Selasa, 22 Maret 2016

[Cerpen] Putus?



“Kita putus.”

Aku ternganga. Mataku melebar tak percaya, “Apa? Pu—tus?”

Bimo mengangguk. “Iya. Kita nggak cocok, Ras. Jadi untuk apa hubungan ini diteruskan.”
Argh, aku mengerang frustasi. Kejadian seminggu lalu masih kuingat jelas.

Bimo sialan!
Seenaknya dia memutuskan hubungan kami. Padahal aku sudah memimpikan menjadi pengantinnya. Alih- alih dilamar, yang ada hubungan kami berakhir.

“Ya udah sih, Ras. Nggak usah lo pikirin tuh cecunguk satu.” Aku menoleh. Nada tersenyum menatapku.

“Iya, Ras. Seharusnya lo bersyukur, berarti Tuhan sudah mempersiapkan jodoh yang lebih baik dari Bimo.” timpal Yohana yang duduk di sebelahnya.

“Lagian cowok playboy macam dia apa yang lo harapin sih, Ras.” Kini giliran Nancy yang berkomentar. “Untung belum married. Gimana kalau udah? Makan hati hidup lo.”

Aku terdiam berpikir. Ketiga sahabatku benar, mengapa aku masih sibuk memikirkan Bimo. Dengan beralasan terlalu banyak perbedaan diantara kami, dia memutuskanku. Padahal kenyataannya tiga hari lalu aku menemukannya berjalan dengan gadis lain.

Ck, playboy tengik!
“C’mon Ras. Lupakan bajingan itu!” Nada menarikku mengikutinya. “Kita kesini mau shopping. Senang- senang,”

“Sekalian tebar pesona. Tuh banyak cowok cakep berkeliaran.” Aku tergelak dengan seloroh Nancy.

“Tenang saja dear. Rugi banyak dia ninggalin lo. Tunjukin kalau dunia lo baik- baik saja tanpanya.”

Kuanggukkan kepala mengiyakan kata- kata Yohana. Yaps! Bimo yang bodoh! Dia akan rugi karena meninggalkanku.

Lihat saja nanti!
***

“Ras,”

Aku mendongak. Nada tersenyum. Seorang lelaki yang sudah amat kukenal ada di sebelahnya. “Hai, Ras!” sapanya.

“Hai, Lang.” Aku mencium pipi kanan dan kiri Nada terlebih dahulu baru menyalami Gilang, kekasih Nada.

“Udah lama?” tanya Nada saat menarik kursi di seberangku. “Sorry ya. Tadi Gilang telepon ada di Kuningan, jadi gue jemput dia dulu.”

Kugelengkan kepala sesaat, “Nggak sih. Gue baru nyampe. Lo darimana, Lang emangnya?”

“Ketemu klien. Gue tadi bareng teman. Eh dia balik dulu, gue ditinggal.” Jelas Gilang, “Eh udah pesen makan?”

Aku mengangguk. “Gue sih udah. Kalian pesan aja dulu.”

Gilang mengangguk kemudian ia memanggil pelayan. Sebenarnya siang ini Nada mengajakku makan siang bersama. Diantara ketiga sahabatku, memang Nada bisa dibilang paling dekat denganku. Kantor kami yang dekat memungkinkan kami untuk makan siang bersama sesering mungkin. Biasanya berdua, tapi kali ini ada Gilang. Aku tak pernah masalah, karena memang Gilang juga sudah sangat akrab denganku.

“Woy, Lang!” Aku yang tengah bercakap- cakap dengan Nada mendongak. Mataku melebar saat mendapati sosok yang tengah menyapa Gilang. Meski puluhan belasan tahun berlalu, aku masih mengenali sosoknya. Sosok yang dulu pernah mengisi hatiku.

“Oh ni kenalin Nada, cewek gue dan Raras, sahabat…,”

“Raras!” serunya saat pandangannya teralih padaku.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk pelan. “Da--mar!”

***

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali melangkah untuk memasuki café yang tegak menjulang di depanku. Kepalaku menoleh ke kanan dan kiri sebelum akhirnya mataku menemukan sosok yang tengah melambaikan tangannya.

“Sorry, Bim. Macet.”

Bimo mengangguk dan tersenyum. “It’s Ok, Ras. Kamu di sini aja gue udah cukup senang. Eh kamu mau pesan apa?”

Aku tersenyum samar. Bertemu kembali dengan Bimo setelah lima bulan kami putus jelas bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi setelah aku mengetahui alasan ia memutuskanku. Ck, cewek lain, huh!

“Thanks, Bim. Gue udah makan tadi. By the way kenapa lo pengen ketemu gue?” tanyaku tanpa basa- basi.

Bimo manggut- manggut. “A- aku mau minta maaf, Ras sama kamu.”

Keningku mengerut, “Maaf?”

Bimo mengangguk. “Aku sadar ninggalin kamu nggak bikin aku bahagia, Ras. Aku tersiksa, Ras. Ternyata cuma kamu yang bisa sepenuhnya ngerti aku.”

“Aku sayang sama kamu, Ras. Aku cinta. Aku pengen kita balik kayak dulu lagi,” sambung Bimo sembari memegang tanganku dan hendak menciumnya

Aku menepisnya dengan cepat. “Bukan muhrim.” delikku gusar.

Bimo ternganga. Aku bergerak cepat mengambil selembar undangan yang telah kusiapkan dalam tas lalu menyodorkannya ke hadapan Bimo.

“Gue datang karena gue mau ngasih ini. Lo datang syukur, nggak datang ya nggak ada pengaruh juga.”

Dapat kulihat keterkejutan di wajah Bimo. Ia makin terbelalak saat membuka undangan tersebut.

“Ras, i—ini…,” katanya seraya menunjuk nama yang tertera di undangan. Raras dan Damar.

“Yaps. Itu nama gue sama nama calon suami gue.” Aku tersenyum penuh kemenangan. “Dan dia lelaki paling gentle yang gue kenal.”

“Well,” aku beranjak dari kursi, “Lo mutusin gue karena cewek lain kan? C’mon Bim! Jangan kira gue nggak tahu.”

“Nggak ada lagi Raras dan Bimo. Yang ada Raras dan Damar.” lanjutku kemudian berbalik dan meninggalkan Bimo. Aku tersenyum puas. Akhirnya bisa membalas dendam pada playboy tengik itu. Sebenarnya aku tidak berniat melakukan hal ini, tetapi telepon Bimo yang tiba- tiba membuatku sedikit terkejut. Dan tepat sesuai dugaan teman- temannku kalau kemungkinan besar Bimo hendak mengajakku merajut hubungan kembali.

Ck, dasar playboy!

***

Lampung, Maret 2016

5 komentar:

  1. Telak buat si playboy! Horeee gueh sukaaaaa, gueh sukaaaaaa :D

    Good job Mbak! Eaaaaaaaa..

    BalasHapus
  2. Telak buat si playboy! Horeee gueh sukaaaaa, gueh sukaaaaaa :D

    Good job Mbak! Eaaaaaaaa..

    BalasHapus
  3. Ha ha ha playboy patah hati.Makanya Bimo, hati2 jaga hati perempuanmu:-)

    BalasHapus
  4. Ha ha ha playboy patah hati.Makanya Bimo, hati2 jaga hati perempuanmu:-)

    BalasHapus