Sabtu, 30 Juli 2016

[Cerpen] Rahasia Sebuah Cermin


gambar diambil dari www.pinterest.com

Rahasia sebuah Cermin


“Nyonya! Nyonya! Sedang anda di situ?”

“Hah?” Raras bengong. Ia bingung.

“Aduh Nyonya! Kenapa malah bengong? Cepat ganti bajunya! atau anda akan terlambat.”

“Hah?” Terlambat apa?

Raras benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Mengapa mendadak muncul wanita paruh baya yang sangat cerewet di sekitarnya. Memangnya ada apa? Kenapa?


Kembang Desa Pulau Panggung (31)



Tiga Puluh satu

sebelumnya di sini

Mirah melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lebih dari dua jam ia menjadi foto model dadakan. Mirah memang tak bisa menolak permintaan tolong Kanaya. Selain sedikit segan, dia juga tak punya alasan kabur. Kanaya cerdik, karena sudah membawanya ke hotel dimana kegiatan berlangsung.

“Maaf ya, Mir.” Kanaya datang dengan sebotol air mineral yang diulurkan ke Mirah.

Jumat, 29 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (30)


Tiga Puluh

sebelumnya di sini

“Mir,”

“Iya, Mbak.”

“Sorry ya.”

Kening Mirah mengerut dengan ucapan Kanaya. “Sorry kenapa?”

“Itu…” Dagu Kanaya terangkat sedikit. Ia mengarahkan kepalanya ke halaman luar sekolah. Seketika Mirah pun berdiri lalu mengikuti arah pandang Kanaya.

Bang Faisal.


Senin, 25 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (29)


 Dua Puluh Sembilan

sebelumnya di sini

Mirah merasa satu bulan berjalan begitu cepat. Ia menggigit bibir bawahnya saat melihat beberapa koper tampak memenuhi kamar. Dae Ho telah berkemas. Semua barang-barang miliknya sudah dibereskan dan esok pagi lelaki itu akan meninggalkan Indonesia.

Kamis, 21 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (28)



Dua Puluh Delapan

sebelumnya  di sini

Ada yang berbeda dari Dae Ho sekembalinya ia dari negaranya. Wajahnya terlihat sumringah dan berbinar. Entah apa yang terjadi. Mirah sejujurnya penasaran, namun sebisa mungkin ia menahan diri. Fakta dirinya bukan siapa-siapa selalu menjadi pengingat agar tak terlalu ikut campur urusan Dae Ho.

“Mira, kemari!”

Rabu, 20 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (27)


Dua Puluh Tujuh

sebelumnya di sini

Mirah terduduk lemas sesaat setelah tiba di rumah. Beruntung karena Lilian, Mirah bisa menolak tawaran Faisal yang hendak mengantarnya. Ck, bisa masalah kalau sampai Faisal tau tempat tinggalnya. Sekarang saja ia sudah bermasalah dengan fakta Faisal ternyata bekerja pada suami Kanaya. Apalagi memang mantan suaminya cukup mengenal Kanaya.

Tamat sudah riwayatmu, Mir…

Selasa, 19 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (26)


Dua Puluh Enam

Sebelumnya di sini

“Ba—bang Malik?”

Mirah ternganga mendapati sosok lelaki yang tumbuh bersamanya di masa kecil. Laki-laki yang belum lama ini ia tolak lamarannya.

Ya Tuhan, kenapa dia di sini?

Senin, 18 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (25)



Dua Puluh Lima

sebelumnya di sini

“Kenapa kamu tanya begitu, Mir?” Mata Nena memicing curiga.

Eh?

Mirah tersenyum kecut. “Cu—Cuma tanya, Teh.”

“Oh, Teteh kira ada apa,” Mulut Nena membulat, kepalanya pun manggut-manggut. Mirah pun bisa bernafas lega.

“Teteh sih nggak pernah dengar kalau dari kita yang mutusin kontrak. Kalau dari pihak laki sih ada. Biasanya kalau nggak mereka mendadak kembali, ya mereka udah bosan,”

Bosan?

“Kita mah apa atuh, Mir? Mereka yang punya uang, kita yang butuh. Jadi ya cuma bisa nurut,”

“Teteh pernah?”

Nena menggeleng. “Kalau suami-suami Teteh mah sesuai kontrak. Malah ada yang bilang, kalau dia balik lagi ke Indo dia mau nikah sama Teteh lagi.”

Mirah menelan ludah pahit. Tidak nyaman mendengarnya…

“Lagian kepikir dong Mir kalau kita yang batalin kontrak, mereka nuntut ganti rugi. Bayar pake apa kita. Udah ah, nanya jangan aneh-aneh!”

Tak lama kepala Mirah mengangguk perlahan. Nena benar. Ia tadi hanya berpikir spontan tentang pemutusan kontrak. Tak terpikir tentang denda atau ganti rugi.

Uang dari mana, Mir? Mirah pun menghela napas panjang. Ah, gara-gara obrolan di sekolah ini si…

“Mir-Mir, bukannya itu suami kamu ya?”

Kesadaran Mirah tertarik. Dilayangkan pandangan pada pintu masuk café. Dilihatnya sosok Dae Ho masuk. Ia tak sendiri. Ada seorang wanita berambut panjang bertubuh tinggi bersamanya. Keduanya terlihat sangat akrab.

Mirah terbeliak. Tiba-tiba ia teringat ucapan temannya Liana beberapa waktu lalu,

Ceweknya cantik banget, Mir. Kayak model. Tinggi, putih. Wanita itukah?

“Siapa ya Mir? Cantik banget!”

Mirah menghiraukan ucapan Nena. Matanya masih tak lekang menatap Dae Ho yang kini diantar salah salah satu pelayan menuju sebuah meja. Tiba-tiba Mirah terkesiap. Dae Ho menoleh dan keduanya beradu pandang. Mirah baru saja hendak menyunggingkan senyuman ketika Dae Ho segera membuang muka. Sontak dada Mirah terasa sesak. Hatinya terasa sakit mendapati Dae Ho bersikap demikian padanya.

Benar-benar tak dianggap.

“Mir! Mirah!”

Mirah tersenyum tipis dan menatap Nena. “Kamu kenapa? Kok tiba-tiba pucat? Kamu sakit?”

“The, kita pulang sekarang yuk!”

“Pu—lang?” Dahi Nena berkerut. “Kita kan belum makan?”

Mirah berdiri. “Cari tempat lain aja kalau gitu,”

Nena diam sesaat. Matanya melirik keberadaan Dae Ho, tak lama ia pun mengangguk. sepertinya ia tahu yang terjadi di sini. Bergegas ia pun berdiri. Memang sebaiknya mereka pergi.

“Kamu harus jelasin semua sama Teteh, Mir.”

***

Nena hanya mendesah panjang saat mendengar Mirah mengakhiri ceritanya. Sungguh, inilah yang selalu ia takutkan ketika Mirah memintanya mencari suami kontrak. Bagi Nena, Mirah adalah perempuan baik-baik dan polos. Kehidupannya yang dialaminya memang berat, namun Mirah masih menjalaninya dengan cukup baik. Mungkin karena ia tumbuh di lingkungan yang baik pula.

“Teteh kan pernah bilang, jangan pakai hati Mir?”

Mirah mengangguk sembari mengusap pipinya yang sudah basah. “Maaf Teh,”

“Buat apa minta maa, Mir?”

“Mirah salah. Mirah nggak denger omongan teteh,”

Nena menghela napas. Mirah tidak salah. Cinta pada dasarnya adalah anugerah. Tak ada yang bisa menebak kapan ia datang, bahkan pada siapa. Cuma kali ini Mirah apes. Yang dicintai jelas-jelas bukan laki-laki yang mencintainya. Mereka pun hanya terikat sebuah pernikahan kontrak.

“Mir,” Nena menarik tangan Mirah dan menumpunya dengan kedua tangannya. “Nggak ada yang salah dengan perasaan kamu. Tapi teteh harap jangan berharap padanya. Perasaan itu jangan dibiarkan tumbuh. Kamu masih muda. Banyak lelaki yang sebenarnya layak kamu dapatkan,” ungkap Nena lirih.

“Selesaikan kontrak dan lalu lupakan semuanya.” lanjutnya lagi. “Kalau waktu bisa terulang, Teteh akan menolak keinginan kamu, Mir.”

Mirah terdiam. Ada rasa bersalah menggelayutinya. Ia tak enak jika Nena kemudian ikut merasa bersalah.

“Maaf ya, Teh.” Ujar Mirah. “Mirah tahu diri kok. Mirah juga berusaha untuk tidak berharap pada Oppa. Mirah berharap kontrak ini segera selesai.”

Nena mengangguk. “Ya seharusnya seperti itu.”

***

“Maafkan saya,”

Mirah mendongak. Sedari tadi ia memilih diam. Bersikap seperti biasa. Menyambut kepulangan Dae Ho lalu menyiapkan makan malam. Sesaat keduanya larut dalam keheningan di meja makan hingga Dae Ho yang pertama kali berbicara.

“Saya tak bermaksud buruk padamu, Mira,” ucap Dae Ho lagi. “Tapi situasi tak memungkinkan untuk saya menyapa kamu.”

Mirah mengangguk perlahan. Dipaksanya menarik lurus bibir untuk membentuk senyuman. “Aku tahu Oppa. “

“Tapi kamu mendadak pergi?”

“Aku tak ingin Oppa merasa tak nyaman dengan keberadaanku,” ujarnya mencari alasan yang tepat. Tak mungkin jika ia katakan kalau dirinya tengah cemburu sekaligus sakit hati.

“Kamu memang baik, Mira. Tapi saya tak enak.”

“Sudahlah, Oppa.” Geleng Mirah. “Lupakan saja. Itu bukan sesuatu yang penting juga.”

“Lebih baik kita teruskan makan?” sambungnya lagi. “Bagaimana rasa masakannya? Enak?”

“Tentu saja!” Dae Ho mengangguk cepat. “Masakan kamu selalu enak, Mira. Saya jadi semakin suka masakan negara ini.”

Mirah tersenyum kecut. Sebenarnya ia butuh tak sekedar kata maaf. Penjelasan tentang siapa wanita itu juga alasan yang sebenarnya Dae Ho mengabaikan dirinya pun ingin didengarnya. Tapi mengingat pesan Nena, Mirah pun memilih untuk bersikap tak peduli sejak saat ini. Apapun yang dilakukan Dae Ho di luar, bukan urusannya.

Yah memang bukan urusannya.

“Oh ya, lusa saya harus pergi ke korea, Mir?”

Mirah mengernyit. “Lusa?”

Dae Ho mengangguk. “Perayaan chuseok.”

“Chuseok?”

“Iya. Perayaan panen juga pesta untuk menghormati para leluhur.”

Dalam benak Mirah ketika Dae Ho menyebut penghormatan pada leluhur adalah kegiataan orang-orang mengunjungi altar yang telah ditata dengan berbagai macam panganan lalu mereka akan menunduk atau membungkuk di depan altar. Hal ini pernah ada di beberapa adegan drama korea yang ditontonnya.

“Keluarga kami akan berkumpul semua.” Ucap Dae Ho kembali yang kemudian membuat Mirah tersenyum sedih.

Keluarga? Bahkan ia tak pernah tahu tentang keluarga Dae Ho.

“Oppa pergi berapa hari?” tanya Mirah mengabaikan perasaannya yang gelisah. Sudah Mirah, tak perlu tau keluarganya. Toh kamu bukan siapa-siapa?

“Lima hari.”

Mirah mengangguk. “Baiklah akan kusiapkan semuanya.”

“Terima kasih, Mira.”

***

Jika dulu saat ditinggal Dae Ho, Mirah mengurung diri di rumah kini tidak lagi. Mirah sudah membulatkan tekad untuk mematikan perasaannya. Jadi sebisa mungkin ia menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan. Pulang terlambat, jalan-jalan ataupun mengunjungi Nena. Apapun kegiatan yang bisa membuatnya jarang di rumah, karena rumah selalu mengingatkan dirinya akan Dae Ho.

“Mir, yang ini cantik nggak?”

Mirah menoleh. Di tangan Nena terdapat sebuah dress tanpa lengan berwarna peach yang cukup indah. Senyumnya pun merekah lalu mengangguk.

“Cantik, Teh. Apalagi dipakai Teteh,”

“Kamu ini bisa aja kalau disuruh muji,” cibir Nena yang bersambut tawa Mirah.

“Pujian kan bikin orang senang, Teh. Jadi pahala!”

Nena tergelak, kepalanya manggut-manggut. “Okelah kalau gitu. Eh aku coba dulu ya,”

Mirah mengangguk. Sembari menunggu Nena di ruang ganti, ia pun melihat koleksi-koleksi yang ada di toko pakaian yang sedang mereka kunjungi. Hari ini ia memang sengaja janjian untuk jalan-jalan ke mall bersama Nena.

“Mirah!”

Mendengar namanya disebut, Mirah pun berbalik. Seketika matanya terbelalak mendapati sosok yang baru saja memanggilnya.

Demi Tuhan, kenapa Jakarta jadi sedemikian sempit? ****
selanjutnya di sini

Lampung, Juli 2016


Sabtu, 16 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (24)




Dua Puluh Empat

sebelumnya di sini

“Astaga! Cerai lagi!”

Mirah mendongak. Dilihatnya Miss Anna, salah seorang pengajar tengah menggelengkan kepala sambil menatap tablet di tangannya. Suaranya cukup keras, sehingga tak hanya membuat Mirah saja yang penasaran, tapi juga beberapa pengajar yang masih belum pulang meski jam sekolah telah berakhir.

“Apaan sih, Miss?” tanya Lilian penasaran.

“Ini loh teman aku, baru juga nikah setahun udah cerai. Padahal ini pernikahannya yang keempat,”

“Keempat? Yang benar aja!”

“Wooo, hebat amat Miss temannya,”

“Cantik pasti Miss temannya.” Sontak beberapa suara terdengar bersahutan menimpali.

“Iya! Tahu deh tuh orang demen amat gonta-ganti suami. Tau deh kenapa,” jelas Miss Anna.

“Biasanya financial Miss?” celetuk salah satu pengajar.

Bahu Miss Anna mengedik. “Nggak tahu. Cuma pernah ada yang bilang dia kontrak gitu sama suaminya,”

“Nikah kontrak maksudnya, Miss.”

Deg.

Mirah yang awalnya menghiraukan obrolan para pengajar mau tak mau terusik. Pernikahan kontrak?

Itu kan…

“Iya.”

“Ish Miss awas fitnah loh,”

Miss Anna menggeleng. “Nggak lah. Si Risa teman aku ini pernah cerita sama teman kita yang lain. Nah udah deh jadi kesebar kemana-mana,”

“Duh, mulut cewek ya Miss…”

Tawa pun pecah. Mirah menggeleng. Kaumnya kalau sudah mengobrol suka lupa dengan keadaan. Bahkan tak jarang saling membuka aib.

“Eh tapi ngomong-ngomong soal nikah kontrak ya, ada kan beberapa daerah yang wanita-wanitanya melakukan nikah kontrak. Penghulu aja disiapin loh,”

Kepala Mirah sedikit terangkat. Dilihatnya Miss Lilian yang baru mengatakan hal itu.

“Kan pernah tuh diangkat film?”

“Iya-iya!”

“Ah, padahal kan nikah kontrak itu nggak boleh ya?” suara Miss Anna kembali terdengar.

“Nggak boleh Miss, di agama kan juga dilarang. Masa nikah main-main.”

“Masalahnya perempuan jadi pihak yang dirugiin,” timpal Lilian.

“Tapi kan dibayar gitu, Miss?”

“Dibayar cuma buat muasin nafsu doang kan? Bukannya sama aja kayak kupu-kupu malam?”

“Sama aja sih, tapi bahasanya diperhalus karena pake kata nikah.”

“Iya sih bener juga. Kalau hamil gitu kasian kan anaknya, entah kemana bapaknya,”

“Nah itu nggak cuma ngerugiin perempuan tapi anak-anak. Pernikahan kayak gitu kan biasanya siri. Nggak resmi. Nah bingung kalau punya anak,”

Kepala Mirah pusing seketika. Obrolan para pengajar kali ini telak menyindirnya. Mereka memamg tak tahu, hanya kebetulan topic yang diangkat kali ini mengena pada dirinya.

Kupu-kupu malam? Pelacur? “Heh, ini kenapa masih belum pada pulang?” Kanaya keluar dari ruangannya dan bergabung. “Seru nih rumpiannya. Ngerumpi apaan sih?”

“Bukan ngerumpi Miss, Cuma kebetulan lagi negbahas nikah kontrak.”

“Nikah kontrak?” Dahi Kanaya berkerut.

“Ini ada teman Miss Anna yang melakukan pernikahan kontak. Jadi lah akhirnya obrolan melebar gitu ngomongin soal nikah kontrak,”

“Oh gitu…” Kepala Kanaya manggut-manggut.

“Menurut Miss Kanaya sendiri gimana?”

Kepala Kanaya menggeleng sesaat. “Pernikahan itu sakral jadi nggak boleh lah dibuat main-main. Lagian dalam agamaku kan haram hukumnya. Nggak ada itu kawin-kawin kontrak. Nikah ya nikah beneran lah.”

Deg.

Hati Mirah terasa mencelos seketika. Haram berarti dosa!

“Biasanya masalah ekonomi latar belakangnya Miss,”

Kepala Kanaya menggeleng lagi. “Rezeki udah diatur. Cari dengan cara halal. Lagian kayaknya populasi jomblo juga banyak. Mereka tuh pasti mau diajak nikah serius,”

“Ya Miss Kanaya bawa-bawa jomblo nih!” terdengar protes dari Miss Lilian.

“Loh iya kan?”

“Yang jomblo protes! Yang jomblo protes!”

Tak lama tawa kembali pecah. Obrolan pun detik kemudian sudah berganti topic. Mirah mendesah panjang. sedari tadi ia memilih diam dan mendengar baik-baik semua yang diobrolkan para pengajar dan Kanaya.

Ck, Tidak semuanya semudah dikatakan, bisiknya dalam hati.

Mudah bagi mereka berkata demikian karena tak pernah mengalami keadaan seperti dirinya. Tekanan masalah dan hidup yang terlalu berat. Tak ada jalan lain yang bisa ia lakukan saat itu. Satu-satunya cara tercepat untuk mendapatkan uang untuk Emak dan Rania adalah menikah. Nikah kontrak.

Mata Mirah terpejam sejenak. Sejujurnya ia sakit hati saat disamakan dengan pelacur, tapi sisi hatinya yang lain membenarkan tuduhan itu. Toh walaupun berstatus istri, ia tak tahu banyak tentang Dae Ho. Bahkan dimana lelaki itu bekerja saja, dirinya tidak tahu. Selama ini yang dilakukan hanya melayani kebutuhan Dae Ho terutama di atas ranjang. Ingatannya Mirah berkelebat pada saat beberapa hari lalu Dae Ho tetap memaksanya padahal ia baru saja kembali.

Mereka benar, ia hanya pemuas nafsu.

Sudah, Mir! Sudah! Abaikan mereka,ujar Mirah dalam hati. Mereka tak pernah tahu apa yang kamu alami. Mereka tak pernah menjadi dirimu. Toh hidupmu adalah hidupmu. Selama dirimu tak mengusik hidup orang lain, kenapa harus dipermasalahkan.

Kepala Mirah manggut-manggut. Benar seperti itu. Hidupnya dalah urusannya. Jadi buat apa memikirkan ucapan orang lain bukan?

***

Mirah bisa jadi sudah membulatkan tekad untuk tak peduli dengan ucapan orang lain, tetapi pada kenyataannya benaknya tak lepas untuk kembali memikirkan tentang nikah kontrak. Berkali-kali ia menghela napas pendek lalu berdecak kesal.

Ah, sudah lupakan Mirah! Jalani saja…

Semua tak semudah itu.

Argh…

“Mirah!”

Mirah tergagap. Nena telah berdiri tegak di depannya. Senyum wanita itu merekah. Buru-buru Mirah bangkit dari kursi dan mencium kedua pipi Nena.

“Teteh apa kabar? Kapan balik?” ujarnya kemudian.

“Baru kemarin.”

“Seru ya Teh diajak ke luar negeri?”

Nena nyengir dan mengangguk. “Iya,” jawabnya sambil menarik kursi untuk diduduki. Mirah pun mengikuti kemudian.

Tadi pagi di sekolah, Mirah sempat kaget karena mendapati Nena menghubunginya. Seingatnya dua minggu lalu saat bertemu, Nena mengatakan Josh mengajaknya jalan-jalan ke luar negeri. Praktis sejak itu Mirah jarang menghubungi Nena, apalagi dirinya pun sempat pulang kampung. Komunikasi keduanya benar-benar terputus. Maka ketika tadi pagi Nena mengajaknya bertemu, Mirah pun segera mengiyakan.

“Makin cantik aja kamu, Mir!”

Bibir Mirah mencebik. “Ini pujian apa sindiran, Teh?”

Nena tergelak. “Pujian. Ikhlas.” Senyumnya. “Kangen, Ih. Lama ya nggak ketemu kita,”

Mirah mengangguk. “Abis teteh kelamaan sih jalan-jalannya.”

Nena tersenyum tipis. “Iya nih sih Josh memperpanjang waktu liburan.” jawabnya. “Yah, dipuas-puasin lah, Mir.”

“Dipuas-puasin gimana sih Teh maksudnya?”

“Kontrak saya sama Josh abis, Mir.”

Mirah terbeliak seketika. “Jadi Teteh udah pisah sama Josh?”

Nena mengangguk cepat. “Iya. Namanya udah abis kontrak, Mir. Ya harus diakhiri. Lagian Josh harus balik lagi ke negaranya.”

Habis kontrak. Harus diakhiri. Mirah menelan ludah susah payah. Lagi-lagi ia diingatkan akan status pernikahan yang hanya sementara. Ada jangka waktu dan tidak selamanya.

“Jadi janda lagi nih saya, Mir!”

Mirah tersenyum kecut mendengar seloroh Nena. Hatinya terasa teriris. Cepat atau lambat dirinya pun akan bernasib sama.

“Teteh nggak sedih?”

Kening Nena mengerut. “Sedih?” Kedua alisnya bertaut. “Sedih sih. Josh kan baik. Royal lagi,” kekehnya yang membuat dahi Mirah berkerut.

“Ck, Mir! Nggak usah dibawa pusing kalau cerai lagi mah. Kan memang kita sudah tahu kalau pernikahan ada jangka waktunya. Jadi kalau udah abis, ya udah.”

Mirah mengangguk perlahan. Teh Nena benar. Ia memang sudah tahu konsekuensinya, pernikahan takkan bertahan lama seperti pasangan umumnya. Toh di awal ia justru ingin pernikahan segera berakhir, tapi…

“Teh,”

“Hmm,”

“Mungkin nggak kalau kita mengakhiri pernikahan kontrak lebih dulu?”

***
selanjutnya di sini

Lampung, Juli 2016




Minggu, 03 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (23)


Dua puluh tiga

sebelumnya di sini

“Kamu kerja?”

Mirah menoleh dan mengangguk. Dae Ho masih terbaring di atas ranjang. “Tidakkah hari ini kamu minta izin saja?” lanjut Dae Ho kembali bertanya.

Kerutan di dahi Mirah terbentuk. Sejujurnya ia sedikit heran, karena Dae Ho tidak pergi pagi-pagi seperti biasanya. Mirah ingin bertanya, namun diurungkan. Mungkin saja Oppa lelah…

“Saya tidak bekerja. Kamu sebaiknya tidak juga.”

Kening Mirah makin berkerut. “Maksud Oppa tidak bekerja? Cuti? Kenapa?”

“Kita sudah lama tidak bertemu, Mira. Saya rindu kamu,” Dae Ho mendesah panjang.

Ada geliat rasa bahagia di hati Mirah saat Dae Ho mengatakan merindukannya. Berkali-kali kata itu diucapkan, berkali-kali pula bahagia ia rasakan.

Mirah menarik napas panjang. “Oppa, dari kemarin siang aku pulang hingga semalaman kita terus bersama. Apa itu belum cukup?”

“Tentu saja belum. Ingat Mira, kamu istri saya. Kamu harus menuruti kemauan saya.”

Deg.

Mirah tertegun. Ada fakta yang nyaris dihiraukannya. Dae Ho benar. Ia adalah istri, tepatnya seorang istri kontrak. Kesepakatan telah terjadi, apapun yang diinginkan Dae Ho Mirah tak bisa protes. Ia harus siap kapanpun untuk melayani laki-laki itu.

Istri?

Ah, bukan ini makna istri yang sesungguhnya.

“Baiklah,” Mirah mendesah lirih. “Kalau begitu aku akan membuat sarap…,”

“No no no, Mira!” Dae Ho memotong ucapannya. Tangan kanan laki-laki itu melambai meminta Mirah mendekat. “Kemarilah!” Saya belum lapar. Saya hanya ingin kamu.” katanya dengan suara serak dan parau.

Dan Mirah tak mungkin menolak keinginan ‘suami’nya.

***

Mirah menghela napas dalam-dalam saat kakinya melangkah memasuki pelataran sekolah. Sedetik kemudian ia meringis. Sudah terlalu lama ia absen. Tak enak rasanya pada Kanaya juga pengajar lainnya. Harusnya setiba di Jakarta, ia segera masuk kerja. Tapi mau bagaimana lagi jika Dae Ho menahan dirinya.

Kemauan Dae Ho itu pantang ditolak.

“MBAK MIRAH!”

Mirah tersentak karena pekikan salah satu pengajar. Tak lama dilihatnya Lilian berhambur ke arahnya. “Gimana Mbak anaknya udah baikan? Ya ampun Mbak, maaf ya kita-kita nggak tahu,”

Mirah tersenyum tipis. “Udah nggak papa kok, Miss. Makasih ya,”

Tak lama beberapa pengajar yang sudah hadir mengelilingi Mirah. Mereka bersimpati. Meski akhirnya justru membuat Mirah tak enak hati sendiri.

Mereka begitu peduli…

“Mirah! Kamu sudah kembali?” Kanaya muncul. Ia tersenyum lalu memeluk Mirah. Sedetik kemudian, Mirah merasa semakin tak nyaman. Kanaya sudah begitu baik, sudah memberikan izin begitu lama tapi ia justru tak segera kembali.

“Maaf, Mbak,”

“Maaf?” Kanya mengerut. “Kenapa minta maaf? It’s Ok, Mir. Santai aja. Lagian aku tahu tak ada ibu yang tenang saat mengetahui anaknya sakit,”

Mirah mengangguk perlahan. “Ya sudah jangan dipikirkan. Sekarang yang penting anakmu sudah membaik kan?”

Mirah kembali mengangguk. “Berita baik.” sambung Kanaya. “Berarti hari ini siap kerja?”

“Iya, Mbak. “

Kanaya tersenyum tipis. “Ok. Sip. “

Sungguh, Mirah merasa Kanaya terlalu baik padanya.

***

Selang dua minggu kemudian, kehidupan kembali normal. Mirah dapat bekerja dengan baik pun dengan Dae Ho yang tak lagi menuntut perhatiannya. Semua kembali seperti biasa. Meski begitu kini Mirah tak lagi banyak berharap akan hubungannya dengan Dae Ho. Waktu pada akhirnya membuatnya menyadari jika perasaannya tak boleh tumbuh dan berkembang. Dirinya hanya terikat sebagai istri kontrak.

Tak lebih dari itu…

“Apa yang kamu pikirkan, Mira?” tanya Dae Ho yang tiba-tiba memeluk Mirah dari belakang. Sontak Mirah terkesiap dan ia reflek menggeliat untuk melepaskan pelukan, tapi sayang Dae Ho menahannya hingga sia-sia sudah usahanya.

“Ada yang membebanimu?” tanya Dae Ho lagi. “Anak kamu okay?”

Mirah mendesah panjang lalu mengangguk tanpa suara. Tak mungkin kan jika ia tengah memikirkan hubungannya dengan Dae Ho.

“Kamu mau kita jalan-jalan lagi?”

“Jalan-jalan?”

Dae Ho mengangguk di bahu Mirah. “Iya. Pantai. Kamu suka pantai, jadi kita akan ke pantai.”

Sejenak Mirah terbengong. Ia pun berbalik. Sungguh dirinya tak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Dae Ho. Tak tahukah laki-laki ini semakin banyak perhatian ditunjukan untuknya, semakin tumbuh pula perasaan Mirah. Kalau begini bagaimana bisa hilang?

“Ayo, berkemas! Besok akhir pekan,”

Mulut Mirah terbuka kemudian. “Se—sekarang?” tanyanya tak yakin. Yang benar saja ini sudah malam. Diliriknya jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam.

“It’s Ok, Mira. Weekend selalu ramai.” Senyum Dae Ho mengembang. “Ayolah. Saya tak ingin kamu bersedih.”

Dan perasaan hangat itu kembali muncul.

***

Selalu ada luapan perasaan yang tak bisa digambarkan Mirah jika melihat matahari terbit di pagi hari. Siluet warna jingga yang muncul membuatnya kehabisan kata-kata. Tuhan benar Maha Kuasa, karena tak ada siapapun yang bisa menandingi keindahan ciptaanNya.

Senyum Mirah pun mengembang. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Seketika perasaannya pun menjadi tenang.

Sungguh, aku ingin seperti ini setiap hari.

Semalam akhirnya Dae Ho membawanya ke salah resort yang ada di Anyer. Perjalanan cukup panjang membuat Mirah jatuh tertidur dan ia terbangun karena Dae Ho membangunkannya. Mereka tiba nyaris dini hari.

Mirah berbalik sejenak, dilihatnya Dae Ho masih bergelung di tempat tidur. Ia yang terbiasa bangun di pagi buta, tak bisa kembali tidur. Maka diputuskan untuk duduk di pinggir balkon menikmati keindahan matahari terbit.

Tak lama Mirah kembali menatap lurus ke depan. Ia mendesah panjang. Dae Ho yang perhatian, Dae Ho yang hanya suami kontrak.

Argh…

Sadar, Mir! Sadar! Selamanya kamu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang istri kontrak. Kontrak berakhir, berakhir pula hubungan kalian.

Tapi tak bisakan aku sedikit berharap karena perhatiannya?

Tiba-tiba lamunan Mirah tersentak. Ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar membuatnya mendengus seketika.

Faisal.

Laki-laki ini, ah…

“Ada apa, bang?” Tanya Mirah sesaat setelah dirinya mengucap salam.

“Aku di Jakarta, Mir,”

Mirah mendesah. Mantan suaminya ini sepertinya masih berharap banyak untuk berhubungan dengannya.

“Lalu?” sahut Mirah dengan enggan.

“Bisa kita bertemu?”

“Maaf, Bang. Aku sedang tidak di Jakarta.”

“Loh, bukannya kamu bilang akan kembali,”

Mirah menggeram dalam hati. “Iya, Bang. Aku memang sudah kembali ke Jakarta buat bekerja. Tapi hari ini ada urusan di tempat lain.”

“Dimana?”

Mirah memutar bola matanya jengah. Faisal ini menyebalkan sekali!

“Ada di luar kota,” Mirah akhirnya menjawab dengan ketus.

“Kamu ada pekerjaan di sana?”

Argh, Mirah mengerang frustasi. Dulu boleh jadi ia bahagia dengan sikap dan tindakan Faisal yang menurutnya begitu perhatian dan peduli. Tapi sekarang…

Ck, tidak ingat dia jika mereka sudah terlalu lama bercerai.

“Bang, maaf! Aku Cuma mengingatkan hubungan kita sudah lama berakhir. Apa pun yang aku lakukan bukan urusan Abang lagi kan?”

Sesaat hening.

Mirah membiarkan Faisal terdiam di seberang. Dirinya sendiri juga enggan mengatakan apa-apa lagi.

“Maaf,” Tak lama suara Faisal terdengar lirih. Mirah pun menggeleng perlahan.

“Sudahlah, Bang sebaiknya aku tutu…,”

“Mira, kemarilah! sedang apa kamu di sana?”

Deg.

Spontan Mirah berbalik, matanya terbeliak kaget. Ucapan Dae Ho pasti dapat jelas terdengar oelh Faisal.

“Suara siapa itu, Mir? Sepertinya laki-laki?”

Tubuh Mirah membeku seketika. “Bu—bukan siapa-siapa, Bang.” Katanya gugup. “I—itu temanku yang menjem—menjemput di pintu. Ya di pintu,”

“Ma—af, Bang. Aku harus pergi.”

“Mir, Mir tapi…,”

Klik.

Sambungan terputus. Meski begitu ketegangan masih menggelayutinya. Habis sudah dirinya kalau sampai faisal tahu. Bisa-bisa sampai ke telinga Emak di kampung.

Ya Tuhan, mudah-mudahan Faisal percaya…

“Mira!”

Panggilan Dae Ho menyentakkan kesadaran Mirah. Bergegas Mirah pun kembali masuk ke dalam kamar. Ah, mengapa sekarang hidup benar-benar terasa ruwet.

selanjutnya di sini

=tbc=
Berhubung bentar lagi lebaran, saya pribadi mengucapkan selamat idul fitri ya, Taqobbal Allahu minna wa minkum


Kembang Desa Pulau Panggung (22)


Dua puluh dua


sebelumnya  di sini

Tak banyak yang berubah dari wajah Malik. Ia masih sama. Hanya kini tampak lebih dewasa. Tubuhnya bertambah tinggi, tapi secara porposional bentuk tubuhnya masih sama. Tidak kurus juga gemuk. Pas.

“Apa kabar Mirah?”

Mirah tersenyum kecut. Semalam matanya sama sekali tak terpejam. Ia tak habis pikir dengan isi kepala Malik yang tiba-tiba melamarnya. Rentang waktu yang terlampau lama serta jarak seharusnya sudah menjauhkan keduanya. Bahkan tak ada komunikasi sama sekali. Dan karena uwak Amrizal datang ke pernikahan saudaranya, maka dengan mudah laki-laki itu kembali mengingatnya.

Gila…

Kemana saja dia selama ini?

“Baik.” Jawab Mirah singkat.

“Lama sekali ya, Mir kita nggak ketemu.”

Mirah mengangguk perlahan. Sejujurnya ia tak menyukai keadaan ini, tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin kan mengusir tamu. Tidak sopan itu, salah-salah Emak mengamuk lagi.

“Kata Bi Ni, kau sekarang kerja di Jakarta?” tanya Malik lagi.

Mirah kembali mengangguk. “Iya, Bang.”

“Dimana?”

“Di sekolah,”

“Jadi guru kau?”

“Bukan, Bang.” Geleng Mirah. “Hanya bantu-bantu administrasi.”

Malik manggut-manggut. “Kupikir guru. Padahal kau kan bercita-cita jadi guru.”

Mirah tertegun sesaat. Malik mengingat impiannya. Impian yang tak pernah tercapai karena ketiadaan biaya. Dulu Ayahnya hanya mampu menyekolahkan sampai SMA, selepas itu Mirah bekerja. Tak lama bekerja ia menikah lalu memiliki Rania. Kesibukannya sebagai istri dan ibu membuatnya lupa dengan cita-citanya itu.

“Itu kan dulu, Bang.”

“Memang sekarang tidak lagi?”

Bahu Mirah terkedik. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Hidup baginya sekarang adalah Rania. Tak masalah jika cita-citanya tak terwujud, yang penting mimpi Rania tercapai. Sekuat tenaga ia akan berusaha menyekolahkan Rania setinggi mungkin. Mirah tak ingin Rania bernasib sama dengannya. Putrinya harus hidup lebih baik.

“Padahal sayang, Mir. Kau cocok sekali jadi guru.”

Mirah menggeleng. “Cocok belum tentu suratan nasib, Bang.”

Sesaat hening.

Jemari Mirah bertaut. Mulutnya terasa gatal untuk menanyakan perihal lamaran. Tapi pikirannya menolak. Ia ingin Malik sendiri yang memulai pembicaraan itu.

“Soal itu bisa berubah, Mir. Aku jamin kau bisa sekolah lagi setelah kita menikah.”

Deg.

Jantung Mirah berdegup sedemikian kencang. Ini yang sedari tadi ditunggunya. Tak lama ia pun kembali mengulas senyuman.

“Maaf, Bang. Kalau boleh Mirah tahu apa alasan Abang melamar Mirah? Abang kan tahu Mirah seorang janda beranak satu,”

“Status bukan masalah. Abang sama seperti laki-laki lainnya, ingin berkeluarga, Mir…,”

“Dan kenapa Mirah?” potong Mirah tiba-tiba.

“Karena kau perempuan baik, Mir. Abang sudah kenal kau sejak kecil, keluarga kita juga masih bersaudara jauh, jadi abang yakin kalau kau wanita tepat untuk jadi pendamping Abang.” Jelas Malik.

Mirah bungkam. Ia melengos lalu membuang muka. Dulu sekali ia ingin hal ini terjadi. Malik melamarnya dan menjadikan dirinya satu-satunya perempuan yang berada di samping laki-laki itu. Mirah bahkan sudah berjanji jika ia menjadi istri Malik, maka selamanya seberat apapun kehidupan yang akan dijalaninya, ia akan tetap berada di samping laki-laki itu.

Tapi itu dulu…

Sekarang? Bahkan senyum Malik tak mampu menggetarkan hatinya lagi.

“Ma—maaf, Bang.” Mirah menarik napas panjang. “Mi—rah nggak bisa.”

“kenapa?”

Mirah terdiam sejenak. Ditatapnya Malik lekat-lekat lalu ia menghembuskan napas perlahan. “Karena Mirah belum siap,” ujarnya lirih. Mirah sebenarnya kesulitan mencari alasan. Mustahil mengatakan jika dirinya kini istri orang bukan?

“Saat ini prioritas Mirah Cuma Rania. Jadi Mirah belum memikirkan soal menikah lagi.”

Ruangan kembai hening.

Mirah membiarkan Malik terdiam. Ia tahu laki-laki itu tengah berpikir masak-masak dengan perkataannya.

“Abang tahu mungkin ini terkesan terburu-buru. Tapi Mir, Abang serius!” kata Malik. “Abang tahu kau butuh waktu. Jadi kau bisa memikirkan kembali.”

“Ta—pi, Bang…,”

“Ibuuuuuuuu!”

Teriakan Rania menghentikan ucapan Mirah. Dilihatnya gadis kecilnya setengah berlari turun masuk ke dalam rumah. Rania memang sudah kembali ke sekolah. Tadi pagi, Mirah sendiri yang mengantar, namun karena ia kedatangan Malik maka Mirah tak bisa menjemput Rania pulang sekolah. Ia pun meminta tolong adiknya untuk menjemput.

“Eh, ada tamu.”

Rania nyengir. Mirah tersenyum lalu melambaikan tangannya. “Sini kenalan sama Om Malik dulu,”

Dengan takzim, Rania menyalami Malik. “Halo, Cantik. Jadi namanya Rania?”

Rania mengangguk cepat. “Iya, Om. Rania Dianti.”

“Udah sekolah?”

“Udah. O besar. Besok mau masuk SD.”

“Oh ya? Anak pintar!”

“Ran, udah sana masuk. Ganti baju. Sama Bi Vina dulu ya!”

Bersamaan itu Arvina masuk ke dalam rumah. Sesaat setelah menyalami Malik, ia pun membawa Rania masuk ke kamar. Mirah menarik napas panjang lalu kembali menatap Malik.

Malik tersenyum. “Rania sepertinya membutuhkanmu. Jadi lebih baik aku pulang.”

Mirah mengangguk. “Iya, Bang. Makasih.”

“Besok aku kemari lagi ya,”

Kening Mirah mengerut sesaat namun tak lama ia kembali menghela napas dalam-dalam. “Maaf, Bang. Besok Mirah akan kembali ke Jakarta.”

***



Pergi dalam kondisi dan situasi tak mendukung bukanlah sesuatu yang baik. Terkesan dipaksakan. Atau terlihat kabur.

Demikian yang Mirah rasakan. Ibunya marah. Benar- benar marah. Wanita yang telah melahirkannya itu menginginkan lamaran Malik diterima. Tapi sayang, harapannya tak dapat terkabul. Mirah justru memilih kembali ke ibukota.

“Apalagi sih Mir, yang kamu cari. Malik itu laki-laki baik. Dia terima kamu apa adanya,”

“Dimana coba nyari laki-laki seperti Malik.”

“Ah, bodoh sekali kamu ini, Mir!”

“Banyak yang menginginkan Malik, eh kamu malah nggak mau.”

“Ngapain sih kamu ke sana lagi. Kan lebih baik nikah saja dengan Malik dan hidup keluarga kita terjamin,”

Mirah memijit pelipisnya berulang kali. Ia masih teringat kemarahan Ibunya semalam. Dan pagi-pagi ketika ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, ibunya sama sekali tak keluar kamar.

Ck, apa sih maunya Emak?

Kemarin-kemarin disuruh kerja ke Jakarta, sekarang…

Argh, Mirah mengerang frustasi. Setiap orang tua tentu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mirah menyadari itu. Apalagi kini ia pun telah menjadi seorang ibu. Jadi ia tahu, Emak berniat baik meski terkadang ia egois. Dulu demi permintaan beliau hingga kemudian beliau sakit, Mirah menerima konsekuensi menikah kontrak dengan laki-laki asing. Sekarang, tiba-tiba Emak memintanya menerima lamaran orang laih.

Hufft…

Jangan egois, Mir! Emak nggak tahu apa-apa,” peringat Mirah dalam hati.

“Mira!”

Mirah pun menoleh seketika. Dilihatnya Dae Ho berdiri tak jauh darinya. Ia pun terbelalak. Dae Ho mengatakan sesampai di bandara, tunggu saja akan ada orang yang menjemputnya. Siapa sangka justru Dae Ho sendiri yang meluangkan waktunya.

“Op—oppa,”

Dae Ho tersenyum dan mengangguk kecil. Sejurus kemudian ia berjalan menghampiri Mirah. “I miss you, Mira.”

Mirah tergagap. Bukan, bukan hanya Dae Ho yang rindu tapi juga dirinya. Ah, padahal hanya beberapa hari ia tak bertemu, tetapi kenapa rasanya sudah terlalu lama sekali.

“Ayo pulang!” ajak Dae Ho sembari menarik tangan Mirah dan menggenggamnya. Mirah pun menurut. Dianggukkan kepalanya. Dan tak lama kedua bergandengan tangan menuju pintu keluar.

Sesaat Mirah melirik tangannya yang digenggam oleh Dae Ho, detik selanjutnya sebuah senyum terbit di wajahnya.

Rasanya begitu hangat…

***

selanjutnya di sini