Jumat, 29 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (30)


Tiga Puluh

sebelumnya di sini

“Mir,”

“Iya, Mbak.”

“Sorry ya.”

Kening Mirah mengerut dengan ucapan Kanaya. “Sorry kenapa?”

“Itu…” Dagu Kanaya terangkat sedikit. Ia mengarahkan kepalanya ke halaman luar sekolah. Seketika Mirah pun berdiri lalu mengikuti arah pandang Kanaya.

Bang Faisal.


Mirah mendesah panjang. Cepat atau lambat laki-laki itu pasti akan mendatanginya. Sudah bisa diduga sebenarnya, tapi tetap saja Mirah tak siap. Mengingat baru kemarin ia ditinggalkan Dae Ho. Emosi nya belum stabil. Sedari tadi saja ia memilih diam dan menyibukkan diri pada pekerjaan.

“Aku pernah bilang kan dia tahu sekolah ini?”

Kepala Mirah mengangguk perlahan. Kanaya menarik napas panjang. “Aku nggak tahu apa yang terjadi diantara kalian. Tapi lebih baik selesaikan baik-baik ya, Mir!”

Mirah kembali mengangguk. “Kalau gitu saya keluar dulu ya, Mbak.” ujarnya sembari bergegas keluar setelah Kanaya mengangguk mengizinkan.

“Mirah,” senyum Faisal merekah melihat kedatangan mantan istrinya.

“Bang Faisal, kenapa kemari tidak bilang-bilang?”

“Dua hari ini HPmu nggak aktif? Gimana aku bisa kasih tahu.”

Mirah meringis kecut. Ponselnya lowbet dan karena keadaan dirinya yang sedah memburuk, Mirah melupakan benda itu.

“Maaf, Bang. Lowbet.” Ujar Mirah kemudian. “Jadi buat apa Abang kemari? Aku masih jam kerja.”

Faisal tersenyum. “Aku mau ajak kamu jalan-jalan, Mir. Pak Adhi memberiku cuti.”

Sebuah helaan napas panjang dilakukan Mirah. Ditatapnya Faisal lekat-lekat sebelum kemudian menggeleng. “Bang, aku kan sudah bilang kalau kita…,”

“Hanya jalan-jalan, Mir. Hitung-hitung melepas penat,” potong Faisal cepat.

“Ta—pi, Bang…,”

“Ayolah, Mir. Dulu kita nggak punya uang untuk melakukan hal ini.”

Mirah tersenyum kecut. Dulu dan sekarang memang berbeda, Bang, gumamnya dalam hati.

“Hanya jalan-jalan ya, Bang. Nggak ada maksud apapun, oke?” Faisal mengangguk. wajahnya sumringah karena Mirah akhirnya mengiyakan ajakannya.

“Nanti Abang jemput aku lagi. Sekarang masih jam belajar,” sambung Mirah yang disambut anggukan Faisal.

“Ok.”

Dan Mirah hanya bisa menggeleng melepas kepergian Faisal. Jangan berharap lebih, Bang….

***

Malam semakin larut tetapi mata Mirah belum terpejam. Sedari tadi ia hanya bisa membolak-balik tubuhnya di atas ranjang. Merasa gusar, Mirah pun bangkit lalu melangkah keluar kamar. Dinyalakannya televisi, berharap tayangan yang akan ditontonnya bisa membuatnya tertidur.

“Loh, Mir kok nggak tidur?”

Nena keluar dari kamarnya lalu menghampiri Mirah. “Nggak bisa tidur, Teh. Eh Teteh sendiri ngapain kok bangun malam-malam?”

“Mau ambil minum.”

“Oh.” Sahut Mirah pendek dengan mata tak lepas dari layar televisi. Sejenak Nena menggeleng sambil menuju dapur. Untuk sementara, Mirah memang kembali tinggal bersamanya. Hal itu sesuai dengan permintaannya sendiri. Nena yakin keadaan Mirah masih belum pulih pasca kepergiaan Dae Ho.

“Jadi tadi kamu pergi sama mantan suami?” tanya Nena saat kembali ke ruang tengah. Di tangannya kini tergenggam segelas air putih.

“Iya,”

“Seru dong? Rujuk?”

Mirah menggeleng. “Apa sih, Teh? Malas lah.”

“Ya kali, Mir.” Balas Nena sambil memperhatikan Mirah. Sungguh ia mengkhawatirkan wanita itu. Mirah tak lagi menangis. Ia terlihat baik-baik. Tapi Nena yakin, pada kenyataannya itu hanya cara Mirah menutupi semuanya.

Jatuh cinta memang anugerah, tapi khusus Mirah berbuah bencana.

“Kalau yang pemuda kaseup itu gimana?”

“Yang mana?” Mirah kini menoleh. Nena nyengir.

“Yang ketemu di mall itu,”

“Oh. Bang Malik?”

“Iya. Malik.”

Kedua bahu Mirah terangkat. “Nggak tahu, Teh. Nggak pernah hubungan.”

“Cakep lo, Mir. Calon potensial. Idaman untuk dijadiin mantu emak-emak.”

Mirah tergelak. “Teteh tertarik?”

“Nggak lah. Dia sukanya sama kamu,”

“Sok yakin,”cibir Mirah.

Nena berdecak. “Ck, kamu mah nggak percaya. kelihatan kali, Mir. Lagian kan dia udah ngelamar kamu,”

“Lamaran ditolak.”

Bibir Nena mencebik. “Harusnya dipertimbangkan, Mir. Duh, kamu ngelepasin calon potensial.”

Mirah kembali tertawa. “Aku geli denger Teteh bilang calon potensial melulu,”

“Lah emang iya,”

“Huss,” tangan Mirah terkibas. “Teteh balik ke kamar aja. Itu udah minumkan. Ngerumpi tengah malam nggak asik.”

“Nah kamu aja nonton tengah malam, Mir?”

“Nonton beda sama rumpi, Teh.” Cengir Mirah. “Udah ah, aku mau nonton. Filmnya kelihatannya seru. Teteh balik tidur gih!”

Nena menggeleng tak lama ia bangkit dan menuju kamar. “Kamu juga perlu tidur, Mir. Besokkan kerja.”

“Iya.” Mirah menyahut singkat. Selepas Nena masuk ke kamar, Mirah menarik napas panjang. Dia tahu Nena berusaha menghiburnya. Wanita itu juga berbaik hati menampung dirinya. Tetapi tetap saja, Mirah masih belum bisa benar-benar ikhlas melupakan Dae Ho. Bahkan tadi ia beberapa kali mengecek ponsel. Siapa tahu Dae Ho menghubunginya. Meski sayang sia-sia. Nihil. Dae Ho benar-benar menghilang dari kehidupannya.

Miss you, Oppa…

***

Hari ini Mirah memutuskan kembali ke apartemen Dae Ho. Nyaris sudah satu minggu ia tinggal bersama Nena. Dan selamanya tak bisa seperti itu. Hidup harus tetap dilanjutkan, bukan?

Mirah menghela napas dalam-dalam begitu tangannya membuka pintu. Sesaat langkahnya terhenti. Diedarkan matanya ke segala sudut ruang. Tak lama ia tersenyum sedih.

Terlalu banyak kenangan di sini, Oppa…

“Masuk, Mir? Kenapa jadi bengong depan pintu!”

Mirah tersentak. Nena menggeleng. Ia sudah duga jika hal ini akan terjadi saat Mirah mengatakan akan kembali ke apartemen. Tapi mau bagaimana lagi, barang-barang Mirah masih ada di sini dan hari ini mereka berencana untuk mengemasi semua barang milik Mirah. Sudah seharusnya Mirah segera pindah memang.

“Kamu bener mau ambil kost yang tadi?” tanya Nena. Tadi ia dan Mirah memang sengaja mencari tempat tinggal yang baru untuk Mirah.

“Iya, Teh. Enak kok. Kamarnya luas,” jawab Mirah sembari masuk ke dalam kamar. Lagi-lagi langkahnya terhenti. Kini nafasnya terasa tercekat. Bibirnya kelu. Aroma Dae Ho justru lebih terasa.

“Iya sih! tempatnya emang enak.” ucapan Nena yang keras dari luar kamar sedikit mengejutkan Mirah. Seketika kepalanya menggeleng lalu segera membuka lemari baju.

“Tapi apa kamu nggak pengen cari apartemen lagi gitu, Mir?” seru Nena kembali.

“Mahal, Teh.”

“Duit kamu kan banyak, Mir.”

“Mending buat usaha.”

“Nah kalau gitu mending tinggal tempat Teteh dong?” Nena kini berdiri di depan pintu kamarnya. Suaranya sudah lebih normal.

Sesaat Mirah mendesah. “Kan udah dibilang jauh kalau dari sekolah. Udah Teh, aku nggak papa kost sendiri juga.”

Nena mengedik. Dia memang tak bisa memaksa Mirah tinggal dengannya. Beberapa hari lalu ia sudah menawari hal itu pada Mirah, tetapi wanita itu menolaknya dengan cepat.

“Ya terserah kalah gitu.” sahut Nena mengalah. “Ya udah mana barang-barang yang harus diberesin?”

“Banyak nih, Teh. Tapi kayaknya perlu di sort…” Tangan Mirah yang hendak meraih tumpukan baju terhenti. Ada sebuah kotak yang diletakkan di tumpukan baju teratas.

Kado.

“Apaan, Mir?” Tanya Nena sembari melongokkan kepalanya mendekat.

“Nggak tahu.” Geleng Mirah seraya membuka kotak. Sedetik kemudian ia ternganga, sebuah kalung berwarna silver berada di dalam kotak.

I—ni…

Ada sebuah kartu yang diletakkan tepat dibawah kalung. Mirah pun bergegas membukanya.

Berjanjilah untuk hidup bahagia, Mirah.

Kim Dae Ho

***

Setiap manusia sudah memiliki garis kehidupan masing-masing. Apapun yang terjadi sudah diatur, hanya tinggal menjalankan. Ada bahagia, tak jarang ada duka. Ada kesedihan, juga ada kegembiraan. Apapun yang terjadi, itulah hidup. Proses untuk menjadi pribadi yang mulia.

Pun yang dialami Mirah.

Dua bulan sudah pasca kepergiaan Dae Ho, Mirah lebih bisa menerima keadaan. Kesedihannya perlahan ditinggalkan. Mirah tak ingin terpuruk. Apalagi saat terakhir ia menemukan hadiah dari Dae Ho.

Berjanjilah untuk hidup bahagia.

Ah, Oppa…

“Mir, ikut yuk!”

“Eh, kemana Mbak?”

“Jalan-jalan,” ujar Kanaya dengan mata berkedip sebelah. Mirahsebenarnya enggan menerima ajakan Kanaya. Yang ada dipikirannya segera pulang lalu merebahkan diri di atas ranjang.

“Ayolah, Mir. Kamu juga udah nggak ada kerjaan kan?”

“Eng—nggak sih, Mbak…,”

“Yuk, ah! Aku tunggu di depan ya!”

Kalau sudah begini, Mirah tak bisa menolak.

Kata jalan-jalan yang disebutkan Kanaya ternyata bermakna luas. Mirah sedikit bingung karena Kanaya membawanya ke sebuah hotel.

“Mir! Bisa bantu aku nggak?”

Dahi Mirah berkerut. Matanya menyipit sejenak. Sejak Kanaya tiba-tiba mengajaknya pergi, Mirah memang sedikit curiga. Tidak seperti biasanya.

“Bantu a—apa, Mbak?” Mendadak di kepalanya dipenuhi berbagai prasangka buruk. Tapi masa iya Mbak Kanaya mau berbuat nggak baik ke aku? gumamnya dalam hati.

“Tenang aja. Aku bayar kok.”

Tubuh Mirah membeku. Ba—yar?

Jangan-jangan…

“Ada pemotretan baju-baju aku di atas. Nah kebetulan tadi fotografernya bilang, satu model nggak datang. Mepet kalau mau nyari model sekarang. Makanya tadi aku kepikiran kamu.” jelas Kanaya yang membuat Mirah bernafas lega.

“Oh gi…mo—del?”

Detik selanjutnya Mirah pun terbelalak.


Tbc

selanjutnya di sini

Lampung, Juli 2016


0 komentar:

Posting Komentar