar ruangan. Sekolah memang sudah sepi. Hanya menyisakan dirinya, Kanaya juga Pak Amir penjaga sekaligus yang bertugas membersihkan sekolah.

“Eh Mir, rumahmu di daerah Pondok Hijau kan? Bareng aku aja. Aku sekalian mau ke rumah tante. Kebetulan searah kok,”

Hah!

Mirah menegang seketika. Diantar Kanaya pulang!

Ah, jangan. Jangan sampai Kanaya tahu kalau ia tinggal di apartemen elit bukan rumah kontrakan seperti yang dikatakannya. Kanaya jelas akan curiga.

“Eh, eng—nggak usah, Mbak. Nanti ngerepotin,” tolak Mirah hati- hati.

Kanaya mendesis, “Ih, apaan sih! Nyantai aja sekalian ini.”

“Nggak usah, Mbak. Beneran. A—aku mau ke…,”otak Mirah berusaha mencari- cari alasan yang tepat agar Kanaya tak curiga, “Ke pasar, Mbak. Iya. Aku mau ke pasar dulu. “

Mirah mendapati kening Kanaya mengernyit sejenak sebelum akhirnya wanita itu mengangguk dan tersenyum. “Oh gitu. Ya udah kalau gitu aku duluan, Mir.”

“Eh, iya, Mbak.” Kanaya pun berlalu meninggalkan Mirah yang nelangsa karena hari ini dia sudah terlalu banyak berbohong.

Besok bohong apalagi, Mir? 

 ***

“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Dae Ho saat keduanya sedang makan malam. “Menyenangkan?”

Mirah mengangguk antusias. “Iya, Oppa. Guru- gurunya baik dan menyenangkan. Anak- anak juga lucu. Tingkah mereka kadang- kadang bikin gemas. Suka bikin ribut tapi cengeng. Nggak mau kalah, berantem, ngambek- ngambek tapi kalau sudah waktunya snack time akur deh! Ah, anak- anak…,”

Mirah tanpa sadar berkata panjang lebar. Wajahnya pun terlihat berbinar dan bersemangat. Semua tak lepas dari pandangan Dae Ho. Lelaki asing itu mengulum senyum.

“Kamu tahu, Mira…,” Mira mendongak menunggu Dae Ho menyelesaikan kalimatnya. “Kamu terlihat lebih bersinar,”

Bersinar?

Mirah melongo. Bersinar? Apa dia disamakan dengan bintang?

“Maksud, Oppa?”

“Senyum,”ucap Dae Ho. “Kamu banyak tersenyum dan bersemangat.”

Mirah manggut- manggut. Ia paham maksud ucapan Dae Ho. Dirinya kini terlihat berbeda. Terlihat begitu bersemangat. Sejujurnya Mirah pun sudah menyadarinya. Dengan bekerja dirinya bisa mengalihkan perhatian dari dilemma hati dan perasaan yang sedang dia alami. Tak ada waktu berlama- lama memikirkan perasaannya pada Dae Ho. Pagi setelah memastikan Dae Ho pergi, Mirah pun berangkat kerja. Pun di sekolah pekerjaannya cukup padat. Bila senggang pun dimanfaatkan untuk bercengkerama dengan pengajar atau anak- anak. sepulangnya ia ke rumah, Mirah memilih tidur siang sebentar kemudian baru memasak untuk makan malam. Jika waktu luang, Mirah memilih melanjutkan pekerjaan sekolah yang belum terselesaikan.

Benar- benar tak ada waktu untuk memikirkan Dae Ho kan?

Meski tak dipungkiri sesekali Mirah berpikir hal itu, namun dengan cepat ditepisnya. Mirah membulatkan tekad, segera dan secepatnya perasaan itu harus dibunuhnya, karena selamanya ia bukan siapa- siapa bagi seorang Dae Ho.

“Minggu kamu libur kan?”

“Hah?”

“Kita jalan- jalan.” Dae Ho tersenyum.

Mirah terbelalak. “Ja—lan jalan?”

“Iya. Kita jalan- jalan berdua. Liburan. Menyenangkan. Seperti di Bali.”

Detik selanjutnya Mirah hanya dapat merutuk dalam hati. Baru saja dia berkeyakinan dapat menghapus Dae Ho dari hatinya, tetapi yang ada sekarang dia sangsi.

Bagaimana bisa lupa, kalau perhatian Dae Ho selalu teramat manis padanya?

Argh…


=tbc=

Lampung, Mei 2016

2 komentar: