Sabtu, 27 Agustus 2016

Sayembara Askar (1)




1.    Perintah

Tantra ternganga. Matanya membulat tak percaya. Bahkan untuk beberapa saat mulutnya pun terbuka. Namun menyadari jika perilakunya sangat memalukan, apalagi di hadapan komisaris utama, Tantra pun cepat-cepat kembali memasang wajah normal. Meskipun tak dipungkiri, benaknya masih tak bisa habis pikir dengan apa yang baru diperintahkan oleh Bram Adinata, sang komisaris utama.
“Kamu paham, Tantra?”
“Pa—paham, Pak!” Tantra sedikit tergagap.
Bram manggut-manggut. “Bagus! Urus semuanya dengan cepat dan pastikan kamu mendapatkan yang terbaik.”
“I—iya, Pak!” jawab Tantra pelan. Sungguh, otaknya masih butuh mencerna apa yang diperintahkan Bram beberapa menit lalu.

Kamis, 18 Agustus 2016

[Cerpen] Dirga


gambar diambil dari capslocknet.com
Dirga!

Black coffee. Kopi hitam tanpa gula. Entah mengapa aku ingin menyesapnya lagi dan lagi. Rasa pahit yang mengaliri tenggorokan memberikan efek yang kubutuhkan saat ini. Menenangkan. Aku pernah mendengar kandungan caffein pada kopi akan membalikkan semua kerja adenosin, senyawa yang membuat orang cepat tertidur. Bukan saja tubuh tidak lagi mengantuk, tetapi muncul perasaan segar, sedikit gembira, mata terbuka lebar, jantung berdetak lebih kencang, tekanan darah naik, otot-otot berkontraksi dan hati akan melepas gula ke aliran darah yang akan membentuk energi ekstra.

Minggu, 07 Agustus 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (34)


Tiga Puluh Empat

sebelumnya di sini

Mirah memijit kepalanya yang terasa pusing. Berbicara dengan Malik ternyata menguras energi serta emosi. Apalagi kemudian laki-laki itu menyatakan rasa cintanya.


Ah, apalagi ini…


Terang ia terkejut. Tak pernah diduga jika kemudian Malik menyimpan perasaan padanya. Meski sayang, jauh di lubuk hati Mirah meragukan hal itu. Mengingat keadaannya saat ini tengah mengandung. Malik yang ia kenal mempunyai kepribadian yang baik dan perhatian. Bisa sajakan ia mengatakan demikian karena tak ingin Mirah menolak lamarannya lagi. Ya, Malik mungkin berpikir dia harus segera menikahi dirinya karena status anak dalam kandungannya saat ini.


Lagipula tak adil rasanya bagi Malik jika menikahi dengannya. Ia bukanlah wanita yang baik dan pantas untuk lelaki baik hati itu.


“Maa—af, Bang.” Ujar Mirah lirih. “Maafin Mirah.”


“Mir, Abang benar-benar mencintaimu…,”


Mirah menggeleng perlahan. Dihelanya napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak. Jika saja dulu Malik muncul sebelum pernikahan kontrak, mungkin ia bisa mempertimbangkan lamaran ini tapi…


“Tapi Mirah nggak cinta Abang,”


“Mir…,”


“Maafin Mirah, Bang. Mirah nggak bisa terima lamaran ini. Abang lebih berhak dapat wanita yang lebih baik,”


Malik mendengus kecewa. “Tapi bagi Abang kamu yang pantas untuk jadi istri Abang,”


Bibir Mirah tertarik ke samping. Ia mencoba mengulas senyum meskipun terpaksa. “Maaf. Maafin Mirah, Bang. “


“Benar-benar tak ada kesempatankah?”


Mirah memilih membisu. Ia menelan ludah pahit. Sejujurnya ia percaya jika menikah dengan Malik, laki-laki itu akan menjadi suami yang terbaik. Dan Mirah menyakini tak butuh lama baginya untuk menumbuhkan rasa cinta pada lelaki itu. Tapi lagi-lagi banyak pertimbangan yang berkelebat di benak Mirah. Kesalahan ini biarkan ia yang menanggungnya. Entah apa kata keluarga Malik jika mengetahui dirinya hamil tetapi bukan anak Malik. Mirah pun memikirkan sikap yang mungkin akan diterima anaknya nanti.


Jadi sebelum hal itu terjadi lebih baik dihindari.


“Maaf, Bang!” geleng Mirah. “Mirah rasanya semuanya cukup jelas. Jadi Mirah permisi ya, Bang.” Ucapnya sembari bangkit dari kursi.


“Sekali lagi maafin Mirah, Bang.”


Mirah melengang pergi. Dibiarkannya Malik yang tertunduk. Gurat kecewa dan sedih terlihat jelas, tapi Mirah mengabaikan hal itu. Mungkin rasanya menyakitkan, tapi setidaknya lebih baik begini.


Mirah tak ingin orang lain menerima imbas kesalahannya.


***


“PULANG?”


Mata Nena terbeliak ketika Mirah mengatakan ingin pulang ke rumahnya. “Serius kamu, Mir?” tanya Nena lagi.


Mirah mengangguk. “Aku harus kasih tahu keluarga, Teh terutama Emak.”


Nena diam sesat. Dipandangi Mirah lekat-lekat. Mencari gurauan atau vcandaan pada wajah wanita itu. Tapi nihil. Mirah terlihat sangat serius.


“Kamu teh yakin bilang ke Emak kamu?”


Mirah membuang napas pendek. “Mau gimana lagi, Teh. Cepat atau lambat pasti ketahuan juga kan. Daripada dari orang lain mending dari aku, anaknya.


“Ini bukan karena Malik juga sudah tahu kan?”


Kepala Mirah menggeleng. “Bang Malik nggak akan ngasih tahu, Teh. Dia nggak suka ikut campur urusan orang.”


“Terus kenapa tiba-tiba kamu berpikir harus kasih tahu Emak?”


“Aku frustasi, Teh. Hidup nggak tenang.”


Nena kembali diam. Ia memang melihat kondisi Mirah yang semakin terpuruk. Didepannya bisa saja Mirah terlihat baik-baik, tapi Nena sering menemukan wanita itu termenung dengan raut wajah yang begitu tertekan.


“Jadi kapan kamu pulang?”


“Besok.”


“Baiklah,” Nena manggut-manggut. “Kalau gitu ayo kita siap-siap!”


Kening Mirah mengerut sejenak. “Kita?”


Nena tersenyum dan mengangguk. “Nggak mungkin dong aku biarin ibu hamil jalan sendiri.”


***


Mirah mengernyit saat menemukan sebuah mobil terparkir di halaman rumahnya sesaat setelah ia tiba di depan rumah.


“Ada tamu ya, Mir?”


Mirah menoleh lalu mengedikkan bahu. “Kayaknya sih, Teh.”


“Siapa ya?”


“Nggak tahu,” Geleng Mirah.


“Malik mungkin nggak? Ya siapa kali ditolak kamu datang ke emak kamu,” tebak Nena dengan senyum terkulum.


“Nggak mungkin. Bang Malik nggak akan maksa, Teh.” Jawab Mirah. “Mungkin teman Kumala,”


“Ya udah yu…,”


“AYUUUUK!” Mirah belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika terdengar teriakan dari dalam rumah lalu memunculkan sosok adik bungsunya. “Mak, Ayuk pulang Mak!”


Mirah nyengir. Kumala masih saja bersikap kekanakan. Tak lama Kumala sudah memeluknya. “Kok nggak bilang-bilang sih, Yuk kalau mau pulang?” protesnya kemudian.


“Kejutan.”


“Aneh-aneh aja si Ayuk.” Cibir Kumala yang membuat Mirah terkekeh. Namun sedetik kemudian Mirah merasa Kumala menatapnya lekat-lekat. Sebelum kemudian membuang muka. Sekilas Mirah menemukan mata adiknya berkaca-kaca.


Kenapa?


Belum sempat Mirah menyuarakan isi hatinya, matanya menangkap sosok lain yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Seketika matanya terbelalak.


“Ba—bang Faisal,” ujarnya terbata.


Ngapain dia di sini?


Bergegas Mirah pun melangkah menuju rumah. Dibiarkannya Nena, karena Kumala pasti tahu apa yang harus dilakukan. Mirah harus menuntaskan rasa penasaran dengan apa yang dilakukan Faisal di rumahnya. Seingatnya Faisal tak mengatakan akan mengunjungi Rania minggu ini.


“Mir…,”


“Bang Faisal ngapain di sini?” potong Mirah. Ia tak suka basa-basi. Entah kenapa ia sedikit tersinggung karena Faisal tak memberitahu kedatangannya. Setidaknya Mirah harus menjaga perasaan Ibunya yang masih sangat membenci Faisal.


“Ehm, aku…,”


“Masuk Mirah!”


Mendengar suara Ibunya kontan Mirah melongokkan kepala. Di dalam, di ruang tamu Ibunya tampak duduk di sofa dengan wajah memerah menahan amarah. Ya Tuhan, jangan bilang Emak baru saja mendamprat Bang Faisal, pikirnya.


Sontak Mirah pun segera masuk, ia mengambil tempat di samping Ibunya. “Ma—mak, maaf Mirah juga nggak tahu kalau Bang Faisal mau ke…,”


“Kamu hamil?”


Mirah melotot mendengar pertanyaan Darmini. Seketika tangannya terangkat untuk menutuk mulutnya. Ba—bagaimana Emak bisa tahu?


“Jawab, Mir! Bener kamu hamil?”


Nafas Mirah tercekat seketika. Bibirnya terasa kelu. Ia memang berniat mengatakan kebenaran, tapi nanti. Ketika waktu pas. Bukan seperti sekarang, bahkan ia saja baru sampai di rumah.


“MIRAH! JAWAB EMAK SEKARANG!”


Emak marah, bisik Mirah. Rasa takut seketika menghantui dirinya. Sejak kecil ia tak menyukai jika Darmini marah. Kemarahan Darmini selalu jadi momok bagi anak-anaknya.


“MIRAH!”


Darmini sudah tak sabar dan Mirah hanya bisa menelan ludah lalu mengangguk perlahan. Matanya mulai terasa lembab.


“SIAPA? SIAPA AYAHNYA HAH?” Bentak Darmini. “KAMU NIKAH NGGAK BILANG-BILANG EMAK? KAMU ANGGAP APA EMAK, MIR?”


“E—emak… a—aku…,” Mirah kesulitan berkata-kata.


“JAWAB MIRAH! SIAPA AYAHNYA?”


“Di—dia…,” Mata Mirah terpejam untuk beberapa saat. Ia menarik napas panjang untuk meredakan ketegangan yang tengah dialaminya. Setidaknya ia harus bersikap tenang. Tiba-tiba Mirah teringat dengan keberadaa Faisal yang masih berdiri di depan pintu.


Ck, laki-laki ini…


“Maaf, Bang! Bisa tinggalkan kami.” Mirah bukan tidak memiliki santun, tapi semua yang akan diceritakan pada Emak jelas urusan pribadinya.


“Justru aku kesini untuk menanyakan kejelasannya, Mir.”


Mirah mengernyit. “Maksud Abang?”


“Faisal yang kasih tahu soal kehamilan kamu.”


Sontak Mirah terbelalak. Mulutnya terbuka untuk beberapa saat sebelum kemudian ia berdecak gusar. “Darimana Abang tahu?” katanya dengan tangan terkepal menahan amarah.


“Guru-guru. Aku cari kamu ke sekolah. Mereka bilang kamu resign karena hamil. Aku coba hubungi kamu, ke kost kamu tapi nihil.” Jelas Faisal kemudian.


Mata Mirah terpejam. Guru-guru? Ck, Kanaya…


Tak lama ia menarik napas. Sudah terlanjur diketahui, jadi untuk apa disembunyikan lagi.


“Apapun yang terjadi denganku, abang nggak perlu tahu.” Ujar Mirah sinis. “Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa kan? Jadi silahkan Abang pergi.”


“Mir, maaf a—aku…,”


“Dan tolong ingat satu hal! Jangan pernah mencampuri urusanku. Kita hanya berhubungan soal Rania.”


***


“Kenapa kamu melakukannya, Mir? Kenapa?”


Sepeninggal Faisal, Mirah pun akhirnya menceritakan semuanya pada Darmini. Ia tahu Ibunya akan kecewa, tapi memang ia sudah bertekad. Jadi apapun yang akan dikatakan Ibunya, Mirah sudah siap menerima.


“Emak kecewa, Mir.”


Nafas Mirah tercekat. Matanya basah tetapi cepat-cepat disekanya. Ia tahu kesalahannya sangat besar. “Maaf, Mir.”


“Masih banyak, Mir pekerjaan halal lainnya tapi kenapa kamu harus jadi istri kontrak sih?”


Tak ada pilihan, Mak.


Alih-alih mengatakan isi hatinya, Mirah memilih bungkam dan menunduk. Toh percuma, salah ya salah. Itulah Emak. Memaksa wanita itu memahami tindakannya juga sia-sia. Darmini itu keras.


“Terus sekarang kamu mau gimana? Mau tinggal di sini? Kamu pulang karena itu kan?” tanya Darmini beruntun.


“Nggak, Mak! Nggak!” Jawab Mirah cepat. ia memang tak berniat untuk tinggal kembali di kampung. Mirah sadar diri. Hidup di kampung sama saja membuka aibnya. Jalan terbaik adalah memilih pergi.


“Mirah ke sini cuma mau kasih tahu semua ke Emak. Cepat atau lambat Emak juga pasti tahu dan Mirah pikir baiknya Mirah kasih tahu sendiri.”


“Tapi sayang keduluan sama mantan suami kamu,”


Mirah meringis. Ia mana tahu jika kemudian Faisal mengatakan pada Darmini lebih dulu.


“Mirah akan segera kembali ke Jakarta, Mak.”


Sesaat senyap.


“Memangnya kamu masih kerja?”


“Nggak, Mak.” Geleng Mirah. “Tapi Mirah mau bikin usaha.”

Saran Nena tempo hari memang dipikirkan matang-matang oleh Mirah. Bermodal uang yang diberi Dae Ho, ia memang berniat membuka tempat makan. Nena yang menyarankan, karena mengetahui masakan Mirah selalu enak dan lezat. Nena juga yang akan membantu. Wanita itu pun berencana meninggalkan profesi sebagai istri kontrak karena selamanya ia tak bisa menggantungkan diri pada pekerjaan itu.


“Ya sudah kalau kamu sudah memikirkan semuanya.”


Emak pasti sangat kecewa, bisik Mirah sedih. Tapi harus bagaimana lagi? Setidaknya ia sudah berkata jujur. Kelak waktu yang akan melunakkan hati Darmini. Mirah yakin Ibunya butuh waktu untuk memahami semuanya.


“Maaf—maafin Mirah, Mak.”




==end==


Lampung, Agustus 2016


Sabtu, 06 Agustus 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (33)


Tiga puluh tiga

sebelumnya di sini

Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pada akhirnya akan tercium juga. Pun soal kehamilan Mirah. Ia yakin cepat atau lambat semua orang akan mengetahuinya. Dan Mirah yakin berita ini jelas akan mencoreng nama baik keluarganya. Untuk itu ia mulai memikirkan hal-hal yang harus segera dilakukan untuk menutupi kehamilannya.

“Kamu yakin mau resign?”

Mirah mengangguk mantap. “Iya, Mbak.” jawabnya. “Mohon maaf sebelumnya.”

Kanaya menggeleng. “Buat apa minta maaf,” tukasnya pelan. Sejurus kemudian ia menghela napas panjang. “Pasti gara-gara kejadian kemarin ya suami kamu nggak ngizinin kerja lagi?”

Senin, 01 Agustus 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (32)


Tiga Puluh Dua


sebelumnya di sini

“Kamu teh yakin pulang hari ini?” tanya Nena was-was.

Mirah mengangguk. “Iya, Teh. Lagian aku nggak papa,”


“Beneran?”

Mirah terkekeh. “Astaga , Teh. Aku kan cuma hamil bukan didiagnosa penyakit serius gitu,”

“Iya. Tapi kan kondisi kamu nggak fit, Mir. Kan kasihan kamu, kasihan janin.”

“Makasih ya, Teh.” Senyum Mirah. “Makasih karena Teteh selalu baik sama aku. Teteh…,”

“Ish, ngomong apa sih?” potong Nena. “Sesama manusia itu harus saling menolong. Lagian kamu the udah Teteh anggap adik sendiri.”