Senin, 27 Juni 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (21)



sebelumnya di sini


Demi Rania…
Mirah menggeleng perlahan. Ia baru saja hendak membuka mulut ketika Faisal kembali bersuara.

“Aku tidak memaksa kamu harus jawab sekarang, Mir. Pikirkan saja dulu!”

Mirah mendengus. Berpikir untuk kembali rujuk?

Mustahil.

Minggu, 26 Juni 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (20)


Sebelumnya di sini

“Hanya sekali saja, Mir! Lusa aku harus kembali.”

“Ta—pi…,”

“Ayolah, Mir! Izin aku! Aku benar-benar sudah berjanji pada Rania.”

Mirah mendesah panjang sambil menggigit bibir bawahnya ragu. Permintaan Faisal tak mungkin ditolaknya. Rania berhak pergi dengan ayahnya. Apalagi semalam Rania antusias bercerita tentang senangnya ia bertemu dengan ayahnya.

Jadi mengapa rasanya berat mengizinkan Rania pergi?

Emak.

Mirah menghela napas dalam-dalam. Ia sebenarnya enggan membuat sang ibu kembali meradang. Tapi harus bagaimana lagi, ia pun tak tega melarang Faisal menemui Rania.

“Kita janjian di luar aja, Bang.” Ujarnya lirih.

“Boleh.” Sahut Faisal. “Di karang bisa?”

Kening Mirah mengerut. “Apa nggak kejauhan, Bang?”

“Aku yang akan menjemput kalian, Mir. Tapi karena aku telah berjanji membawa Rania jalan-jalan ke mall jadi mau tak mau aku harus membawanya ke karang.”

Mirah tersenyum kecut. Di tempatnya memang tak ada mall. Mall terbanyak hanya ada di Bandar Lampung yang merupakan ibukota provinsi. Tetapi masyarakat lebih suka menyebut kota Bandar Lampung sebagai Tanjung Karang, nama di masa lalu.

“Ya sudah kalau begitu.”

Tiba-tiba senyap.

Mirah baru saja hendak berbicara untuk memutus sambungan, ketika suara Faisal terdengar.

“Emak benar-benar membenciku ya, Mir?”

Mirah tertegun sesaat. “Maafkan aku ya, Mir. Aku tel…,”

“Sudah, Bang!” potong Mirah cepat. “Tak usah dipikirkan! Ini urusanku. Yang penting Rania tak kehilangan ayahnya lagi.” Lanjutnya lagi dengan nada menyindir.

“Iya aku paham.”

Tak lama setelah berbasa-basi menentukan waktu, sambungan pun terputus. Mirah pun membuang napas jengah. Semoga keputusannya tak salah.

“Ibu, abis teleponan sama siapa?”

Rania masuk ke dalam kamar. Gadis itu mulai membaik. Luka lecet dan goresan mulai mengering. Mirah pun tersenyum lalu menepuk-nepuk sisi kosong di atas kasur,

“Sini! Ibu mau ngomong,”

“Ngomong apa?” tanya Rania sambil melompat ke atas tempat tidur.

“Rania senang nggak kalau ketemu Ayah lagi?”

“Senang, Bu. Kapan?” Mata Rania berbinar seketika. Kebahagiaannya jelas kentara. “Ayah janji mau ajak Rania jalan-jalan ke mall buat beli baju baru.” Sambungnya antusias.

Mirah kembali tersenyum. Setidaknya keputusannya membuat Rania gembira. “Kalau besok gimana?”

“SERIUS?”

Mirah mengangguk dan detik selanjutnya Rania memeluknya. “Yes! Rania mau jalan-jalan. Rania mau beli baju baru. Yeyeye!”

“Rania senang, Nak?”

Rania mengangguk cepat. “Senang lah. Senang banget.”

Mirah tersenyum tipis. Arti kata senang yang sederhana buat seorang Rania. Ah, terbersit iri di hati Mirah. Ingin rasanya kembali menjadi anak-anak. Bebas, tanpa beban. Tapi hidup kan proses. Tak mungkin selamanya menjadi anak-anak.

Sudahlah, Mir! Nikmati saja hidup, bisiknya dalam hati. Tak perlu berpikir macam-macam, karena semua orang sudah punya suratan takdirnya masing-masing.

***

“Kalian jadi pergi?”

Mirah mendongak. “Emak ngelarang?”

Darmini mencibir. “Emak larang juga kau akan pergi kan?”

Bahu Mirah mengedik. “Tergantung alasannya logis nggak.”

“Ah sudahlah! Pergi sana! Yang penting kamu sudah janji nggak akan rujuk,”

Mirah menggeleng sejenak kemudian berdecak. “Ck, pikiran darimana itu, Mak. Kami sudah berpisah beberapa tahun lalu. Jadi buat apa kembali bersama.”

“Cinta tak pernah dapat ditebak datangnya,” sahut Darmini sambil ngeloyor pergi ke arah dapur.

Lagi-lagi Mirah menggeleng melihat sikap Ibunya. Terkadang memang sulit memahami wanita yang telah melahirkannya tersebut. Apalagi kini, semakin bertambah usia semakin tak terduga. Kumala bahkan tak jarang beradu mulut karena tingkah Ibu yang dirasanya kekanakan. Mirah pernah mendengar jika seseorang semakin tua maka sikapnya bisa kembali menjadi anak-anak. Kalau sudah begitu, satu-satunya yang dibutuhkan adalah kesabaran.

“Ibu!”

Rania muncul dari pintu kamar dengan wajah sumringah. Ia mengenakan dress selutut berwarna merah muda. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai, tetapi terdapat bandana berwarna senada dengan pakaiannya, melingkar di kepala.

Sejenak mata Mirah menyipit. Rania-nya mulai beranjak dewasa. Tak lagi anak-anak seperti dalam ingatannya selama ini. Waktu benar-benar berlalu begitu cepat.

“Kenapa, Yuk? Jelek ya?”

Pertanyaan Kumala membuat Mirah tersadar. Seketika kepalanya menggeleng. “Nggak. Ini udah oke. Makasih ya,” ujarnya pada sang adik. Kumala memang yang bersemangat untuk mendadani Rania.

“Tapi ini beneran nggak masalah, Yuk?”

Mirah tersenyum kecut. Ia tahu maksud pertanyaan adiknya. Kumala jelas khawatir. Faisal menghilang cukup lama dan tiba-tiba kembali. Hal yang sedikit mengejutkan.

Tapi sudahlah, bukankah Mirah sudah membulatkan tekad untuk tak memutus hubungan ayah dan anak.

“Nggak papa, La. udah sana kamu siap-siap sekolah. Telat lagi nanti,”

“Iya, Yuk! Aku siap-siap dulu kalau gitu.” Ucap Kumala dengan membalikkan tubuhnya. Namun disempatkannya melirik Rania. “Jangan lupa oleh-oleh buat bikcik ya,”

Mirah mendengus geli. Dasar Kumala!

***

“Rania senang?”

“Senang banget.”

“Mau ya kapan-kapan main sama Ayah lagi?”

“Iya.”

“Nanti kalau Ayah ke sini lagi, kita main lagi. Oke!”

“Oke.”

“Jangan lupa kalau Ayah telepon harus diangkat.”

Mirah mendengus mendengar percakapan antara Faisal dan Rania. Jelas Rania senang bukan main kalau setiap berjalan-jalan dengan ayahnya, semua permintaan anak tersebut dituruti. Faisal tak hanya membelikan baju baru tetapi juga mainan, sepatu serta tablet yang sudah lama Rania inginkan.

Ah, boros!

“Mirah!”

Mirah terhenyak. “Kamu kenapa?” tanya Faisal lagi.

Kepala Mirah menggeleng. Sekilas ditatapnya Rania yang asyik menikmati es krim cokelat pesanannya. Senyum Mirah terulas sesaat karena melihat mulut anaknya yang sedikit belepotan.

“Pelan-pelan, Ran! Malu ah kalau belepotan,” katanya yang disambut cengiran Rania.

“Abisnya enak, Bu.”

“Enak kan nggak mesti buru-buru. Nih punya Ibu juga masih banyak.”

“Emang boleh kalau untuk Rania?”

Mirah mengangguk dan Rania berbinar senang. “Asikkk…,”

“Makannya pelan-pelan ya!”

Rania mengangguk dan tak lama Mirah menoleh. Faisal ternyata masih menatapnya lekat-lekat. Sejurus kemudian ia membuang napas jengah.

“Rania masih kecil, Bang. Jangan dibiasain nurutin semua maunya,” ujar Mirah pelan. “Hari ini Mirah rasa Abang terlalu berlebihan.”

“Apa salahnya, Mir. Aku ingin Rania senang.”

“Tapi tidak dengan menuruti semua maunya.” Balas Mirah. “Rania bisa manja. Padahal aku sudah mendidiknya untuk jadi anak mandiri. Memahami bahwa orang tuanya bukan orang berpunya.”

Sesaat hening.

“Maaf,” bisik Faisal. “Aku hanya senang,”

Mirah mengangguk. “Lain kali ingat-ingat, Bang kalau mengajak Rania pergi jangan semua diturut. Ajari Rania hidup sederhana.”

“Iya.” Jawab Faisal. Tak lama keningnya mengerut. “Ingatkan aku kalau begitu,”

“Aku kan tidak selamanya bersama Rania, Bang.”

“Maksudmu?”

“Aku tahu setelah ini, setiap Abang kemari pasti akan menemui Rania. Makanya kubilang kalau kalian pergi bersama tanpaku.”

“Memang kamu mau kemana?”

Mirah tertawa pelan. “Aku kan harus kembali bekerja, Bang.”

Lagi-lagi keheningan menyapa keduanya. Mirah mendesah. Sudah terlalu lama ia di kampung, segera dan secepatnya ia harus kembali. Tak enak rasanya pada Kanaya. Apalagi kini Rania juga sudah membaik.

“Kenapa kamu harus kerja, Mir? Rania sekarang menjadi tanggung jawabku.”

Kening Mirah mengerut sebentar sebelum kemudian ia berdecak. “Aku bekerja bukan hanya untuk Rania, Bang tapi juga keluargaku.”

“Tapi itu berarti kamu melepaskan pengawasan terhadap Rania,”

“Lalu aku harus bagaimana? Aku bukan hanya seorang Ibu tapi juga seorang anak dan kakak,” ucap Mirah kemudian.

“Rania selamanya memang menjadi tanggung jawab Abang sebagai Ayahnya, tapi Abang juga punya tanggung jawab terhadap keluarga Abang yang lain kan?” lanjut Mirah mengingatkan. Tak lama setelah perceraian, Mirah mendapat kabar kalau Faisal telah menikah lagi. Sejujurnya sejak kemarin Mirah penasaran tetapi sebisa mungkin ia menahan diri. Toh, mereka tak ada hubungan apapun lagi. Jadi tak perlu lah banyak bertanya, ucap Mirah dalam hati.

Faisal mendesah panjang. “Kami sudah tak bersama.”

“Maksud Abang? Cerai?”

Faisal mengangguk. “Dan aku ingin kita kembali bersama lagi, Mir.” Seketika Mirah terbelalak.

“Demi Rania, Mir.”

***






Minggu, 19 Juni 2016

[Cermin] Merasa Tak Dihargai

gambar diambil dari www.katabangdel.com


“Makan, Pak!”

“Nanti, Bu.”

“Kok nanti?”

“Masih kenyang.”

“Masih kenyang? Bapak makan dimana tadi?”

Perasaanku tiba-tiba menjadi tak enak. Aku baru saja hendak membuka mulut menjawab pertanyaan istriku, ketika suara istriku kembali terdengar.

“Hem, gitu ya Bapak udah nggak mau makan masakan ibu. Masakan ibu udah nggak enak ya, Pak. Ck, gimana mau enak kalau bapak ngasih uang belanja sedikit. Apa-apa sekarang mahal, Pak. Ibu itu harus pintar-pintar ngatur biar kita bisa makan.”

“Bapak juga sih kebanyakan nganggur di rumah. Kerja toh, Pak. Cari duit yang banyak!”

Deg.

Hatiku terasa sakit mendengar kata-kata yang diucapkan istriku. Jelas apa yang dia katakannya sangat menyakitkan. Aku bukan lelaki pengangguran seperti yang dituduhkan. Aku masih bertanggungjawab penuh dalam menafkahi keluarga. Memang penghasilanku saat ini tak seperti dulu, tapi toh sebenarnya masih mencukupi kebutuhan kami sekeluarga.

Perkenalkan namaku Rasyid. Aku merupakan seorang suami dan ayah dua orang anak yang sudah beranjak dewasa. Enam bulan lalu, aku mengalami PHK. Usia serta ijazah yang hanya lulus SMA tak bisa membuatku diterima bekerja di perusahaan lain. Aku kalah saing dengan para pemuda yang usianya jauh lebih muda dan pendidikan lebih tinggi. Sejujurnya di awal uang pesangon dari perusahaan kubuat untuk modal usaha membuka warung kelontong di depan rumah. Sayangnya untung yang dihasilkan tak seberapa. Kebutuhan hidup yang semakin membesar, membuat modal ikut terpakai sehingga aku harus tetap mencari pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

“Eh kok malah bapak bengong! Kerja, Pak kerja! Bukan malah bengong!”

Aku tersentak. Aku mendongak dan mendapati istriku yang berdiri tegak dengan berkacak pinggang di hadapanku. Aku menelan ludah susah payah. Inikah wanita yang kunikahi tujuh belas tahun silam? Wanita pemilik senyuman malu-malu saat pertama kali aku mengajaknya berkenalan.

Ya Tuhan, waktu benar-benar berlalu cepat.

Wanita manis itu kini menjelma sebagai wanita menyebalkan sekaligus menakutkan dalam kehidupanku saat ini. Tidak, aku sebenarnya tidak ingin berkata demikian tentang istriku. Biar bagaimanapun kami telah hidup bersama selama tujuh belas tahun. Dia sudah memberiku dua anak yang manis dan telah mengurus serta merawat keduanya hingga saat ini. sungguh, aku berterima kasih untuk itu.

“Bapak tahu nggak sih kemarin Santi kemari. Ck, adikmu itu kesini cuma pamer punya cincin baru. Huh! Dikira ibu nggak bisa beli apa.”

Ini! Inilah penyakit hati yang mendera istriku sejak dulu. Dulu mungkin aku bisa memenuhi semua keinginannya. Atas nama cinta kuberikan apapun yang menjadi kemauannya. Kini, ketika roda kehidupan kami dibawah, jelas kebutuhan itu sulit kupenuhi. Sekeluarga tak kelaparan serta anak-anak bisa sekolah saja sudah bersyukur. Tak perlu hal muluk-muluk lainnya. Tapi sayang istriku sama sekali belum bisa menerima kehidupan kami. Ia selalu mengeluhkan pendapatanku yang katanya tak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal nyatanya…

Ah, sebagai lelaki dan suami aku merasa tak dihargai.

Sudah dua bulan ini aku bekerja menjadi kuli bangunan. Kupikir ini selama pekerjaan halal akan kulakoni, yang penting kami bisa makan. Toh hasilnya pun lumayan. Namun sayangnya pekerjaan merenovasi rumah telah rampung, itu berarti aku harus mencari pekerjaan lain. Sayangnya, baru seminggu aku tak bekerja istriku sudah membombardirku dengan kata-kata pedasnya. Nyaris setiap hari ia mengomel tak henti. Bukan aku saja yang menjadi korban tetapi juga anak-anak.

“BAPAK!”

Aku berjengit kaget. “Bapak itu ngelamunin apa sih? Nggak dengar ya Ibu ngomong apa dari tadi? Ya ampun, Pak. Kerjaan kok bisanya bengong ngelamun, ngelamun bengong! Bosen tahu Pak lihatnya.”

Aku menarik napas panjang, lalu beringsut dari kursi. Amarahku bisa saja meledak jika harus terus-terusan mendengar gerutuan istriku. Kalau aku boleh jujur, terkadang terbersit rasa ingin berpisah saja. Sungguh, rasanya menyesakkan diperlakukan seperti ini. Meskipun dia istriku tetap saja aku seorang laki-laki. Aku pemimpin, imam keluarga yang harus dihormati. Sekali lagi kuberitahu, aku masih bertanggungjawab penuh terhadap kebutuhan anak istriku. Aku tak pernah mangkir. Hanya saja memang penghasilanku yang tak seberapa selalu menjadi bulan-bulanan istriku.

“Eh, bapak mau kemana? Pak! Pak! Nggak sopan itu namanya. Pak!”

Aku meringis lalu menoleh. “Jangan berbicara kesopanan kalau kamu tidak belajar menghargai suamimu!”



Lampung, Juni 2016 (ISL)


Kembang Desa Pulau Panggung (19)



sebelumnya di sini

Mirah terbelalak saat mendapati Faisal berdiri di depan rumahnya. Sungguh, ia tak menyangka mantan suaminya bisa berkunjung ke rumahnya tanpa pemberitahuan lebih dulu. Padahal seingat Mirah mereka sempat bertukar nomor saat di bandara.

“B—bang Faisal,”

“Mir,”

“Kenapa kemari, Bang?”


Jumat, 17 Juni 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (18)


 sebelumnya di sini


“Katanya kamu di Jakarta sekarang, Mir. Kerja apa?”

“Gajinya gede nggak? Kalau gede, ajak-ajak anak bibi dong!”

“Eh, Mir kamu di sana udah punya pacar belum?”

“Iya Mirah nih kapan nyusul? Jangan sendiri aja!”

“Ayahnya Rania masih di Jakarta ya, Mir. Ketemuan nggak sama mantan?”

Minggu, 12 Juni 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (17)




sebelumnya di sini

“A--Apa kabar, Mir?”

Mirah tersenyum tipis. Dihelanya napas dalam-dalam, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan mantan suaminya. “Ba—baik. Abang?”

“Baik.” kepala Faisal manggut-manggut. Jelas keduanya bukan dalam suasana yang baik. Sama-sama canggung juga kikuk. Nyaris tiga tahun berlalu sejak perceraian, mereka tak pernah bertemu. Sama sekali. Sejujurnya dalam hati, Mirah ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Faisal. Atau tadi ia membuang muka saja ketika beradu pandang dengan laki-laki itu. Tapi entah mengapa hatinya menolak melakukan semuanya. Walau sebentar, setidaknya ia ingin menatap wajah laki-laki yang pernah dicintainya. Laki-laki yang pernah menjadi suaminya.

Rindukah?

Ah, Mirah tak tahu. Ada bagian dari hatinya yang bersorak senang ketika akhirnya bertemu dengan Faisal.

“Mir, Ayo!”

Mirah tersadar seketika. Daud ternyata sudah berada cukup jauh dari tempatnya berdiri. Temannya itu bahkan berinisiatif untuk kembali berjalan ke arahnya. “Nanti bisa kemaleman kita,” lanjutnya pada Mirah.

Mirah meringis. Sesaat ia mengangguk. Daud kembali berbalik. Mirah pun kemudian menatap Faisal. “Permisi, Bang. Aku harus pulang.”

“Tunggu, Mir!” Faisal menahan lengan Mirah.

Mirah mengernyit tak suka, dan Faisal buru-buru melepaskannya. “Ma—maaf!”katanya yang dijawab anggukan Mirah.

“Ka—mu…,” Faisal menarik nafas panjang sejenak. “A—ku bisa tahu nomor hape kamu,”

Mirah diam berpikir.

“Banyak yang harus kita bicarakan, Mir.”

“Tentang?”

“Semua. Termasuk Rania. Anakku.”

Mirah mencibir dalam hati. Anakku, katanya. Kemana saja ia selama ini? Kenapa tak pernah sekalipun datang mengunjungi Rania? Mengapa baru sekarang?

Namun semua kata-kata itu hanya terungkap di dalam hati Mirah. Alih-alih menyuarakan isi hati Mirah justru mengangguk perlahan lalu menyebutkan nomor ponselnya. Bodoh kamu, Mir! peringatnya dalam hati.

Ah, sudahlah yang lalu biarlah berlalu!

Tapi yang lalu itu menyakitkan, Mirah. Dan penyebabnya mantan suamimu ini…

“Ya udah yuk, Bang. Aku permisi!” Mirah mengabaikan peperangan dalam hatinya. Sepertinya pergi lebih cepat lebih baik. Apalagi sejak tadi Daud sudah menunggunya dengan tampang tak bersahabat. Terlihat gusar.

“Ya ya, Mir. Nanti aku hubungi kamu.”

Mirah hanya mengangguk sekilas lalu berlalu meninggalkan Faisal. “Siapa, Mir? Kayaknya lo kenal banget?” tanya Daud saat langkah keduanya bersamaan menuju parkiran.

Mirah tersenyum tipis lalu menggeleng. “Teman.” Sahutnya singkat.

“Oh,” mulut Daud membulat dan tak lagi berkomentar apa-apa. Apalagi kini mereka sudah menemukan mobil Daud. Tak lama mobil pun meluncur meninggalkan Bandara. Sejenak Mirah menarik nafas panjang.

Akhirnya, ia pun kembali….

***



“AYUK!”

Nyaris pukul 7 malam, Mirah sampai di depan rumahnya. Dan Kumala orang yang pertama kali melihatnya langsung berhambur keluar rumah untuk memeluknya.

“Ya ampun, Mala kira mobil siapa tadi? Nggak tahunya Bang Daud ngantar Ayuk. Ayuk kok nggak bilang-bilang mau pulang sih. Kaget kan jadinya Mala,”

Mirah hanya tersenyum tipis mendengar celoteh adik bungsunya. Kumala memang paling cerewet diantara saudara-saudaranya.

“Berisik memang Kumala ini.” Daud menggeleng geli. “Harusnya ayuk kau suruh masuk dulu. Buatkan minum, kasih makan. Ini kau omeli, Mal!”

“Eh, iya-iya!” Kumala nyengir.

Mirah kembali tersenyum. Ditatapnya Daud lalu ia mengeluarkan dompet lalu mengulurkan uang untuk membayar ongkos Daud.

“Gede amat, Mir. Nggak ada kembalian ini,” ujar Daud sesaat setelah menerima uang Mirah.

Mirah menggeleng. “Nggak usah dikembaliin. Rezeki buat Saniah.” Katanya sembari menyebutkan nama istri Daud yang sudah dikenalnya.

“Serius, Mir?” Mirah mengangguk dan Daud tersenyum senang. “Aih, makasih ini ya. Kudoakan makin sukses lah.”

“Amin.” Kompak Mirah dan Kumala menyahut. Tak lama daud pun pamit pulang, menyisakan kedua kakak beradik di depan rumah.

“Sepi amat, Mir? Pada kemana?” tanya Mirah kemudian.

“Lah kan lagi pada minep tempat Uwak Ros. Si Ana nikah besok, Yuk! Eh, bukannya aku udah bilang sama Ayuk ya?”

Mirah meringis. Kumala memang pernah cerita. Apapun tak luput darinya untuk diceritakan tapi memang dirinya saja yang lupa. Siapa kira ternyata acaranya besok.

“Emak juga ke sana? Rania?”

“Ya Emak kesana, Yuk. Bisa ngamuk Uwak kalau Emak nggak hadir kan? Tapi tenang aja aku udah bilang Yuk Vina untuk jaga-jaga kondisi Emak. Udah aku bawain obat juga.”Jelas Kumala. “Lagian Emak juga baru tadi sore kok, Yuk berangkatnya. Paling besok udah pulang.

“Uwak Ros juga ngertilah. Aku udah bilang. Eh, kalau Rania ada di kamar. Udah tidur.” lanjut Kumala lagi.

Kepala Mirah manggut-manggut. Mereka kini sudah berada di dalam rumah. sedetik kemudian Mirah menghela napas panjang. Ada rasa hangat dan bahagia yang meluap saat kakinya menginjak kembali rumahnya. Tempatnya bertahun-tahun menghabiskan hari.

Ini yang namanya pulang…

“Eh, Yuk malah bengong?” tegur Kumala. “Kangen rumah ya?”

Mirah mengangguk perlahan. “Kangen banget, Mal. Sebagus-bagusnya di sana, tetap aja lebih nyaman di rumah sendiri.”

“Oh ya?” sebelah alis Kumala terangkat.

Mirah kembali mengangguk. “Percaya deh kamu kalau udah merantau ngerasain banget nyamannya tinggal di rumah.”

Kumala tertawa. “Yayaya. Tapi beneran boleh nih merantau?”

Mirah terkesiap. Ia memang pernah mewanti-wanti Kumala untuk tidak merantau terutama ke ibukota. Cukup dirinya saja yang mengalami kesulitan, adiknya tak boleh. Meski Kumala gadis pemberani dan mandiri, tetap saja Mirah tak rela.

“Nggak usah. Kamu jaga Emak aja.”

Kumala mencibir. “Ya si Ayuk galau nih!”

“Udah ah!” Mirah mengibaskan tangan kanannya. “Ayuk mau mandi. Kamu siapin makan ya! Ayuk lapar.”

“Ok.”

Sejurus kemudian, Kumala sudah menghilang menuju dapur. Dengan perlahan Mirah memasuki kamarnya. Lampu terpasang redup, tapi Mirah dapat melihat anaknya tengah tertidur pulas. Pelan-pelan Mirah menghampiri ranjang. hatinya mencelos ketika dilihatnya beberapa luka di tangan dan wajah Rania.

Maafkan Ibu, Nak…

Kecelakaan memang musibah tetapi tak menutup kemungkinan juga merupakan kelengahan dari orang dewasa di sekitarnya. Namanya anak-anak, control orang tua itu penting. Dan Mirah merasa dirinya paling bersalah.

Harusnya kan ia lebih mengawasi Rania. Ia ibunya.

Maaf—maaafkan Ibu, Ran…

Dengan lembut dan perlahan, Mirah mengecup kening Rania. Ditariknya selimut yang berserak di ujung ranjang untuk kemudian meneyelimuti gadisnya.

Tidur nyenyak ya, Nak. Ibu akan menemani malam ini, bisiknya sembari turun dari ranjang lalu keluar kamar.

“Yuk, Emak!”

Mirah menoleh. Kumala menyodorkan ponselnya. Mirah mendengus. Ah, adiknya ini memang tak pernah sabar. Buru-buru pasti ia tadi mengabari keberadaan dirinya pada sang Ibu.

“Ya, Mak!”

“Ya ampun, Mir. Kamu pulang nggak bilang-bilang?”

Mirah meringis. “Tadi mendadak si bos ngasih izin, Mak. Jadi Mirah bisa pulang.”

“Tau kamu pulang, Emak nggak kesini,”

“Ya jangan gitu, Mak. Nggak enak sama Wak Ros. Udah nggak papa. Ada Kumala ini!”

Sesaat hening.”Ya udah kalau gitu. Untung tadi udah dikirim makanan sam Uwakmu. Besok kamu ke sini?”

“Nggak tahu, Mak? Kan Rania lagi sakit?”

“Aturlah sama Kumala, Mir. Ini semua tahu kamu pulang juga.”

Mirah mendesah. “Iya Mak.” Katanya lirih. Sejujurnya ia enggan muncul di acara keluarga. Terlalu banyak pertanyaan yang membuat kepalanya pusing. Dari soal kapan mengakhiri masa janda, laki-laki yang mendekatinya dan sekarang pasti tak jauh dari pekerjaannya di ibukota. Itu tak masalah jika hanya pertanyaan, tapi Mirah hafal betul karakter-karakter sebagian saudaranya. Nyinyir. Sungguh, ia tak ingin pergi tapi tak mungkin juga membantah perintah Emak.

“Ya sudah kalau begitu. Istirahatlah!”

“Iya.”

Dan sesaat setelah sambungan terputus, Mirah melotot pada Kumala. “Ck kamu ini, Mal! Malah telpon emak lagi. Bilang-bilang ayuk dulu ngapa?”

“Argh, kan ujungnya Ayuk disuruh ke sana.”

Kumala meringis. Saking senangnya kakaknya pulang, ia memang buru-buru mengabari Ibunya. Lupa mempertimbangkan Ibunya yang kini berada dalam lingkaran keluarga besar.

“Maaf, Yuk!”

Mirah menghela napas pendek sebelum kemudian melengang pergi menuju kamar mandi. Maaf Kumala pun tiada guna sekarang.

***

“I—IBU!”

Mata Rania mengerjap lalu dikuceknya berulang kali. Memastikan bahwa sosok yang tengah tersenyum di depannya adalah Ibunya, Mirah.

“Halo anak cantik. Ayo, bangun udah siang!” sapa Mirah yang seketika mendapat pelukan Rania.

Mirah terkekeh sejenak. Diusapnya lembut puncak kepala anaknya. “Kangen sama Ibu ya?”

Rania mengangguk dalam pelukan Mirah. “Iya. Kangen banget. Ibu sih nggak pulang-pulang.”

“Ibu kan kerja, Ran. Cari duit buat Rania sekolah kan?”

“Iya. “

Mirah merenggangkan pelukannya. Diamati beberapa luka gores dan lebam yang ada di tangan, kaki dan wajah anaknya. Beberapa diantaranya sudah mongering.

“Sakit nggak?” tanya Mirah hati-hati.

“Udah nggak.” Rania menggeleng. “Paling yang ini aja!” Kata Rania menunjuk luka besar yang masih belum kering benar di siku kanannya dan di betis kanan.

Mirah menggeleng sedih. “Lain kali hati-hati ya, Ran!”

“Iya.”

Mirah terdiam. Tak lama ia tersenyum. “Ya udah yuk bangun! Ibu sudah siapin sarapan. Kangen nggak sama masakan Ibu?”

“Kangen lah, Bu.” Wajah Rania berbinar senang. Seketika tangannya terangkat. Mirah mengernyit bingung.

“Gendong…”

Mirah berdecak namun tak urung mengangkat tubuh Rania. Beruntung tubuhnya kecil sehingga Mirah masih kuat menggendongnya.“Manja, huh!”

“Biarin,” ujar Rania sambil menjulurkan lidahnya.

Mirah tertawa. Momen-momen seperti ini yang selalu dirindukannya saat jauh dari Rania. Gadis kecilnya sebenarnya tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan berani tapi tetap saja ada saat-saat dimana Rania masih senang bermanja-manja hanya dengannya.

Namanya anak-anak.

“Bu…,”

“Hmm,” Mirah menyahut pendek.

“Jangan balik lagi ke Jakarta ya,”

***

selanjutnya di sini